webnovel

Must Be Mine! (BL)

Ranendra Bian Alfanrez, seorang pria mungil dengan kelebihan parasnya yang nyaris sempurna. Siapa yang sanggup menolak untuk tak bertekuk lutut? Sederhana saja, jika ingin di tanggapi beri dia segepok uang. Katakan saja dia sudah mulai tak berminat untuk main hati, jiwa yang terlanjur kosong, bahkan membuatnya tak sedikit pun menjaga diri. Lagipula, apa gunanya? Bukankah tubuhnya sudah rusak sejak awal? Salahkan Sean Nathaniel Rezgaf yang tak bisa membalas cintanya. Pria yang tak lain adalah sahabat semasa SMA nya, yang akhirnya menjauh karena pengakuan cintanya. Sampai menarik mundur jarak keduanya yang begitu jelas, Nathan pergi tanpa pamit. 8 tahun nyaris terhitung, perlukah selama itu Nathan membuangnya? Bahkan rasanya terlampau menyakitkan saat pria itu memperlakukannya seperti orang asing. Belum lagi harus tertampar kenyataan saat Nathan kembali dengan membawa gadis cantik yang memanggil, Daddy? Rindu, canggung, amarah, dan jantungnya yang masih berdebar kencang menunjukkan perasaan Bian yang tetap sama. Ia yang masih cinta. Perlukah Bian menunjukkan cintanya terang-terangan, lagi? Atau hatinya yang lagi-lagi di lukai membuatnya menyerah saat di waktu bersamaan Alex- bocah SMA yang terus menguntit? Lantas bagaimana jika skenario di rancang untuknya bisa menyusup ke dalam kehidupan Nathan? Apakah gairah binalnya masih bisa di tahan saat semakin gencarnya Nathan menyeruakkan kejantanan dihadapannya?

Erina_Yufida · LGBT+
Peringkat tidak cukup
31 Chs

"Jangan terlalu berusaha untuk mengulang masa lalu ku dengannya."

"Kau terlalu frontal, Bi... Lihatlah Devan yang semakin menggemaskan dengan wajahnya yang memerah padam seperti udang yang baru saja di rebus," ucap pria bernama Mike itu. Di balaskan cepat oleh mimik wajah muak Bian saat pria itu malah tak hentinya pamer kemesraan dengan mengecup pipi Devan- kekasihnya dengan bertubi.

Devandra Axelandria. Ya, walau seberapa keras Bian coba melarikan diri, pada akhirnya si licik Mike pasti akan merencanakan pertemuannya dengan pria itu.

Mustahil menunjukkan tampang penuh kebencian, Bian paling benci versi dirinya yang begitu munafik dengan senyum tipisnya kali ini.

"Jelas aku tahu cara menggoda. Dan lebih hebatnya lagi bisa menerka kebuasan kakak yang kali ini tertahan mati-matian karena kehadiran ku, kan?" terka Bian yang kemudian makin memajukan posisi tubuhnya seolah menatap begitu serius pada dua pria yang duduk merapat di hadapannya itu.

Netranya menyipit, kemudian memberikan senyum licik mengutarakan penawaran. "Haruskah aku memberikan istri mu itu bimbingan? Di jamin akan semakin liar dan mengerang agresif saat seringnya pembelajaran dengan ku nanti. Bayaran yang ku rasa cukup setimpal, maka selamatkan aku dari pekerjaan menyebalkan itu, oke?"

Devan yang semula hanya bersembunyi malu pada ketiak milik Mike, malah dengan cepat merespon keseriusan Bian dengan tawanya yang menyembur.

Jelas membuat keinginan Bian makin bergemuruh lagi untuk menyerang Devan, terlebih dengan nada meremehkan saat pria itu berucap, "Tapi kau tak ada pilihan lagi, Bi."

"Sialan! Beraninya kau meledek ku dengan tawa mu itu, Dev!"

Bian tak bisa menahan diri untuk mengacungkan jari tengahnya pada pria yang bertubuh mungil serupa dengannya itu. Namun sayang saja ia tak cukup bertenaga untuk beranjak dan melayangkan lengannya yang terkepal akibat delikan tajam dari kakak angkatnya yang memperingati.

"Aku harus ke sekolah, guru memanggil ku lagi. Entah apa yang di perbuat anak kita itu, sayang."

Begitu saja meloloskan sang lawan, Devan yang beranjak dari tempatnya setelah memberikan kecupan lengkap di setiap detail wajah milik Mike. Dan hanya lambaian tangan tak niat pada Bian yang bersemangat untuk bertarung?

Benar-benar tak adil untuk menampakkan kemenangan yang di dapat Devan dengan cara elegan. Meninggalkan begitu saja arena dengan tatapan yang dengan bodohnya di hantarkan sampai hilang pada batas pintu.

Kemudian menggeram marah dengan posisi duduknya yang kembali di tegakkan. Hingga di sela penahanan dirinya, Bian di usik oleh rasa penasaran atas ucapan Devan sebelum pergi.

"Serius, kakak memang merawat anak itu?" ingat Bian saat satu waktu Mike mengabarinya tentang sebuah pertemuan dengan seorang anak kecil yang memikat? Bahkan setelah detail ceritanya yang mengabarkan bahkan sosok kecil itu tak memiliki kepribadian baik setelah ketahuan mencuri.

Heran dengan pasangan Mike dan Devan yang seperti sangat berniat menyengsarakan hidup yang telah sempurna dengan kenakalan bocah jalanan. Dengar sendiri, kan? Devan di panggil ke sekolah itu. Entah seberapa sering bocah tak tau diri itu merepotkan. "Bodoh," batinnya sampai menggerutu.

