Bagaimana bisa seperti ini? Bukankah kau selalu kuat, Nak? Bukankah kau selalu bisa berdiri dengan kedua kakimu sendiri meski aku melarangnya?
Rasanya, kematian sang putera tunggal lebih bisa dilegakan daripada melihatnya dalam kondisi seperti ini.
Betapa rasa hangat di kulitnya masih nyata, sosoknya bisa dipeluk, tetapi tidak lagi seperti Renji Isamu yang dikenalnya.
Renji seperti musnah. Sirna. Atau apa pun kata yang lebih tepat menggambarkannya. Dia yang dulu kemungkinan tidak nyaman dipeluk Ryouta seperti itu, kini hanya diam bagai boneka tanpa jiwa.
Tubuh Renji bergerak tiap kali dia guncangkan, dan berhenti saat dia berhenti.
Ryouta pun berlutut di depan Renji dan meremas kedua tangannya di depan kening. Dia seperti memohon ampun kepada Tuhan, tetapi wujud sang putera tetaplah sama.
"Kejadiannya memang cepat sekali, tapi aku tidak tahu kenapa kesadarannya sulit kubawa kembali," kata Kuze. "Aku yakin, resep yang kuracik untuknya selama ini sudah seimbang, tapi sekarang aku jujur tak bisa berbuat banyak. Hanya jika dia marah, mulai berteriak tidak jelas, atau menyakiti diri sendiri ... aku akan menyuntiknya lagi dengan beberapa ampul agar tenang hingga keesokan hari."
Baru tiga hari berlalu sejak penembakan itu. Kuze bilang, operasi memang berjalan begitu lancar, bahkan Renji langsung bangun setelah dua jam tertidur. Namun, yang dilakukan pria itu untuk pertama kali adalah mencabuti peralatan medis yang menempeli tubuhnya, lalu menghancurkan eletrokardiogram yang ada di sisi ranjang. Dia mencak-mencak seperti binatang buas kelaparan, membenturkan kepalanya sendiri ke tembok hingga benjol di sebelah kanan, lalu mencakar kasur dan menyeretnya hingga jatuh ke lantai.
Peristiwa itu sungguh di luar dugaan. Dan saat Kuze mengetahuinya, dia segera datang ke rumah sakit sebagai relasi yang bisa dipercaya. Lantas di saat-saat genting datang, dan seorang wartawan nyaris mengetahui kondisi yang sebenernya ... Kuze pun melakukan tindakan spontan.
Dia membuka ampul berisi cairan amiodarone, bergerak cepat, lalu menyuntik Renji hingga detak jantungnya menghilang sementara.
Saat itu, dokter jaga yang memeriksa belum tahu, dan hanya melaporkan apa yang sedang terjadi di depan mata. Jadi, wartawan tersebut pun mengabarkan kematian Renji setelah keluar ruangan menggunakan data-data yang dia percaya.
"Tidak ada jalan kembali, Paman, Bibi. Dan kuharap kalian mau menjaganya di Amsterdam mulai sekarang," kata Kuze. "Tidakkah kalian pernah mengharapkan dia pulang?"
Karena tertahan tangis, tak satu satu pun dari Ryouta maupun Nana yang menyahut perkataan itu. Namun, Kuze tahu mereka pasti mendengarkannya dengan saksama.
"Aku mungkin tak pernah mendengar langsung, tetapi mengurus Renji-sama selama ini cukup membuatku tahu ... bahwa meski dia bersikap seolah menghapus kalian dalam hidupnya, tapi itu hanya cara agar mampu bertahan sendiri."
"..."
"Renji-sama pasti berpikir, dia takkan kuat hidup dan tumbuh dewasa di Jepang seperti itu, bila terus mengingat kenangan tentang kalian di rumah," tegas Kuze. "Jadi, tolong. Tetap sembunyikan dia mulai sekarang, jalani peran kalian sebagai orangtua, dan aku akan mengurus sisanya di sini," kata Kuze.
