Lima tahun bukan waktu yang singkat bagi seorang Nayna menanti dalam diam. Setiap kali nama Lio disebut Arkan Nayna berusaha meredam gejolak dalam hatinya.
Marlio Hartawan, sulung dari seorang abdi negara dari dua bersaudara. Anak laki-laki yang harus menjaga kedaulatan keluarga karena terlahir dalam lingkup militer yang turun menurun.
Jabatannya sebagai wakil anggota militer yang bernaung di bawah pondasi BIN (Badan Intelijen Negara) yang bertugas di Canada.
Tugas dan tanggung jawab terhadap martabat negara dan keluarga membuatnya harus berpisah dengan Nayna Pandu Kusuma, gadis kecil yang dikenalinya ketika bertugas di Jogja.
Sekarang, lihatlah gadis yang dulu dipacarinya baru duduk kelas 2 SMP tumbuh menjadi wanita dewasa yang cantik dengan segala keanggunannya yang membuat dirinya gila.
Kini, keduanya sudah berada di sebuah cafe pusat kota jambi. Keadaan di rumah belum stabil karena terungkapnya pernikahan antara Nayna dan Arkan, namun Arkan juga tidak bisa menolak ketika Lio mengajak Nayna berbicara empat mata.
"Kamu apa kabar, Nay?." tanya Lio pada wanita yang duduk di depannya. Memandang indah bola mata coklat dan teduh itu.
Nayna tersenyum, ini suara lelaki yang dirindukannya. Suara seorang lelaki yang selama lima tahun ini dinanti.
Bagaimana mungkin ia tidak bahagia?
"Baik, Mas." suara Nayna bergetar, matanya berkaca-kaca. Tidak ada yang lebih membahagiakan kecuali setiap pertemuannya dengan pria ini.
"Mas rindu, Nay."
Nayna mengangguk, air matanya sukses mengalir membasahi pipi. Bangku yang mereka pesan terletak di sudut belakang Cafe, hanya ada dua pasangan di sana sehingga keadaan mereka tidak menjadi perhatian.
Aku juga rindu, Sangat, Mas. bisik Nayna dalam hati.
"Mau Mas ajak ke rumah, Mas kenalin dengan orang tua, Mas?"
Tidak, Nayna tidak akan melakukannya. Ia sadar statusnya yang masih istri seorang Arkan.
"Kita akan menikah, dan Mas akan bawa kamu. Mas tidak mau lagi berpisah denganmu."
Aduhai, adakah cambuk yang bisa menghilangkan nyawa Nayna sekarang? Ia tidak sanggup melihat mata lelaki yang sangat disayanginya itu.
Mata itu penuh luka dan setitik harapan, lelaki itu masih sama. Mencintainya dengan segala kekurangannya.
"Aku sudah menikah," cicit Nayna menggigit bibit bawahnya.
Ia sudah tau konsekuensinya, tapi ia tidak ingin berbohong. Biarlah ia melihat luka itu untuk yang terakhir kalinya.
Wajah tampan dan berkharisma itu merah dengan urat biru menonjol. Matanya berkaca-kaca dan merah seakan siap meleburkan apa yang ada di depannya.
"Di mana suamimu?." tanya Lio masih dengan suara tegas. Tidak menutupi wajah merah dan raut kecewa.
"Mas kenal."
"Siapa?" tanya laki-laki itu lagi.
"Mas Arkan."
Tangan lelaki yang tertaut di atas meja semakin mempertegas urat tangan dan wajahnya.
"Bagaimana bisa, bukankah dia tunangan orang?" Lio tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Tangannya meraup kasar wajah frustrasi. Sedalam mana luka yang menimpa wanita di depannya?.
"Hubungan seperti apa yang mengikat kalian?"
"Kami menikah sah, setelah dua tahun aku terombang-ambing, bingung dengan jalan hidupku. Dan Mas Arkan saat itu sedang uji coba sidang, kami berkenalan dan memutuskan menikah tiga tahun yang lalu."
"Kamu menjadikannya pelarian?"
Nayna tidak menjawab, karena Lio tau jawabannya.
"Kami hanya menikah, tidak ada cinta. Saat itu kami hanya menjalani tanpa harus melibatkan hati."
Lio percaya, karena dia melihat cinta itu masih sama seperti dulu. Cinta yang terpancar dari mata Nayna.
Untuknya!
"Aku akan memintamu padanya." Ucap Lio, ia seperti menimbang sesuatu sebelum melanjutkan kalimatnya."Dan aku akan mengizinkan dia menikah dengan Laras."
