Alekta berdiri di depan pintu keluar hotel, dikeluarkannya ponsel lalu memeriksa lokasi yang ingin dikunjunginya hari ini. Dia terus menggulir ke atas nama tempat yang ingin dikunjunginya.
"Stadtpark ... aku akan ke sana!" gumam Alekta lalu memberhentikan sebuah taksi.
Tidak membutuhkan waktu lama bagi Alekta tiba di tempat tujuan. Dia berjalan taman dan menikmati suasana yang begitu tenang.
Selama menikmati taman ini, Alekta mulai menyadari jika dirinya sedang diawasi. Namun, dia menghempaskan semua itu karena di sini dia tidak memiliki musuh sama sekali.
Dia pun baru pertama kali berkunjung ke Austria karena sibuk dengan pekerjaannya untuk membantu sang ayah. Padahal dia sejak lama ingin berlibur ke negara ini.
Ponselnya berdering, dia mengambil ponsel yang berada di dalam tasnya. Dilihatnya layar ponsel tertera nama Elvano, dia langsung mengatakan teleponnya.
"Halo ...," ucap Alekta pada Elvano yang berada di seberang telepon.
Elvano terdengar seperti khawatir, dia menyuruh Alekta untuk segera pergi dari taman itu. Dia pun menyuruhnya untuk segera kembali ke hotel.
Alekta bertanya mengapa dirinya harus kembali ke hotel. Sedangkan acara jalan-jalan santainya belum selesai, dia tidak ingin mendengarkan apa yang dikatakan oleh Elvano lalu Alekta memutuskan sambungan teleponnya.
Dia melanjutkan jalan-jalannya, menikmati taman dengan santainya. Padahal sedari tadi ada beberapa orang yang sedang memperhatikan dirinya.
Ada sebuah kursi yang bisa dijadikan tempat untuk beristirahat. Alekta duduk di kursi atas kursi itu, sembari menikmati setiap pemasangan yang indah dan lalu lalang orang-orang yang sama sepertinya menikmati taman ini.
Tidak terasa dia duduk di sana sudah lebih dari 30 menit tetapi Alekta tidak menyadari waktu yang dihabiskan ya cukup lama.
"Sudah aku bilang untuk kembali ke hotel! Mengapa kau mengabaikan perintahku!" bisik Elvano dengan nada menekan.
Alekta langsung berbalik, kedua wajah mereka sangat dekat sehingga deru napas keduanya saling bertubrukan. Dengan cepat Alekta membuang wajahnya, entah mengapa dia merasa ada yang aneh dengannya jika saling bertatapan dengan Elvano.
Elvano langsung memegang tangan Alekta dan berjalan meninggalkan taman. Dia masih kesal karena wanita ini begitu sulit diatur, disuruh kembali ke hotel malah memutuskan sambungan teleponnya.
Alekta merasa tidak nyaman dengan sikap Elvano seperti ini. Dia tidak tahu apa yang terjadi sehingga pria dingin ini bisa memperlakukan dirinya seperti ini.
Dia berusaha melepaskan tangannya yang digenggam sangat erat oleh Elvano. Namun, usahanya selalu gagal. Elvano semakin menggenggam erat pegangannya jika Alekta berusaha untuk melepaskan diri.
Elvano melihat raut kekesalan dari wajah Alekta tetapi dia tidak peduli. Karena ini semua demi kebaikan Alekta sendiri dan dia tidak ingin terjadi sesuatu padanya.
"Ada apa sebenarnya? Mengapa kau tiba-tiba ada di belakangku dan menarik aku seperti ini?" tanya Alekta pada Elvano setelah mereka berdua berada di dalam mobil.
Alekta pun melihat di kursi depan mobil ada Arda yang baru saja masuk. Dia bingung bukankah pria itu berada di Singapura, mengapa ada di sini.
Dia semakin kesal mengapa pria yang bisa disebut suaminya ini tidak menjawab apa yang ditanyakan olehnya. Pria itu hanya diam seribu bahasa, seperti tidak peduli dengan apa yang ditanyakan oleh Alekta.
Akhirnya Alekta memelihara untuk diam juga, dua tidak akan banyak bicara atau bertanya pada pria sedingin es itu. Dia berpikir lebih baik berada di Singapura untuk melanjutkan pekerjaan sang ayah yang masih butuh bantuannya.
