"Ica sudah tidur?" Arkan melihat Ica yang sudah tidur di pangkuan Nayna. Wanita itu sedang melihat wajah damai putri cantiknya.Tidak sedikitpun putrinya ini mirip dengan sang ayah.
"Hm."
Arkan tidak langsung mengantar Nayna pulang, lelaki itu pergi ke sebuah toko alat tulis membeli sebuah map. Dan jalan yang digunakan bukan arah rumah Nayna melainkan jalan penghubung desa tetangga agar cepat tiba di tempat tujuan.
Tidak lama, mobil Arkan berhenti di depan rumah Nayna. Arkan turun duluan, karena Nayna tidak bisa membuka pintu. Kemudian dengan cekatan lelaki itu mengambil Ica. Nayna turun dan mengikuti langkah Arkan.
"Di sofa saja Mas Arkan, nanti Nay pindahin," kata Nayna begitu Arkan masuk setelah ia membuka pintu rumahnya.
"Nanti dia bangun, kasihan. Bukain pintu kamar," titah Arkan yang tidak bisa ditolak Nayna.
Nayna membuka pintu kamarnya yang memang berhadapan dengan ruang tamu. Dengan hati-hati, Arkan meletakkan tubuh kecil itu di atas ranjang. Kemudian keluar dari sana.
"Saya permisi dulu, sudah adzan maghrib."
Nayna mengangguk, tidak lupa mengucapkan terimakasih.
"Kunci semua pintu Nay." Lagi, Nayna menjawab iya.
Nayna pun melaksanakan kewajibannya, sebelum mengistirahatkan tubuh lelahnya.
Setahun ini ia hidup dengan keadaan seperti ini. Tidak sedikitpun ia mengeluh, ia bangga diumur yang masih muda, sudah merasakan perjuangan sebenarnya dalam hidup.
Sebenarnya, mudah saja bagi seorang Nayna untuk hidup seperti wanita pada umumnya. Apalagi di usia yang masih muda.Cukup meminta pada orang tuanya, hidupnya akan makmur. Namun, bukan itu yang diinginkan ibu satu anak itu.
Ia ingin berjuang dengan Keringatnya. Membesarkan putrinya dengan tangannya sendiri.
Seperti biasa, setiap jam empat pagi, Nayna sudah bangun. Melaksanakan dua rakaat sebelum berjibaku dengan kompor dan bumbu. Ada seorang tetangga yang selalu membantunya setiap pagi. Uni Ina, guru honorer yang menyempatkan diri membantu Nayna.
Sekitar jam sepuluh, semua masakan sudah selesai dan tersaji dalam rak etalase. Dan sudah ada beberapa pengunjung.
"Ica udah bangun Nay?" Nayna melihat ke arah suara, dan mendapati bu Wati sudah berdiri di belakangnya.
"Sudah Bu, itu lagi main," jawab Nayna sambil tersenyum, sementara tangannya sibuk membungkus nasi pesanan kuli bangunan yang tidak jauh dari warungnya.
Bu Wati menghampiri Ica yang sedang menggigit mainan karet menyerupai pisang. Melihat mata Ica yang berkaca- kaca, bu Wati menggendong anak tersebut dan berjalan ke arah ibunya.
"Biar ibu yang lanjutin. Sepertinya Ica haus."
Beginilah interaksi antara Nayna dan bu Wati, keduanya biasa mengganti peran ketika bu Wati berkunjung.
Nayna masuk ke rumah, membuatkan satu botol susu dan menyiapkan tas perlengkapan putri kecilnya sebelum dibawa bu Wati.
Butuh waktu lima belas menit untuk wanita itu menyelesaikan semuanya. Selagi ada bu Wati di depan. Namum, tiba-tiba perutnya terasa kram. Wanita itu meringis sambil berjongkok, meremas perutnya. Kepalanya pusing dan pandangannya gelap seketika. Hanya tangisan Ica yang terakhir tertangkap rungunya.
***
Ketika mata lelahnya terbuka, aroma obat yang pertama kali tercium. Pandangannya berpendar, mencari sosok yang dikenalinya.
"Owalah Nay, kamu sering begini ya?"
Nayna mengerjap, berusaha menerima suasana tempat ini.
"Kalau bulan depan halangan lagi, bilang ke Ibu. Biar Ibu buat ramuan. Kamu terlalu lemah, mungkin capek juga. Punya anak kecil ya nggak bisa tidur lelap, malah bagunnya kepagian, ngurusin daganganmu!."
Nayna menggigit bibirnya mendengar omelan bu Wati, persis seperti ibunya. Ia merasa tidak enak.
"Nggak usah jualan lagi, tinggal sama Ibu saja. Toh sebentar lagi, Arkan juga sudah nikah, dia bilang Laras nggak mau tinggal sama Ibu."