Nana adalah yang pertama kali bisa menguasai diri. Dia bangkit, berdiri, dan mengusap air matanya di depan Kuze Hazuki. Ah, betapa memalukan dirinya? Pemuda itu bahkan masih lebih tua Renji, tetapi dia bahkan tahu soal puteranya daripada mereka sendiri. Dia merawat kesehatan Renji, mengawasinya dari kejauhan, dan selalu ada di saat rasa sakitnya datang.
Bukankah perannya menjadi orangtua pengganti harusnya cepat berakhir?
Nana sadar dia tak pantas bersikap lama-lama seperti ini. "Maaf, Kuze. Dan terima kasih sudah menjaganya selama ini," katanya. "Kami pasti akan melakukan segalanya seperti perkataanmu, dan membawanya pergi esok pagi. Sekali lagi terima kasih. Jujur tidak bisa membalas apa pun untuk sekarang."
Bukannya menanggapi ucapan wanita itu, Kuze justru melipir ke nakas untuk mengambil sebuah kartu. "Kalau begitu hubungilah nomor ini," katanya. "Yang pertama atau kedua, terserah. Panggil mereka Furi, jika tidak ada berarti Takano. Mereka akan mengurus penerbangan pribadi kalian untuk kembali ke tanar air nantinya."
Deg!
"Apa?" Nana pun gemetar makin parah saat menerima kartu itu. "A-apa maksudnya, Nak? Aku sungguh-sungguh tidak paham."
Kali ini Kuze agak mulai geram. Dia menghela napas panjang, mengepalkan tangan kuat-kuat, lalu berkata dengan emosi terbendung. "Kubilang penerbangan ya penerbangan," katanya dengan wajah penuh kemelut. "Anakmu itu memiliki banyak aset besar di sini, atau di tanah-tanah yang mungkin tak pernah kau bayangkan. Aset, kartu-kartu, bangunan, usaha, rumah, pulau, surat berharga, dan beberapa kendaraan pribadi—salah satunya yang kau pegang sekarang. Jadi, angkut dia dengan pesawat bangsat itu. Pergilah dengan tenang. Lalu jangan pernah biarkan Renji terekspos media mana pun."
Dada Ryouta makin sesak mendengar hal itu. Dia tak pernah tahu, atau peduli Renji melakukan apa selama di sini. Melainkan hanya tahu dia hidup dengan pilihannya sendiri. Anak itu mungkin sangat durhaka padanya, tetapi dengan tubuh rusak dan pikiran terombang-ambing tersebut, dia bisa membuktikan bisa lebih hebat dari Ryouta sekarang.
"Baik," kata Nana.
Hari itu juga, mereka pun menghubungi Furi dan Takano. Dan begitu penerbangan pribadi diatur, Ryouta dan Nana buru-buru membawa Renji pergi ke Belanda.
Ke tanah kelahiran sang putera tunggal.
Tempat dia pernah berniat pergi dari sana. Selamanya.
.
.
.
NB: Bab berikutnya sangat beda jauh dengan yang ini. Situasi terbanting makin gila. Kalian harus siap dengan kemunculan beberapa tokoh yang dulu sempat aku singgung beberapa kali, dan pentingnya ingat semua nama-nama mereka.
Percayalah, konflik dalam novel ini sudah matang sejak lama. Jadi, meskipun aku terkadang membahas bab-bab yang kelihatannya kurang penting, karena menceritakan tokoh lain, sebenarnya itu persiapan menuju konflik yang sebenarnya.
Staytune, guys.
Kisah Renji dan Ginnan yang sebenarnya baru akan dimulai. 👀
Ngomong-ngomong, makasih untuk yang udah baca novel ini. Aku lihat, beberapa dari kalian masih menunggu kelanjutannya, meskipun aku lama banget enggak update.