Selama dalam perjalanan mereka tidak saling bicara, itu membuat Arda merasa aneh dengan sikap mereka berdua. Dia merasa jika pasangan suami istri ini belum terlihat harmonis.
Mobil pun berhenti tepat di depan hotel, Alekta langsung membuka pintu mobil dan keluar. Tanpa banyak bicara dia berjalan menuju kamarnya dengan menekuk bibirnya.
"Tuan, mengapa Anda tidak mengatakan semuanya?" tanya Arda pada Elvano.
"Belum saatnya dia tahu semuanya, kau awasi saja pergerakan mereka!" jawab Elvano sekaligus memberikan perintah pada Arda.
"Baik, Tuan." Arda menjawab lalu berjalan mengikuti Elvano menuju kamar hotel.
Alekta yang sudah berada di kamar hotel hanya bisa duduk diam. Dia tidak suka dikekang seperti ini, dalam hatinya terus merutuki dirinya sendiri.
Dia melihat Elvano masuk ke kamar diikuti oleh Arda. Alekta beranjak lalu berjalan menuju balkon dan duduk di sofa yang berada di sana. Tidak terasa kedua mata Alekta terpejam, dia merasa lelah karena gaji sudah merasa kesal terhadap Elvano.
Elvano duduk di atas sofa sembari membuka netbook-nya, dia mulai memeriksa semua pekerjaan yang tadi semoga terganggu oleh penjemputan Alekta. Dia masih merasa kesal dengan wanita yang sudah menjadi istrinya itu tetapi dia tersenyum tipis. Karena Alekta sama sekali tidak berubah.
"Tuan, sudah waktunya makan siang. Apa mau saya pesankan?" tanya Arda pada Elvano.
Elvano mengangguk lalu beranjak dan berjalan menuju balkon. Dia berniat untuk meregangkan tubuhnya yang sedari tadi duduk melakukan semua pekerjaannya.
Dia melihat Alekta yang terlelap di atas sofa di balkon, Elvano berjalan mendekat padanya. Dia tersenyum dan menatap dengan lembut wanita yang sedang marah padanya.
"Apa yang harus aku lakukan padamu? Apa kau begitu mencintai pria itu?" ucap Elvano sembari menyentuh lembut helai demi helai rambut Alekta.
Secara perlahan Elvano menggendong Alekta dan berjalan memasuki kamar. Dia menatap dengan lembut Alekta sembari berjalan. Direbahkan ya tubuh Alekta di atas tempat tidur.
Elvano tersenyum, Arda yang melihat senyum tuannya merasa jika sang tuan begitu banyak mengalah demi istrinya itu. Bahkan dia tadi langsung pergi meninggalkan pertemuan yang sangat penting demi menyelamatkan istrinya dari orang-orang yang ingin menjahatinya.
Beberapa saat kemudian terdengar suara ketukan pintu. Arda membuka pintu kamar dan melihat beberapa pelayan yang membawakan makanan yang sudah dipesan olehnya tadi. Dia menyuruh mereka masuk dan menata semuanya dengan rapi di atas meja.
Para pelayan itu pun pergi setelah menata rapi makanan di atas meja. Begitu pula Elvano yang memutuskan untuk pergi, dia memberikan ruang dan waktu untuk tuannya menyantap makan siangnya bersama dengan istrinya.
"Mau ke mana kau?" tanya Elvano pada Arda.
"Saya akan kembali ke kamar, silakan Tuan menikmati makan siang dengan, Nona." Arda menjawab dengan penuh hormat.
"Tidak perlu. Kau tetap saja di sini!" perintah Alekta yang terbangun saat mendengar para penyelam masuk untuk menyiapkan makan siang.
Arda menatap sang nona, dia merasa tidak enak dengan semua ini. Apalagi saat sang nona menatapnya dengan tajam untuk mencari informasi darinya.
"Sudahlah. Kau tetap di sini!" Elvano berkata dengan nada datar.
Arda menghela napasnya, mengapa kedua orang ini bisa membuat dirinya merasakan kehabisan napas. Mereka berdua tidak memberikannya kelonggaran waktu agar bisa bernapas.
Bukan dalam arti Arda ingin meninggalkan mereka, karena sudah tugasnya selalu berada di sisi Elvano. Hanya sikap dingin sang tuan dan sikap keras kepala sang nona yang membuatnya tidak bisa bernapas.