Rasa tidak enak itu kembali merambat, ini bukan tentang ia mau atau tidak. Ini tentang prinsip seorang Nayna. Kalau dia harus mengadu, ada orang tuanya yang masih sanggup membiayai kehidupannya pun putri kecilnya.
"Maaf, Nay ngerepotin Ibu." Nayna meringis dalam hati, hanya karena Dismenorea dia masuk rumah sakit dan sudah merepotkan bu Wati.
Tangan bu Wati mengibas di depan wajahnya. "Ibu sama sekali nggak repot Nay, untung tadi masih ada Arkan di warungmu. Jadi dia yang Ibu suruh gendong kamu."
Arkan???
"Maaf," cicit Nayna. Ia merasa malu. Lebih malu saat mengetahui keadaan yang sebenarnya, ketika halangan hari pertama darahnya mengalir deras siapa menggantinya?
Bu Wati juga?
Aish, Nayna benar-benar malu. Pakaiannya saja sudah digantikan.
"Em, Ica ..." Nayna tidak sanggup melanjutkan kalimatnya, apa ia terlihat tidak tahu untung kalau bertanya keberadaan putrinya.
"Dibawa Arkan ke kantin, haus sepertinya. Tadi Ibu lupa bawa susunya, karena Arkan sama paniknya. Jadi nggak ada yang ingetin. Untung ada Uni Dara, jadi warung Ibu titipin sama dia."
Nayna menghela nafas, mendengar putrinya baik-baik saja.
Pintu terbuka dari luar, dan menampakkan wajah Ica dan Arkan.
"Sudah ganti?"
Nayna yang sedang memperhatikan putrinya mengalihkan tatapannya pada bu Wati.
"Sudah, tadi ke distro dulu."
Bu Wati mengangguk, Nayna tidak mengerti arah bicara ibu dan anak tersebut.
"Sudah baikan, Nay?" Arkan memperhatikan Nayna yang masih berbaring.
"Sudah." Nayna merasa canggung, ia bukan pasien dengan penyakit serius.
"Ica sini dong, sama Ibu." Nayna berusaha untuk bangun, namun dengan sigap Arkan mendekat.Lelaki itu mengatur posisi brankar tersebut hingga menekuk. Nayna, meringis. Hari ini ia benar-benar merasa jadi pasien.
Nayna mencium seluruh permukaan wajah putrinya begitu Ica berada di pangkuannya. Dan hal itu tidak luput dari perhatian Arkan.
"Arkan tinggal dulu, Bu."
"Mau ke mana?"
Arkan melirik sekilas ke arah Nayna sebelum menjawab pertanyaan ibunya. Wanita iti sedang larut dengan putrinya.
"Ketemu Laras."
Bu Wati tidak menjawab, pertanda ia tidak terlalu suka melayani kalimat putranya tersebut.
Sepeninggal Arkan, Nayna dan bu Wati mengobrol hal ringan sampai seorang dokter masuk dan memberitahu Nayna sudah boleh pulang sore nanti. Dengan syarat Nayna harus rutin kontrol.
"Ibu telpon Arkan dulu." kata bu Wati, ia ingin menghubungi Arkan sementara menunggu perawat melepas selang infus di lengan Nayna.
Tidak usah Bu, kita naik becak saja." Nayna merasa sungkan dan tidak enak. Cukup ia merepotkan keluarga bu Wati.
Bu Wati menatap ibu muda tersebut yang sudah turun dari brankar. Padahal wajahnya masih pucat, apa dokter tidak salah menyuruh Nayna pulang ?.
Wanita itu memejamkan matanya kala ingin menggendong putrinya. Kepalanya masih terasa berat. Padahal saat ia bangun tadi baik-baik saja.
"Tidur Nay, heran. Masih sakit kok malah disuruh pulang." gerutu bu Wati, ia mengambil alih Ica.
"Nggak apa-apa, Bu. Nanti di rumah juga sembuh."
"Nay!!"
Nayna menunduk. Persis seperti seorang anak yang kena marah ibunya. Perlahan kakinya ia naikkan ke ranjang. Dan benar saja, kepalanya terasa berat. "Bu, Nay tidur sebentar."
Bu Wati mengangguk, serta mengusap kepala Nayna, hingga wanita itu tidur. Ada air yang mengenang di mata bu Wati melihat keadaan Nayna.
Kasihan dengan kehidupan wanita muda tersebut. Masih muda sudah menikah, punya anak. Harus banting tulang menafkahi putrinya seorang diri.
Seandainya ia bisa, ingin sekali bertanya ke mana suami ibu muda yang dikenalinya satu tahun belakangan ini.
Karena takut Nayna akan tersinggung makanya bu Wati memilih bungkam.
***