webnovel

Mendung di Hati Pina

Pina, usianya dua puluh tahun. Menjadi yatim piatu di usia balita. Ia tak pernah tau wujud orang tuanya seperti apa. Sang Bude--adik ibunya tidak pernah memperlihatkan foto ayah ibunya, entah apa maksudnya? Akankah Pina menemukan kebahagiaan? Apa yang menyebabkan Meka sahabatnya mulai menjauh darinya? Temukan jawabannya di cerita 'Mendung di Hati Pina'

Mella_Oktarianti · Masa Muda
Peringkat tidak cukup
3 Chs

1.Titip Salam

"Pina, jangan lupa nanti kunci pintu kalau berangkat ke kampus ya!"

Bude Titin menyeruak dari balik pintu kamar, menyadarkan Pina dari tidur panjangnya.

"Hoaaam... baik Bude."

Dikuceknya netra yang mulai terbuka itu. Jam beker berbentuk love diambilnya dari meja yang terletak di pojok kanan tempat tidur.

"Ya Tuhan! Sudah jam sembilan_mati aku," ucapnya sambil menarik selimut yang menutup kakinya itu.

Diraihnya ponsel yang terhimpit di bawah bantal. Kemudian mengirim pesan kepada Meka--sahabatnya.

[Uni, aku telat tolong absenkan dulu ya!]

Ting...

[Okee.] balas Meka melalui aplikasi Whatsapp.

Pina, anak yatim piatu yang ambisius dan egois. Ia benci penolakan. Jika ia berkeinginan itu mesti dapat. Tak peduli jalan yang diambil terkadang melenceng dari alur sebenarnya. Gadis bongsor berkulit putih dengan tahi lalat yang melekat di bibirnya itu menandakan kalau ia 'cerewet'. Ia merupakan mahasiswi semester enam di sebuah universitas negeri di kota Padang.

Pina memiliki tiga orang sahabat : Meka-si kutu buku yang pendiam, Rea si tomboi-pecinta komik dan Rina si ceplos- penyuka makan segalanya.

"Uni Meka, kirim salam sama Ikhsan ya! Aku suka," kata Pina sambil memegang pipinya yang tembam.

Meka, gadis berkaca mata itu merasa risih dengan sahabatnya itu-- menggaruk-garuk kepala yang tak gatal berujar, "Ih! Pin... Apaan sih, masa cewek nguber-nguber cowok?"

"Tau tuh! Jadi cewek jangan murahan napa?" celetuk Rea sambil membuka lembaran demi lembaran komik Naruto yang dibacanya.

Sementara Rina hanya sibuk mengunyah roti yang dibelinya di kantin kampus-tanpa peduli sahabatnya berbicara apa.

"Bodo amat lah, yang penting aku suka! " ujar Pina sembari menarik lengan Meka-sahabat kentalnya itu.

"Makan siang di mana kita?" ujar Rina yang mulai kelaparan, padahal tak sampai satu jam yang lalu, lambungnya diisi makanan.

Pina yang sibuk memperhatikan potret Ikhsan-si mahasiswa Fisipol yang ia ambil secara diam-diam dari kamera ponselnya itu-senyum senyum sendiri.

"Hei...."

Rea menepuk pundak Pina sehingga membuatnya kaget.

"Aaaaargh...," teriak Pina di tengah jalan. Orang sekitar yang mendengar-heran.

Meka dan Rina langsung tanpa ampun mengatup mulut Pina yang ternganga lebar itu.

"Ssssst!"

"Makanya kalau lagi jalan itu jangan bengong macam bebek belum makan siang," canda Meka.

"Plend... tau gak si Arfan-alumni kampus kita-sekarang jadi asisten dosen?" tanya Pina di sela makan siang di kantin prodi Sastra Jepang.

"Huk...huk...huk...."

Meka yang sedang makan mie ayam kesukaannya tersedak mendengar nama Arfan.

"Minum! Minum!" suruh Rea menyodorkan segelas orange jus untuk Meka.

"Manga Uni ko_?" tanya Pina dengan dialek Padang.

Meka hanya tersenyum tipis. "Emang ada apa dengan kak Arfan, Pin_?"

"Uni tau orangnya?" Pina mulai antusias, "aku perhatikan dia cakep juga, tubuhnya yang tinggi dan kekar, bikin aku jatuh hati juga sama asdos itu. Titip salam ya Uni!"

"Astagaaaa..." Rea dan Rina tanpa sadar menepuk kening mereka secara berjamaah.

"Pinaaaaa...." teriakan ketiga sahabatnya itu memecah gendang telinga orang yang mendengar.

"Aih... Mengapa semua pada teriak? Budek tau!" seru Pina seolah merasa tak bersalah.

Rina yang menangkap tanya Pina langsung bereaksi, "Satu aja belum tentu dapat Kamu_Pina...Pina...."

Meka dan Rea hanya bersedekap tanda tak habis pikir dengan sikap temannya itu.

"Ya... siapa tau aja kan, ada salah satu yang nyangkut?" celoteh Pina mendengus hidung yang tak gatal.