Nayna tertegun, Lio akan melakukannya? Senyum bahagia membingkai wajahnya. Inilah lelakinya, ia pernah berjanji akan kembali, lihatlah dia kembali bukan? Nayna saja yang kurang bersabar.
"Aku sempat dengar, Mas adu jotos dengan mas Arkan?"
"Jangan sebut nama dia." kesal Lio. ia tidak suka lelaki yang sudah menagmbil wanitanya, terlepas tidak ada dirinya saat itu.
Nayna tersenyum. "Dia suamiku." canda Nayna.
"Nay!."
Kekehan Nayna tertular pada Lio, tangan kanannya mengusap sayang kepala wanita yang sangat dicintainya dengan senyum yang sangat dirindukan Nayna.
"Sore itu, Mas lihat dia bertengkar dengan adik Mas. Mas sendiri nggak tahu masalahnya apa, yang Mas dengar saat itu, pria brengsek itu bilang kalau memang tidak serius kenapa Laras mau menerima lamarannya?." Lio menghela nafas berat, tidak sedikitpun matanya teralihkan dari wajah sang pujaan hati.
"Kamu pasti sudah kenal Laras?"
Nayna mengangguk, ia juga baru tahu ketika malam Arkan curhat padanya.
"Dia satu-satunya adikku, saat melihatnya menangis malam itu tanganku tidak bisa diam."
Nayna mengerti, ingatannya kembali pada malam itu. Malam di mana ia harus mendengarkan curahan isi hati Arkan.
"Dia memang brengsek, dia punya istri dan bertunangan dengan orang lain. Mas sangsi akan sesuatu." tegas Lio dengan mata masih menatap wajah Nayna.
Kernyitan dahi Nayna membuatnya tersenyum, "Jangan pikirkan, akan Mas mudahkan."
Satu pesan menyela pembicaraan keduanya.
Arkan
Ica nangis dari tadi. Kamu, di mana?
Kirim alamat aku jemput!
"Kita pulang sekarang, Mas?"
Lio tersenyum. Ia belum puas melihat wajah kekasihnya. Tapi ia juga tahu batas sementara semuanya jelas.
"Kamu tidak tinggal di sana kan?."
"Tidak," tapi tidak tahu nanti, karena masalah pernikahannya baru saja terungkap dan belum jelas. Bu Wati pasti ... Nayna pucat begitu nama itu terlintas dalam benaknya.
"Akan aku jelaskan lain kali, Mas. Kita pulang sekarang ya?"
Lio mengangguk dan merasa terganggu dengan raut wajah Nayna, yang seperti ketakutan?.
***
Lio benar-benar mengantar Nayna ke rumah Arkan, dia ikut masuk karena ingin berbicara dengan pria tersebut.
Ketika Nayna masuk, Arkan menghampiri lelaki yang digilai istrinya sekaligus calon kakak ipar.
"Aku sudah tahu kamu brengsek." ucapan tegas Lio mewarnai suasana sore nan sejuk itu.
"Percepat tanggal pernikahanmu dengan Laras, dan lepaskan Nayna!."
Senyuman Arkan membidik emosi Lio, tidak berhargakah Nayna-nya bagi lelaki brengsek tersebut?.
"Pasti, bukankah aku pernah mengatakan aku sangat mencintai Laras?"
Kepalan tangan Lio tersembunyi di pangkuannya. Ingin menghajar lelaki brengsek itu agar tidak mudah mengucapkan kalimat sakral itu di saat ia masih berstatus seorang suami.
"Jangan main-main denganku, Arkan!."
Arkan tertawa pelan, "Aku yang seharusnya mengatakan itu. Apa kabar wanitamu saat Mas memilih pergi menyongsong masa depan cerah sementara dia berkabung nestapa?."
"Aku pergi dengan izinnya, Nayna tahu itu."
"Nayna memang tahu, tapi apa Mas tahu apa yang dilakukan wanita itu ketika melewati hari-hari tanpa Mas?."
Lio diam, ia sama sekali tidak mengerti maksud Arkan. Lebih baik ia tanyakan langsung pada Nayna, apa yang terjadi ketika ia pergi sampai harus menikah dengan laki-laki brengsek seperti Arkan.
"Ketika aku melepaskannya nanti, kuharap Mas bisa mengembalikan senyum Nayna."
Lio berdesis penuh emosi, "Aku tidak perlu nasehatmu, urusi masalahmu sendiri!."
Setelah itu Lio berlalu, masuk ke mobil. Ia butuh waktu dan ruang untuk bergerak. Bahagianya ada bersama Nayna, dan sebentar lagi mereka akan mereguk kenangan yang pernah dilewati bersama.
***