webnovel

MIMPI: Takdir Yang Hadir

[Buku kedua dari trilogi "MIMPI"] . Haruki Yamada berada di titik terendah dalam hidupnya. Kehilangan harta, keluarga, dan dikhianati istrinya sendiri yang selingkuh dengan pasangan suami istri Richard dan Aleysha. Dia diculik, dibawa ke suatu tempat rahasia dengan kedua mata tertutup, tangan-kaki terikat, dan mendengar suara Sheila sebelum kehilangan kesadaran. Sang anak pertama terancam dilecehkan lagi! Haruki pun berusaha keluar dari cengkeraman Richard dan Aleysha dengan segala cara. Namun siksaan mereka terlalu parah hingga membuatnya sering lupa bagaimana rasanya bernafas. Saat itu, nama yang dia sebut-sebut hanya satu: "Renji... Renji... Renji..." Renji Isamu. Pria yang telah pergi dari hidupnya di masa lalu. Renji Isamu. Pria yang telah memiliki takdirnya sendiri. Renji Isamu. Pria yang takkan pernah datang lagi untuk membawanya pergi. ….Akankah berlebihan jika Haru masih berharap sosok itu kembali? . . . PENGUMUMAN! Ini adalah kelanjutan dari novel "MIMPI" yang sudah TAMAT. Buku ini akan dibagi jadi 3/trilogi. Buku 1: MIMPI (Isi 220 bab) Buku 2: MIMPI: Takdir Yang Hadir (On Going) Buku 3: MIMPI: Akhir Sebuah Takdir (Belum) . . . IG: @Mimpi_Work

Om_Rengginnang
Peringkat tidak cukup
61 Chs

BAB 3 Bagian 4

"Ahhh .... nnh. Mnnh ...." desah Ginnan. Pertama kali setelah kesadarannya kembali, lelaki itu tidak bisa melihat apapun. Semua gelap. Kedua matanya tertutup kain. Tubuhnya terpaku di ranjang entah siapa, dan tidak memakai sehelai benang pun.

Hal itu membuat jantungnya berdebar keras. Hal yang selalu dia takuti jika Renji menginginkan permainan aneh selama seks, tetapi sekarang orang lain melakukannya.

Ginnan yakin itu bukan Renji. Karena lengan Renji tidak berbulu lebat. Aroma Renji tidak semenyebalkan ini. Dan cara Renji mengulum penisnya tidak terasa menjijikkan.

"Ahh ... annggh .... hahh ... hahhh ... hahh ...." desah Ginnan dengan dada yang terlonjak dalam sengalan. Dia tidak bisa melakukan apapun, karena kedua tangannya dipancang rantai. Kanan atau kiri, semuanya terhubung dengan dinding, sementara "orang ini" membuka kedua kaki Ginnan untuk menjilati lubang analnya di bawah sana.

"Tolong ... ugh—j-jangan ..." pinta Ginnan ketakutan.

Lidah basah hangat sosok itu mengular. Menikmati kerutan merah milik Ginnan, lalu meraup bagian itu seperti kue.

"Unhh ... ahhh ...."

Kalau ditanya nikmat atau tidak, sebenarnya sangat-sangat nikmat. Sebab "orang ini" tahu betul cara memanjakan tubuh lelaki, tapi Ginnan tidak nyaman. Bulu kuduknya berdiri tiap kali tubuhnya disentuh. Dan dia ingin menangis karena gerakannya seperti ingin menguasai.

"Orang ini" juga tidak pernah menyahut perkataannya. Hanya saat dia mendesah erotis, Ginnan pun panas dingin luar biasa.

"Hhhh ...."

"Kumohon—uhuk! Siapa kau sebenarnya?" tanya Ginnan. "Aku tidak mau begini—" Namun, dia sudah ditimpa dan dicium begitu ganas.

"Orang ini" cepat mengaduk-aduk isi mulutnya begitu lihai, mengulumi puting-puting kerasnya Ginnan. Lalu memeluk pinggul rampingnya begitu kuat.

Renji ....

Ginnan pun meneteskan air matanya tanpa sadar. Dia tidak sanggup membayangkan bagaimana posisinya saat ini. Apalagi jika Renji melihat—oh ... apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dirinya diculik? Bagaimana bisa "orang ini" kepikiran begitu jauh, bahkan tidak peduli isakkan Ginnan.

"Kumohon ...." lirih Ginnan. Namun, napas sosok itu malah berhembusan di wajahnya. Aroma maskulin seorang pria, tetapi Ginnan tidak yakin siapa. Dan saat sosok ini melebarkan kedua kakinya lagi, tangis Ginnan semakin pecah.

