Ginnan pun kalah telak seketika. Dia mengangguk, lalu diam kala sang kekasih membisiki telinganya.
"Sebenarnya aku tahu waktu terbaik kau masuk ke sana," kata Renji.
"Eh? K-Kapan?" tanya Ginnan penasaran.
"Sehari sebelum menikah?" kata Renji. "Bacalah buku mana saja untuk belajar gaya bercinta yang kusuka, hm?"
DEG
"A-APA?!" jerit Ginnan refleks.
Renji terkekeh pelan. "Aku akan senang kalau kau memilih yang kasar sedikit," lanjutnya dengan seringai tipis. Percayalah, Ginnan sudah lupa bagaimana jenis ekspresi sang kekasih yang seperti itu. "Atau nakal. Aku takkan menolak kalau kau mencoba lebih berani. Seperti menggodaku, mungkin?"
"M-Maksudmu apa sih? Jangan membuatku overthinking—Jackass!" bentaknya. R dan E sampai ketahuan tertawa di depan sana. Mereka minta maaf, berdehem-dehem, namun tertawa lagi karena wajah panik Ginnan. Sengaja, Renji justru menindih lelaki kesayangannya. Pria itu menahan kedua tangan Ginnan, lalu mengendus wajahnya hingga Ginnan memejamkan mata. "Jangan—please… aku tidak mau seks kendaraan lagi, Ren—" suaranya sampai mencicit, namun Renji tak berhenti mendekat. "Tolonglahakubahkanbarubisajalan, shit!" jeritnya tanpa sadar.
Wajah Ginnan kini memerah sepenuhnya. Dia takut bagai akan diperkosa, namun tawa Renji justru mengudara.
"Ha ha ha ha ha…"
Suara berat pria itu memenuhi mobil. R dan E bahkan sayang mengalihkan mata dari spion depan untuk melihat pemandangan itu.
"Brengsek! Kapan-kapan aku akan membalasmu."
Meski marah, diam-diam Ginnan lega. Dia tak menyangka bisa merasakan hubungan yang serius hingga pada tahap ini. Tahap dimana kau merasa lelah dengan pasanganmu, sering kecewa, namun juga tetap ingin bersamanya.
Dulu, Ginnan sering liat pola hubungan seperti ini. Panti asuhan biasanya kedatangan pasutri yang lelah dengan rumah tangga masing-masing. Mereka sedih, muram, dan suka mengeluh di depan Bunda. Tentu saja mayoritas bermasalah di bagian keturunan. Namun, sedikit banyak dia juga penasaran bagaimana mereka bisa bertahan untuk bersama.
.
.
.
Tokyo, Jepang.
"Jadi, gedungnya tidak dirubah lagi, Mayumi-sama?" tanya Editor Mai. Setelah menerima naskah final dari Renji, gadis itu makin cekatan bekerja. Dia mondar-mandir untuk mengurus percetakan, juga menggugupi bawahan agar tepat waktu dengan deadline.
"Tidak. Tokyo Hall sudah cukup privat untuk bertemu lelaki itu," kata Mayumi. Wanita tersebut mengeratkan syal tipis, lantas masuk ke mobil yang menunggunya. "Bagaimana pun, dia yang dipilih Renji. Jadi aku harus bicara padanya sebelum terjadi sesuatu."
"Sesuatu?" tanya Mai. Kening gadis itu berkerut kala duduk di sebelah Mayumi. "Saya tidak paham maksud Anda, Mayumi-sama," katanya jujur.
Kini sorot mata Mayumi begitu tajam. "Kau harusnya paham kalau Renji adalah uangku," katanya. Mai sampai terbeku sejenak mendengar hal tersebut. "Setidaknya itu sebutan paling tepat setelah dia menolak jadi ahli warisku. Anak nakal … dia benar-benar tidak mau melibatkan nama besarku. Ya tuhan…" keluhnya sambil memijit kening.
Mai sampai bingung bagaimana menanggapi dia. "Sejujurnya saya pernah dengar rumor tadi," katanya. "Tapi baru kali ini tahu langsung dari Anda, Mayumi-sama. Kupikir semuanya tidak sungguh-sungguh."
"Ya, ya…" kata Mayumi. Dia mengecek ponsel beberapa kali meski tak ada balasan lagi dari Renji. "Apapun yang kau dengar di luar sana, itu benar. Aku sering membahas ini dengannya, tapi anak itu tetap mengabaikan aku."
"Umnn…" gumam Mai kebingungan.