"Sudah cukup lama, kau saja yang seolah-olah lebih sibuk dari ku hingga tak punya waktu untuk melihat anak ku."

Bian kemudian merasa tersindir, atas bantuan segalanya yang di dapat, sedikit pun ia tak pernah membalas dengan permintaan sekecil itu dari Mike?

Memberi alasan, kemudian Bian memilih untuk menyandarkan tubuhnya nyaman di sofa empuk itu.

"Ah, yang benar saja. Kakak tahu jika aku bukan termasuk pemilik hati lembut seperti istri mu itu. Hanya berjaga-jaga saja, barang kali aku yang tak sabaran ini malah bertarung dengan anak baru mu itu?"

"Benar juga, kau memang masih kekanakan, masih belum berubah sejak awal."

Bian memutar bola mata untuk kesekian kalinya pagi ini. Melemparkan kepalanya untuk menghindar dari pandangan intens Mike, kemudian menyertakan pertanyaan untuk lebih mempersingkat keberadaannya di sini sebelum semakin teruji kesabarannya untuk berdebat.

"Makan sianglah dengan ku."

Dengan cepat Bian menggelengkan kepala. "Lalu, tentang apa kakak memanggil ku?"

"Kau tak ingin mengakuinya lebih dulu?"

Deg

Seketika Bian terbelalak, terlintas kekacauan besar yang telah di perbuatannya di klub malam.

"Kakak menyuruh orang untuk mengintai ku?"

"Aku bukan orang sepicik itu sampai-sampai mengingkari kesepakatan di awal."

"Lalu?"

"Kau yang tak tertib bekerja?"

"Demi apa?" kejut Bian dengan suaranya yang reflek meninggi. Bola matanya membulat, sedikit lega meski kenyataan atas pembicaraan itu membuatnya merasa geram atas tindakan satu orang yang rupanya berani mempersulit hidupnya. Mike pasti akan mencurigai tabiat kenakalannya dari ketidakdisiplinannya.

Nadin, siapa lagi yang paling membencinya?

"Dan Devan menyerahkan mu pada ku untuk di beri nasehat dan semacamnya?"

Kemudian memukul bagian sisi sofa dengan lengannya yang terkepal. Merasa kesal dengan tingkah Devan yang semakin belagak padanya. Hingga tanpa sadar makian protesnya terlontarkan,

"Sialan! Rupanya Devan makin berani pada ku. Belagak menantang?!"

"Hei, perhatikan suara hati mu. Yang kau umpat adalah istri ku."

Sudah. Tak lagi berkilat jika Mike sudah memperjelas posisi tinggi yang tak bisa di ganggu gugat semacam itu.

Mati-matian Bian menahan diri untuk tak bertindak bodoh, terlebih dengan munculnya rasa dengki akibat rasa iri nya yang makin menggunung pada Devan.

Ya, hidup seseorang yang tak bisa di lepas dari gelar musuh abadinya sejak lama. Devan yang terlalu mujur dengan kehidupan sempurna di segala sisi. Pria tampan dan mapan seperti Mike yang cinta mati.

Membayangkan perlakuan Mike yang terlalu memuja Devan saja otomatis membuat sekujur tubuhnya lemas. Bukan dalam kategori lemah, melainkan sesuatu dalam dirinya yang seperti terlalu menggebu untuk sedikit menodai kain putih milik Devan. Ya, hatinya makin tergerogoti oleh kedengkian atas segala hal yang di miliki pria itu.

"Dan bahkan dalam waktu lebih dari tiga puluh detik, kau masih belum menyadari kesalahan mu?"

"Maaf."

"Ucapkan setulus mungkin untuk Devan nanti."

"Kak-"

"Bi. Sejak awal, bukankah kau sudah memahami betul perjanjiannya? Kebebasan mu tak mudah, setidaknya balas aku dengan sedikit sikap baik mu."

Mendengar ketegasan Mike atas ucapannya, seketika membuat Bian menunduk dalam, menatap jemarinya yang saling bertaut. Bibirnya yang terkatup rapat, bergetar menahan isak tangis yang mendesak keluar.

Bayangan kelam masa lalunya mendadak menghantui. Siksaan fisik sampai mentalnya yang tercabik-cabik nyaris tak terselamatkan.

Jika bukan karena Mike yang terlalu berusaha untuk menyelamatkannya, mungkin sejak lama Bian lebih memilih mati dari pada hidup mengikuti garis mengenaskannya.

"Kak, aku harus segera kembali kerja."

"Tak ingin makan siang dulu?"

Bian yang bangkit buru-buru meninggalkan Mike yang menghela napas panjang.

Tak lagi bernafsu mengisi perut setelah seseorang yang di sayanginya sebagai saudara itu nampak sedih.

Mengambil ponsel, lagi-lagi membujuk seseorang untuk menyelamatkan jiwa adik kecilnya itu.

"Hei, apakah kau benar-benar tak ingin kembali? Kepergian mu yang terlalu lama, apakah kau memang benar-benar sama sekali tak merindukannya, bahkan sebagai seorang sahabat?"

"Aku tak ingin membuatnya berharap lebih. Aku tak ingin membuatnya kembali terluka karena terlalu terobsesi. Hanya seperti ini, sejak awal takdir ku dan Bian memang tak bisa menyatu. Ku harap, kau jangan terlalu berusaha untuk mengulang masa lalu ku dengannya."