"Aku janji tidak akan sakit," kata sosok itu untuk pertama kalinya. Suaranya tak pernah Ginnan kenali, dan itu membuatnya semakin takut. "... atau mungkin sedikit. Bagaimana pun aku ragu barangku muat di dalam sana."

DEG

Ginnan pun merinding lagi. Dia mengepalkan tangannya yang terus mengguncang borgol, tetapi tak ada yang bisa dia lakukan.

Kacrak! Kacrak! Kacrak! Kacrak!

Hanya suara rantai yang amat berisik, malah mengganggu di dalam ruangan, dan pergelangan tangan Ginnan lecet sendiri.

"AKH—" Ginnan menjerit kala ujung penis itu mulai mendesaki lubangnya. Dia terlonjak kaget, tapi sosok itu hanya membelai pinggangnya sebelum mendorong lagi perlahan-lahan. "Jangan—please ... tolong—"

"Bisa kau tenang sedikit?" tanya sosok itu sedikit kesal. Namun, suaranya memang begitu tampan. Ginnan sampai ragu mereka di ruangan biasa, karena jika si pelaku seniat itu mengambilnya dari Renji, tidak mungkin dia memperkosa Ginnan sembarangan.

"Ahhh—ugh ... sakit—" Ginnan menggigit bibirnya tegang. Kedua tangannya mengepal, dan bokongnya semakin sesak. Dia tidak bisa banyak bergerak karena ukurannya terlalu besar, tetapi "orang ini" malah mendorong keras di akhir. PLAKH! "ARRRGHH!!"

Suara paha dan bokong Ginnan sampai beradu, dan jantungnya serasa mau pecah karena penis itu terasa sampai ke perut. Membuat ngilu teramat sangat merambati sekujur tubuhnya hingga ke ubun, dan Ginnan meneteskan air mata tanpa bisa dia kendalikan lagi.

"Kau ini sempit sekali, shit!" maki lelaki itu karena penisnya terasa tercekik. Dia sampai mengeluarkan benda itu sekali lagi, lalu mengulangi proses pelonggarannya.

"Hahh ... hahhh ... hhhahhh ...."

Inginnya, Ginnan berteriak sekuat tenaga. Meminta bantuan kepada orang di luar sana jika ada, tetapi entah kenapa tubuhnya terasa kaku sekali. Dia memang seorang pelacur, tetapi tidak pernah bercinta dengan perasaan terpaksa lebih dari Renji melakukannya.

Tidak. Renji berbeda dengan lelaki itu. Renji sangat berhati-hati padanya sejak menyentuh pertama kali. Namun, Ginnan sekarang sungguh merasa terjajah dengan kotornya.

"Ahhkkk ... unnh ... mmnnhhh ... ahh!" desah Ginnan karena pelonggaran yang kedua tidak hanya pakai lidah saja. Melainkan lubrikan yang cukup banyak, dan itu langsung dituangkan ke bagian analnya.

"Orang ini" juga memasukkan dua jarinya ke dalam. Mengobok-obok liangnya dengan gerakan yang mahir, dan membuat Ginnan tersulut birahinya meski tak mau.

"Bagaimana, Sayang? Aku tahu kau menyukainya."

"Tidak!" bantah Ginnan dengan suara seraknya. "Aku benar-benar membencimu! Tidak—ahh ...."

"Orang ini" pun tertawa senang. Dia meyakini putaran jarinya lebih tidak tertahankan, apalagi telah menemukan titik nikmat Ginnan.

Di dalam sana, cukup jauh, tapi jari panjangnya bisa menjangkau. Ada butiran kecil seperti biji kacang, dan lelaki itu terus menekan-nekannya hingga Ginnan muncrat meski sambil terisak.

"Aaaaaakkhhhh!"

Namun, gerakan tangannya tidak berhenti. Dia terus menyiksa Ginnan dengan rasa nikmat yang bertubi-tubi, lalu memasuki lelaki itu untuk kedua kali.

"AHHH! Kumohon—berhenti—ahkk—"

Ginnan gemetar hebat saat penis besar itu memenuhinya. Kali ini sudah lebih muat dan pas di dalam sana, tetapi itu membuat hatinya hancur.

Apalagi, setelah mereka menyatu sempurna, gerakan lelaki itu mulai sangatlah kasar. Dia mengguncang tubuh Ginnan semau hati, hingga hanya bisa berpasrah saja.

Plak! Plak! Plak! Plak!

Penis itu terus keluar masuk. Ujungnya yang menusuk-nusuk tanpa ampun di dalam sana, sementara Ginnan tak bisa menjerit karena ciuman bertubi-tubi.

