webnovel

MIMPI: Takdir Yang Hadir

[Buku kedua dari trilogi "MIMPI"] . Haruki Yamada berada di titik terendah dalam hidupnya. Kehilangan harta, keluarga, dan dikhianati istrinya sendiri yang selingkuh dengan pasangan suami istri Richard dan Aleysha. Dia diculik, dibawa ke suatu tempat rahasia dengan kedua mata tertutup, tangan-kaki terikat, dan mendengar suara Sheila sebelum kehilangan kesadaran. Sang anak pertama terancam dilecehkan lagi! Haruki pun berusaha keluar dari cengkeraman Richard dan Aleysha dengan segala cara. Namun siksaan mereka terlalu parah hingga membuatnya sering lupa bagaimana rasanya bernafas. Saat itu, nama yang dia sebut-sebut hanya satu: "Renji... Renji... Renji..." Renji Isamu. Pria yang telah pergi dari hidupnya di masa lalu. Renji Isamu. Pria yang telah memiliki takdirnya sendiri. Renji Isamu. Pria yang takkan pernah datang lagi untuk membawanya pergi. ….Akankah berlebihan jika Haru masih berharap sosok itu kembali? . . . PENGUMUMAN! Ini adalah kelanjutan dari novel "MIMPI" yang sudah TAMAT. Buku ini akan dibagi jadi 3/trilogi. Buku 1: MIMPI (Isi 220 bab) Buku 2: MIMPI: Takdir Yang Hadir (On Going) Buku 3: MIMPI: Akhir Sebuah Takdir (Belum) . . . IG: @Mimpi_Work

Om_Rengginnang
Peringkat tidak cukup
61 Chs

BAB 2 Bagian 7

"Tentu," kata Renji. "Karena itu berikan aku pemandangan bagus tiap pagi, mengerti? Pasangan yang rajin mandi, senyum, mau sarapan bersama. Kau sudah tidak kubebani mengurusi anak-anakku."

DEG

Ginnan langsung salah tingkah. "A-Anak-anak?" katanya sambil meneguk ludah. "Ya kan aku laki-laki. Tentu saja tidak punya beban mengurusi hasil benihmu—"

"Ya ya. Sekarang pakai jaket bulunya. Akan kuambilkan syal yang cukup panjang."

Ginnan pun meremas bulu-bulu jaket itu sebelum mengenakannya. Di cermin, dia tampak sangat tampan, sungguh. Plus makin manis dengan warna peach blossom yang sesuai. Meski tidak berkata apapun, diam-diam Ginnan memuji Deby atas kepekaan wanita tersebut mengenai gaya yang sesuai untuknya.

"Sudah. Sekarang kau boleh sarapan," kata Renji. Namun Ginnan tetap bersungut-sungut setelah penampilannya siap. Dia kehilangan minat waktu mendapat morning kiss, lalu menurut saja saat digandeng keluar ke meja makan.

"Kau kenapa seperti ini..." gumam Ginnan sepanjang jalan.

"?"

"Ya, maksudku kau yang sekarang..." kata Ginnan sembari mendongak perlahan. Dia pandangi punggung Renji. Menggigit bibir, lalu menurunkan oktaf suaranya. "Marah balik bukankah akan sangat bagus? Kita seperti pasangan di film-film yang akan membuat penontonnya bisa tegang."

"Bodoh."

"Aku tidak bodoh."

"Ingin praktik jadi pasutri dramatis?"

DEG

"T-Tidak kok," kata Ginnan. "Tidak begitu juga kan."

Renji pun menarik sebuah kursi untuknya. "Sekarang duduk dan tunggu."

"Aku sudah tahu itu."

Amarah Ginnan langsung turun ketika mendengar langkah-langkah tegas dari luar. Dia harus dalam mode baik, paling tidak di depan orang baru yang akan ditemui. Maka meski risih, Ginnan pun tetap menyambut ciuman Renji. Dia terpejam. Memeluk leher sang kekasih, lalu tersenyum ramah kepada mereka semua.

"Kalian sudah datang," kata Renji. Pria itu menegakkan badan setelah Ginnan melepaskan.

"Iya, Tuan," kata orang-orang baru itu bersamaan. Dua pelayan yang mengantar bahkan langsung mundur karena paham situasi beratnya. Hanya saja, Ginnan jadi agak canggung. Pasalnya, semalam Renji bilang hanya 2 orang. Tapi kini justru ada 6 pasang kaki yang menghadap.

Tiga lelaki, tiga lagi perempuan. Mereka semua berpakaian musim dingin, namun tampak siaga dengan setelan khusus di dalam.

"H-Halo..." Ginnan mengangguk untuk menyapa. Di luar dugaan, Renji benar-benar tidak menampakkan amarah untuk membalas perlakuannya sepagian. Pria itu justru merangkul bahunya, aman. Lalu menepuk kepalanya sayang.

"Dia Ginnan. Nanti kuberikan berkas-berkas pribadinya kepada kalian," kata Renji.

"Baik."

"Tapi kembalikan semua secepatnya. Kami membutuhkannya untuk keperluan urgen lain."

"Kami tahu," salah seorang wanita itu tersenyum. Pandangannya lantas jatuh ke Ginnan. "Semoga pernikahan kalian nanti diberkati, Tuan Ginnan."

DEG

"Ahh—iya... Umn. Terima kasih," kata Ginnan kikuk. Dia harusnya tak perlu segugup ini menghadapi barisan bodyguard-nya sendiri, kan?

