webnovel

Must Be Mine! (BL)

Ranendra Bian Alfanrez, seorang pria mungil dengan kelebihan parasnya yang nyaris sempurna. Siapa yang sanggup menolak untuk tak bertekuk lutut? Sederhana saja, jika ingin di tanggapi beri dia segepok uang. Katakan saja dia sudah mulai tak berminat untuk main hati, jiwa yang terlanjur kosong, bahkan membuatnya tak sedikit pun menjaga diri. Lagipula, apa gunanya? Bukankah tubuhnya sudah rusak sejak awal? Salahkan Sean Nathaniel Rezgaf yang tak bisa membalas cintanya. Pria yang tak lain adalah sahabat semasa SMA nya, yang akhirnya menjauh karena pengakuan cintanya. Sampai menarik mundur jarak keduanya yang begitu jelas, Nathan pergi tanpa pamit. 8 tahun nyaris terhitung, perlukah selama itu Nathan membuangnya? Bahkan rasanya terlampau menyakitkan saat pria itu memperlakukannya seperti orang asing. Belum lagi harus tertampar kenyataan saat Nathan kembali dengan membawa gadis cantik yang memanggil, Daddy? Rindu, canggung, amarah, dan jantungnya yang masih berdebar kencang menunjukkan perasaan Bian yang tetap sama. Ia yang masih cinta. Perlukah Bian menunjukkan cintanya terang-terangan, lagi? Atau hatinya yang lagi-lagi di lukai membuatnya menyerah saat di waktu bersamaan Alex- bocah SMA yang terus menguntit? Lantas bagaimana jika skenario di rancang untuknya bisa menyusup ke dalam kehidupan Nathan? Apakah gairah binalnya masih bisa di tahan saat semakin gencarnya Nathan menyeruakkan kejantanan dihadapannya?

Erina_Yufida · LGBT+
Not enough ratings
31 Chs

"Kau adalah orang pertama yang sangat ingin ku kenal lebih jauh."

Pertemuan untuk pertama kalinya, dalam keadaan genting dengan sedikit brutal yang di balut kenakalan remaja.

"Berikan uang mu."

Seseorang yang tak sengaja menyaksikan aksi perundungan, awalnya hanya terkekeh sambil geleng-geleng kepala tak habis pikir. "Sialan! Ku pikir ini sekolah elite, kenapa masih ada gerombolan gembel yang menodong receh?"

Empat murid bertubuh bongsor yang mengepung seorang pria mungil, sudah di pastikan akhirnya, yang paling untung hanya jari tak buntung. Menyerah tanpa perlawanan?

"Kalian pikir kalian siapa, eh? Apa orang tua kalian begitu melarat sampai-sampai kalian harus bertindak layaknya preman kampungan seperti ini?"

"Dia melawan?" Tebakan yang meleset cukup membuat pria pengamat itu berjengkit dari tempatnya, bibirnya yang ternganga otomatis terkekeh. Alih-alih kagum dengan perlawanan yang seakan mengorbankan keberlangsungan hidup beberapa menit ke depan, untuk pertama kali dalam hidup, ia merasa benar-benar khawatir pada orang asing. "Bodoh! Kau memang benar-benar seperti menyerahkan tulang-tulang rapuh mu untuk di remukkan!"

Bughhh

Benar saja, dalam waktu sepersekian detik, ia bisa mendengarkan pukulan melesat mengenai pria mungil yang langsung jatuh tersungkur itu. Tanah berumput yang masih basah membuat baju baru kebanggaan sma itu seketika lusuh.

"Pakaian ku kotor, kalian harus bertanggung jawab."

"Beraninya kau mengolok kami?! Mulut lancang mu, biar ku tunjukkan caranya sopan santun!"

Bughh

Bughhh

Bughhhh

"Akhh!"

Pukulan demi pukulan terus bergantian menyiksa, tanpa perlawanan fisik atau bahkan teriakan minta ampun untuk melepaskan diri. Kaki-kaki mengepung yang menyaduk menyasar rusuk, tubuh yang nampak makin lemas hanya menerima diri sewaktu di gilir. Kondisi yang makin tak karuan, lebih kotor dari yang di proteskan awal. Darah yang mengucur makin deras, rasa perih yang keterlaluan walau dapat di pastikan jika pria mungil itu tengah terlalap kemarahan akibat di rendahkan terlalu jatuh.

Demi apa pun, kekerasan sudah amat mendarah daging dalam dirinya, tapi melihat pria mungil itu yang akhirnya meloloskan rintihan kesakitan, dalam dirinya malah memberontak tak terima.

Srett

Brakk

Meloncat turun dari pohon rambutan yang di tumpangi, mengintrupsi keributan dengan cara paling jantan yang pernah di lakukan. Raut garang dengan otot wajah mengetat menunjukkan taring buas menghadapi gerombolan pecundang.

"Beraninya keroyokan, dari pada mencoreng nama baik sesama pria, kenapa kalian tak sembunyikan saja penis kalian di balik rok?"

Ucapan penuh penghinaan, memancing amarah sampai mencapai ubun-ubun untuk empat pria perusuh.

Meninggalkan korban nyaris terbujur kaku, pahlawan kesiangan yang kali ini menunggu giliran untuk di habisi.

"Kurang ajar! Siapa suruh kau boleh ikut campur, eh?!" Satu orang maju terdepan, suara balik menantang yang sampai tarik urat leher.

"Kalian melakukannya tepat di depan mata ku, dan aku terganggu."