Dia sudah melebur dengan tubuh lelaki itu secara sempurna, dan berubah posisi lagi dan lagi.

"Sakit—arrgh!" jerit Ginnan ketika tubuhnya ditelungkupkan. Dia dipaksa menungging dengan jambakan, lalu bokongnya diangkat ke udara sebelum dimasuki lagi dari belakang. PLAKH!

Ronde kedua pun dimulai di sana. Ginnan merasakan lututnya kebas ditekan terlalu lama ke dalam ranjang. Sementara jari-jari "Orang ini" menjamahi dadanya.

Kadang meremas, kadang membelai, kadang juga mencubiti puting-puting Ginnan hingga pekikannya terdengar. "Akhh!"

Lelaki itu memuncratkan seluruh spermanya ke dalam sana. Dia seperti sengaja tidak menggunakan pengaman, dan tidak sungkan mengulumi penis Ginnan bahkan meski bagian kelaminnya basah amat berantakan.

"Sudahhh ... tolonglah ...." pinta Ginnan tak tahan lagi. Suaranya semakin mengecil, tapi sosok itu tidak berhenti menjilati pelirnya.

Jujur ini sangat-sangat mengerikkan.

Siapa sebenarnya yang berpikiran melakukannya selama ini?

Ginnan tidak habis pikir. Dia lelah dan badannya begitu lengket. Dia ingin dilepaskan, tetapi "orang" ini masih menyetubuhinya beberapa kali lagi.

Usai menungging, dia memangku Ginnan agar duduk menghadap dinding. Lalu begitu penisnya bersarang di bokong, lelaki itu mengocok penis Ginnan tanpa peduli si empunya berteriak terus menolaknya.

"STOP!! STOP!! TOLOOONG!" bentak Ginnan karena tubuh lemahnya tetap diguncang. Jari-jarinya mencakar dinding. Keningnya membentur ke sana karena tidak sanggup menerima kenikmatan, sayang lelaki ini melanjutkan cumbuannya.

Usai klimaks untuk ketiga kali, dia menunduk untuk menggigiti bokong Ginnan dari belakang. Dia jilat tulang punggung yang meliuk lelaki itu, kemudian menandai lehernya dengan banyak tanda merah-merah.

Sangat-sangat-sangat bernafsu sekali. Sosok ini seperti sudah gemas mengincarnya sedari lama, tidak sanggup membendung birahinya, dan melampiaskannya sekaligus.

Dia menampari bokong Ginnan tiap kali merasa kurang puas, lalu meremasi bagai tepung adonan roti yang lembut.

"Ahhh ... ahhh ... ahhh ...."

"Cantik sekali, hhh ...." pujinya seembari membalik tubuh Ginnan agar berebah seperti semula. "Cantik—sangat—"

"Ummnn ... uunnhh ...." lenguh Ginnan yang diajak bertarung lidah. Dia dituntun untuk memeluk leher jenjang lelaki itu. Lalu disuruh mendongak agar bisa menorehkan tanda-tanda merah baru.

Suara kecupan dan hisapannya terdengar berisik. Ginnan sampai tidak bisa merasakan tubuhnya sendiri setelah selesai, dan hanya lunglai di ranjang ketika muncratan terakhir membanjiri perut serta dadanya.

"Hahh ... hahh ... hhahhh ..." keluh Ginnan. Dia pun mencoba mengatur napas, kebingungan, tapi tidak lagi setelah kain penutupnya dilepas.

"Oh ... oh ... oh ... sudah kuduga kedua matamu tak kalah cantik," puji lelaki itu dengan seringai yang buas.

DEG

"R-Robert ...?!" kaget Ginnan. Dadanya terasa runtuh, terlebih mengingat senyum tampan lelaki ini saat menolongnya di Belanda.

"Kenapa, Sayang?" tanya Robert dengan suara yang bernada beda. Lelaki itu menindih tubuh Ginnan perlahan, lalu menarik selimut untuk mereka. "Apa kau sangat terkejut? Aku memang sudah menantikan momen-momen ini."

Kedua mata bengkak Ginnan pun terpejam. Bagian itu mulai berair lagi, tapi Robert justru mengecupnya semangat. "Aku tahu kau menikmati sentuhanku," katanya percaya diri. "Tidakkah nanti ketagihan untuk mencobanya lagi?"

KACRAK! KACRAK! KACRAK!

"BRENGSEK!" maki Ginnan dengan rantai-rantai yang diguncangnya. "LEPASKAN AKU, ROBERT! KEPARAT! KAU INI BEDEBAH GILA!"