Senyum wanita itu tersebut melebar. "Umn, Anda ternyata lebih cantik daripada bayanganku," pujinya. Lalu mendekat perlahan. "Ngomong-ngomong, perkenalkan aku R."

"Eh? Hanya itu?" heran Ginnan.

"Benar. Sebut saja kami dengan cara seperti ini," kata R. Dia lantas menunjuk lima rekannya satu per satu. "Yang itu E, N, J, I, dan G. He he..." cengirnya waktu melihat Ginnan memerah.

"Apa-apaan..." Ginnan mendongak memandang Renji, namun sang kekasih justru tersenyum puas. Dia seperti sengaja melakukannya. "Itu agak berlebihan, paham?" bisiknya.

Renji membelai bibir Ginnan dengan bujarinya. Dia merasai teksturnya yang lembut, tipis, kenyal, dan begitu lembab. "Senang membuatmu mudah mengingatnya."

"Ya ampun..."

"Mulai sekarang Anda boleh memanggil kami kapan pun," perhatian Ginnan langsung dikuasai R kembali. "Sehari penuh, kami akan bertugas untuk Anda bergantian. Jadi, kalau butuh sesuatu, langsung telepon saja, Tuan."

Renji memberikan ponsel Ginnan yang sempat tertinggal di atas ranjang. "Ini, sudah kutambahkan nomor baru yang mereka bawa," katanya. "Sekarang kau pun boleh pergi kalau ditemani salah satunya, hm?"

Ginnan pun mengantungi ponselnya dengan raut agak kesal. "Umn, thanks," katanya. Namun kemudian balas tersenyum kepada R.

"Bagus. Sekarang boleh aku tahu kenapa kalian datang bersama?" tanya Renji setelah memastikan segalanya terselesaikan.

Kali ini E angkat bicara. "Maaf, tapi sejak berita tentang pers-nya diajukan, Mayumi Kurikawa PC kembali jadi topik pembicaraan, Tuan," katanya. "Mungkin Anda belum mengecek berita, tapi kami khawatir kalau tidak kemari bersama."

"Kami hanya berjaga-jaga dengan situasi yang mungkin memburuk," kata N menimpali. Suaranya sangat khas hingga Ginnan sadar mereka ber-6 adalah bodyguard yang sama dengan waktu itu.

Tepatnya saat Ginnan dibawa Renji turun di bandara. Di tengah keramaian. Chaos, tawa... serta adrenalin yang menumpuk tinggi.

"Begitu."

"Benar. Jadi nanti saya dan E akan mengambil alih mobil Anda dari sini," kata R. "Sementara mereka akan mengikuti di belakang. Anda berdua istirahat saja selama perjalanan. Kami akan urus semuanya sampai ke tujuan."

"Hm, tak masalah," kata Renji. Lalu duduk di sebelah Ginnan. "Daripada itu, sekarang duduklah kalian. Kita sarapan bersama sebelum berangkat pergi."

"Baik."

Ginnan serasa ingin menggeser duduk waktu mereka ikut bergabung. Kali ini, dia paham mengapa Renji mengabaikan protesannya mengenai jumlah kursi ruang makan. Hanya saja, memang masih lebih banyak tempat. Namun Ginnan cukup senang dengan keramaian di rumah pagi itu.

Saat berangkat, Ginnan juga cukup heran dengan senyum pelayan dan penjaga kepadanya. Mereka seperti lega melihatnya aman sejak datang, bahkan mau tinggal di rumah yang mereka urus. Tatapan mereka lembut dengan pancaran yang dalam. Seolah-olah Ginnan tidak diperbolehkan pergi karena baru datang ke sana, namun lelaki itu cukup paham untuk melambaikan tangan sebagai pamitan.

"Dah..." katanya pelan. Sebelum mobil berjalan, dia membalas senyum mereka dengan segan. Tanpa sadar, kedua maniknya bahkan berkaca-kaca begitu parah.

"Kemari," kata Renji dengan lengan yang terbentang. Ginnan pun menoleh dan membuang muka dari sang kekasih.

"Aku tidak mau peluk-peluk. Mau lihat pemandangan," bantah Ginnan. Namun kondisi luar memang sulit dilihat karena salju-salju mulai menebali kaca.

"Yakin? Perjalanan darat akan sangat lama daripada memakai pesawat," kata Renji lagi. Entah sejak kapan, pria itu bahkan merebahkan punggung kursi mobil keduanya agar jadi ranjang sederhana.

"Ugh... Oke..." keluh Ginnan. Lelaki itu baru datang ke Renji dan tiduran di lengan kirinya. Dipeluknya sang kekasih, diterimanya rengkuhan itu, lantas menenggelamkan wajah di dada bidang Renji begitu sadar sesuatu.

R dan E. Sesekali dua orang yang duduk di depan melirik pemandangan jok mereka dengan senyum mencurigakan. Mereka tersipu, tampak ingin ikut mengusili, namun tidak akan mungkin.

"Kalau diingat-ingat, kau masih berhutang satu padaku," bisik Ginnan.

"Apa."

"Waktu berkeliling, kau tidak membawaku ke perpustakaan," kata Ginnan. "Kenapa?"

"Benarkah?"

"Jangan pura-pura tidak tahu," kata Ginnan. "Kau pasti sengaja membawaku ke ruangan lain kan. Padahal aku sempat mengingatkan."

"Hmm…" Renji tampak berpikir. "Masih ada waktu lain kali. Tidak perlu buru-buru."

"Tapi kan…"

"Kita kemari untuk pulang, bukan berkunjung, mengerti?" sela Renji. "Jadi jangan khawatir takkan kembali."