"Murid baru, apa kau tak tau siapa kami?!"

"Entah telinga ku yang tak ingin peduli. Ehm... Tidak, tapi ku rasa kegarangan atas kepemimpinan mu tak begitu di akui di sini."

"Bangsat! Beraninya, kau!"

Sekali dalam semasa hidupnya, ia benar-benar merasa bertarung untuk seseorang. Empat orang seakan bukan lawan untuknya, bahkan terlalu cepat untuknya berdiri tegap menjadi pemenang tanpa bekas pukulan mengalahkan mereka yang tersungkur tak berdaya dengan luka lebam.

"Sekali lagi ku lihat kalian menyakitinya, akan ku buat kalian merasakan kesakitan seribu kali lipat dari ini."

"Ampun-ampun..."

Peringatan yang membuat para pengucut itu lari terbirit-birit. Meski tak di harapkan pula untuk pria mungil itu pergi.

"Tak mengucapkan terimakasih pada ku?"

"...."

Tanpa jawaban. Punggung ringkih yang malah tanpa acuh terus menjauhinya. Tanpa bertukar nama sebagai penanda.

Yang gilanya, ia sedikit pun tak tersinggung oleh lagak sombong walau ia baru saja mempertaruhkan waktu dan sedikit tenaganya untuk menolong.

"Sialan! Aku sangat suka tipe orang yang seperti ini."

"Hai."

Menyerah? Tentu saja tidak. Terus mengikuti kata hati, meninggalkan kesendiriannya untuk mendobrak minat seseorang. Katakan saja penguntit secara gamblang, membayangi langkah kecil yang terlihat amat lucu sewaktu terbirit-birit di koridor sekolah.

"Rasanya aku sama sekali tak meminta mu untuk menolong ku hari itu, apakah aku masih tetap harus berterimakasih pada mu?"

Dan untuk pertama kalinya pula ia merasa begitu kesenangan kala pria mungil itu berbalik untuk menghadapnya. Ya, meski gurat yang terlalu kaku sama sekali tak bisa di katakan sebagai ekspresi penerimaan terhadapnya.

"Hei, kau salah paham."

"Lantas, kenapa membuntuti ku terus-terusan, apa mau mu?"

"Berteman? Yeah... Ku harap kau bisa terharu dengan ucapan ku. Kau adalah orang pertama yang sangat ingin ku kenal lebih jauh."

"Aku tak butuh siapa pun."

"Tapi aku bukan tipe orang yang mudah menyerah. Jangan menghindar, ku harap dalam waktu dekat kau tak ragu menyebut ku sebagai teman pertama mu."

Kejadian berlatar buram, samar di ingatan namun begitu terkesan. Pria yang tengah merenung menatapi langit yang terbentang luas itu, bahkan sampai tak kuasa menahan senyum di bibirnya.

Hanya sebuah berkas warna yang akan mustahil untuk menghapus noda hitam yang mengotorinya. Bahkan rasanya waktu hanya layaknya hitungan yang semakin lama mengukung dalam perasaan bersalah yang begitu ironis.

Masa lalu yang tak cukup untuk membuatnya kembali terlibat dalam peran lama. "Ya, sudah cukup sebatas itu. Lagipula, kepergian ku ini atas keputusan yang ku buat, kan?"

"Erghh... Hah... Hufhh... Hufh..."

Seolah hati tau dengan pasti caranya menyambung keterikatan. Kerinduan yang tak bisa terus di tepis akhirnya mencuat secara bersamaan.

Bian bangun dengan tersentak, napas terengah-engah serta tubuh basah kuyup. Jantungnya berdebar sangat kencang, nyaris tertipu mimpi yang terlalu menenggelamkannya dalam perasaan pasti.

"Di saat seperti ini, kenapa malah aku bermimpi lagi tentangnya? Sialan! Apa kak Mike sengaja mengungkit masa lalu?"

Mungkin pria itu adalah satu-satunya orang yang tertarik dekat dengannya karena alasan konyol. Tampilannya yang dingin? Sombong? Angkuh?Mulutnya yang pedas dalam berucap? Seseorang yang mengajarkan Bian sisi kenakalan remaja yang usil.

Ahh... Ya, sayangnya saja tak seistimewa yang bisa di bayangkan, pria itu hanya mengganggapnya sebatas teman. Sampai saat ini?

Bangsat! Memikirkan rupa pria itu membuat tidur nyenyaknya terganggu.

Mencoba mencari peralihan dengan bermain permainan tak cukup membantu.

Hingga kokok ayam di waktu fajar membuat mata berkantungnya terlelap. Meski ujungnya tetap sial, Bian melupakan sahabatnya yang selalu datang tak kenal waktu.

Tokk tokk tokk

"Bi... Bukakan pintunya...!"

"Bangsat! Dobrak saja!"

Gubrakk

Meja nakas yang tak cukup kuat di jadikan ganjalan pun akhirnya jatuh menggelimpang. Pintu yang akan bernasib sama kalau tidak lebih tangkas di pegang kuat handel nya. Tio yang nampak kesulitan menggeser pintu akhirnya pun kegirangan setelah berhasil menyusup.

"Ku pikir kau tak akan kembali lagi."

Yang tak di bayangkan Bian kalau Tio yang kali ini malah mencari perkara untuk mempersempit ruangan pengapnya. "Brengsek! Apa-apaan kau?!"

"Aku berniat membenahi pintu ini sendiri. Kau tau, menyewa tukang rasanya terlalu berlebihan."