"Aku benci semua anak-anakku…" keluh Mayumi terdengar lelah. Biasanya wanita itu akan menahannya, paling tidak sampai mengomel di ruangan sendirian. Namun kali ini, hatinya sudah sangat sesak. Dia tidak peduli lagi bila Mai mendengarkan semuanya. Sebab, obrolannya dengan Renji kemarin malam sungguh menguras jiwanya.
"Aku tidak pernah meminta padamu selama ini," kata Renji penuh penekanan. "Tapi, tolong. Biarkan kesepakatanku dengan mereka tetap jadi rahasia. Aku tak masalah, mengerti? Lagipula semua yang diminta adalah hartaku sendiri. Harusnya kau tidak ikut campur soal ini."
"Kau sadar sedang bunuh diri, Nak?" tanya Mayumi. Dia benar-benar menentang keputusan Renji untuk menyerahkan semua saham miliknya di perusahaan Mayumi. Apalagi untuk orang asing seperti Richard dan Aleysha. Baru mendengar faktanya saja, Mayumi tak bisa membayangkan bagaimana nanti kerjasama dengan keduanya. "Ini sudah sangat berlebihan. Aku tidak bisa menerimanya, tolong. Haru masih bisa dijemput dengan cara lain, iya kan?"
"Jadi kau tak paham dengan situasi ini," kata Renji sembari beranjak dari kursi. Pria itu bahkan tidak menyentuh makan malamnya sedikit pun, melainkan tetap menjulang dengan kekeras kepalaannya.
"Renji—"
"Aku akan keluar jika itu membuatmu puas," kata Renji. Entah serius atau tidak, Mayumi tetap tidak mungkin mengabaikan kata-katanya.
"APA? Tidak! Kau tidak bisa gegabah seperti ini, Ren," kata Mayumi. Dia pun buru-buru menggenggam tangan Renji meski tahu pria itu takkan suka. "Baik, baik. Kau boleh lakukan apapun. Tapi tidak dengan menghancurkan diri, paham? Aku takkan mengizinkanmu untuk itu hanya demi lelakimu—"
"Sundal…" maki Renji dengan menghempas tangannya. Kali ini, sorot mata pria itu penuh kebencian yang mendalam. "Sejak awal harusnya kau tahu alasanku masih ada di tempatmu."
Tangan Mayumi pun gemetar hebat kali ini. Meskipun begitu, wanita tersebut tetap tersenyum, berusaha kendalikan diri, lalu meremas jari-jarinya sendiri. "Aku benar-benar sangat tahu."
"Kau pun harus paham ini waktu yang tepat untuk berhenti," kata Renji. "Aku tidak butuh harta lagi, oke? Aku tidak butuh dorongan, bantuan, atau apapun fasilitas yang kau punya. Jadi, simpan saja untuk keluargamu, atau orang-orang yang lebih pantas. Karena aku takkan biarkan kau datang lagi ke ranjangku."
Air mata Mayumi berjatuhan tanpa sadar. "Kumohon jangan mengatakan hal-hal itu… kumohon…" pintanya. Dia tahu ini salah. Dia tahu ini tabu—untuk mencintai dan terobsesi pada pria … yang sejak remaja diasuhnya sendiri hingga sukses. Namun, dia juga tidak bisa membiarkan Renji menyakiti diri.
Dengan perbedaan umur 12 tahun, Mayumi sadar perasaannya bukan hal istimewa untuk Renji. Namun, jika boleh diizinkan, dia tak masalah jika ditempatkan pria itu sebagai ibu dan wanita simpanan. Maksud Mayumi, bukankah selama ini Renji punya banyak teman tidur? Apa salahnya membiarkan satu janda awet muda tetap mengikutinya seumur hidup?
"Oh, jika lupa, anak-anakmu jelas lebih butuh hartamu daripada aku," kata Renji. "Dan aku yakin mereka akan kecewa jika tahu ibunya senang menggoda pria muda favoritnya—ha ha."
Saat itu, Mayumi pun tidak tahan lagi, Wanita itu lemas, jatuh duduk kembali ke kursi, lalu menangkup wajah ber-make up¬-nya. "Kau sungguh keterlaluan, Ren. Tidak seharusnya hal ini dibahas lagi," katanya, sesak. "Bukankah kau lebih tahu mereka bukan anakku? Aku hanya… aku hanya—astaga… maaf. Kau memang tidak bersalah dalam hal ini," imbuhnya. Sekuat mungkin, Mayumi berusaha melupakan masa lalunya. Masa-masa kala dia masih gadis, dijodohkan dengan pengusaha penerbitan kaya, namun pria itu sudah duda dengan banyak anak yang dibawa.
Gelap, memang.
Mayumi sungguh benci keputusannya waktu itu.