Robert justru tertawa-tawa. Lelaki itu senang dengan raut terluka Ginnan, lebih-lebih saat menolak untuk dicium.

Kemana pun Ginnan membuang wajahnya, dia akan mengejar ke sana. Mau ke kanan. Mau ke kiri ... Ginnan sampai menjerit frustasi. "AAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!" sebab dalam kondisi seperti itu pun, Robert malah makin menggodanya.

Lelaki itu sungguh sengaja. Dia terhibur karena Ginnan sudah tak mampu melawan. Bergerak sedikit pun terasa pegal, jadi dia hanya merintih untuk kecupan-kecupan yang lain.

Renji ... kumohon, tolong aku .....

Dan seperti dugaan Ginnan, ruangan ini bukan kamar biasa. Dindingnya penuh alat-alat pemuas, kedap suara, dan tidak ada jendela. Hanya ventilasi kecil di pojok atap yang tersedia, dan mereka bernapas oleh AC yang begitu dingin.

"Robert ... hentikan ...." Ginnan memejamkan mata. "Aku benar-benar sudah tidak bisa—umnnhh ...."

Bagaimana bisa seperti ini? Bukankah Robert itu sangat baik hati? Pantas saja Renji sering emosional. Katanya, pria itu punya insting tak beres ketika melihat Robert. Sayang, Ginnan sempat tak percaya pada sang kekasih. Dia marah karena insting Renji dianggapnya tak logis, tetapi kini sungguh terjadi.

"Baik, baik. Kita istirahat dulu sekarang," kata Robert dengan mengangkat lembut dagu Ginnan. "Lagipula tadi itu hebat sekali. Lain kali, kita akan melakukannya tanpa penutup mata. Setuju?"

Ginnan tak bisa tidak berkaca-kaca. "Apa rasanya memang seenak itu?" tanyanya. "Aku ini sudah punya Renji. Aku hanya milik Renji. Kau harusnya paham karena sudah kuberitahu—"

"Ssshh ... shh ... shhhh ...." kata Robert. "Siapa yang milik siapa? Pria itu kan belum menikahimu. Jadi, bagaimana kalau aku saja yang menggantikannya?"

"TIDAK!"

"Ha ha ha ha ha ...." tawa Robert. "Terus apa maumu? Kembali ke Jepang dan bercinta dengan mayatnya?"

DEG

"Apa?"

Robert pun menyetel televisi yang sejak tadi hanya gelap. Di sana ada berita berulang-ulang, yang bertajuk gosip maupun sungguhan breaking news ... yang pasti, saluran Jepang sedang gempar mengabarkan kematian Renji Isamu, dan itu tidak bisa diganggu gugat lagi.

"R-Renji?"

"Apa menurutmu mereka semua berbohong?" tanya Robert amat sangat puas. Dia juga memanfaatkan kesempatan itu untuk berbisik di telinga Ginnan. "Tidak akan ada yang menjemputmu kemari. Tidak ada yang bisa menolongmu dariku. Karena aku ... sudah menembaknya beberapa kali malam itu."

DEG

"...t-tidak ...."

"Iya, Sayang. Karena sekarang kau dan tubuh cantikmu ini milikku," kata Robert sambil memalingkan wajah Ginnan dari layar televisi. "Hanya fokus kepadaku, paham? Karena aku akan marah jika tidak."

"Hiks ... hiks ... hikss ... bohong ...." isak Ginnan seketika. Dia menggeleng dengan wajah memerah duka. Dan Robert hanya mengelus pipinya begitu puas.

"Tidak, Sayang. Buat apa sih begitu padamu?" tanya Robert. "Buang-buang waktu saja. Aku ini kan ... tipe orang yang menyukai pekerjaan tuntas, hm?"

Ginnan pun berteriak sekali lagi. "AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!"

Suaranya sampai benar-benar habis, dan dia terlalu traumatis untuk ingat segala detail kejadian pada malam hari itu. Dirinya yang ditangkap salah satu bodyguard, Renji yang berkelahi untuknya, lalu sebuah ledakan besar terjadi—

Renji ... tolong bilang ini hanya bohong, kan?

Renji kau tidak mungkin meninggalkanku seperti ini.

Bersambung ....

CATATAN PENTING: Ginnan terserang "Tonic Immobility" ketika "merasa" diperkosa pertama kali. Hal ini membuat tubuhnya kaku dan lumpuh. Hingga tidak bisa melawan, meskipun memiliki tenaga besar sebagai lelaki.

Hal ini biasanya memang dialami umumnya korban pelecehan seksual, tanpa memandang gender sekali pun.