webnovel

1. Bookstore

Setiap orang selalu punya tempat favoritnya sendiri, entah untuk menghabiskan waktu, membunuh kejenuhan, ataupun sekadar menghela napas lelah di suatu tempat sambil menatap jendela yang berhadapan langsung dengan jalan beraspal yang lumayan penuh sesak kendaraan.

Leony salah satunya. Tapi, dia punya alasan sendiri mengapa memilih toko buku di depan rumah sebagai spot favoritnya merenung sendirian.

Toko buku itu sendiri bernama Melody Bookstore. Tidak banyak yang Leony tahu tentang toko buku itu, kecuali interiornya yang luas, banyak buku pendukung pelajaran yang Leony butuhkan untuk belajar, dan juga kasir paruh waktunya yang bernama kak Yovela.

Melody bookstore sendiri baru berdiri 2 tahun lalu, tepat ketika Leony hampir menjalani ujian nasional sekolah menengah pertama. Bangunannya tidak terlalu megah, tapi Leony suka. Suka sekali malahan. Leony biasanya mampir ke toko buku itu satu minggu sekali. Terkadang untuk membeli buku, terkadang juga hanya untuk membaca buku-buku yang plastik pembungkusnya sudah terbuka.

Kak Yovela yang baik hati selalu memberi izin Leony untuk berlama-lama di toko buku, karena Leony ini hanya tingggal di seberang jalan. Orang tua Leony sendiri punya minimarket yang kerap dikunjungi kak Yovela untuk membeli makanan atau minuman dingin.

Singkatnya, mereka sudah kenal baik.

Selain kak Yovela, pegawai paruh waktu yang lain di Melody Bookstore juga ada. Namanya kak Riku dan kak Jerry. Mereka berdua juga baik sih, tapi hobinya main game terus. Leony tidak terlalu akrab dengan dua laki-laki itu. Kak Yovela tetap menjadi yang nomor satu di hati Minjeong. Apalagi kalau kak Yovela sudah memberi rekomendasi novel-novel baru padanya, meski Leony sendiri tidak terlalu suka membaca novel. Apalagi novel romansa.

Ah, ternyata Leony tahu banyak juga tentang toko buku ini.

"Leony, sudah di sini?"

Leony membalikkan tubuhnya yang sedang jongkok di depan rak buku. Wajah cantik kak Yovela langsung menyapa kedua mata kecilnya.

"Eh, kak Yove? Baru datang?"

Yovela langsung mengangguk sambil tersenyum. "Iya, Leony. Kelasku tiba-tiba diundur tadi. Dosennya kena macet di jalan."

Garis lembayung yang mulai menyilaukan mata, dan jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 5 sore. Leony bisa langsung memahami kenapa wajah kak Yovela kelihatan kusut sekali.

Pasti berat untuk kak Yovela kuliah sambil kerja paruh waktu.

Leony memandangi kak Yovela yang langsung berjalan menjauh darinya menuju meja kasir, bicara sebentar dengan kak Jerry yang langsung kelihatan gembira karena shift kerjanya berakhir.

Leony sendiri langsung menekuri kegiatannya kembali, membaca buku kumpulan idiom bahasa inggris. Bacaannya sering berubah-ubah, ini semata-mata dia lakukan karena tuntutan orang tuanya yang ingin Leony selalu menjadi nomor satu di sekolah.

Berkat adanya toko buku ini, Leony jadi punya makin banyak bahan belajar tanpa perlu repot-repot pergi ke toko buku yang jaraknya lumayan jauh dari sini.

Selesai dengan bukunya, Leony cepat-cepat berjalan ke kasir untuk menemui kak Yovela lagi. Ia mau berpamitan pulang seperti biasa.

"Kak Yove, aku pulang dulu ya."

"Sudah selesai bacanya, Leony?"

Leony mengangguk.

"Kali ini baca buku apa?"

"Idiom bahasa inggris, kak. Masih belum paham, sih. Tapi aku akan baca lagi sampai paham."

Kak Yovela tersenyum. "Ya ampun, rajinnya kamu ini. Padahal baru kelas dua sma."

Leony tersenyum agak lebar saat kak Yovela memujinya. Sebenarnya, alasan lain Leony suka dengan keberadaan kak Yovela adalah karena kak Yovela berbeda dari orang yang harusnya paling Leony sayang, yaitu ibunya. Leony tidak pernah mendapatkan pujian sama sekali.

Meski ibunya menekan Leony untuk menjadi nomor satu di sekolah, tapi setiap kali Leony membawa pulang rapor yang berisi prestasi yang baginya mengesankan itu, tidak pernah ada ucapan selamat apapun yang ia terima. Ketika nilai Leony turun, ibunya mencaci-maki. Tidak ada kata-kata penyemangat yang harusnya Leony terima. Ibunya justru bilang kalau Leony memalukan karena kalah dari orang lain.

Leony terkadang lelah dengan keadaan di rumahnya sendiri.

Tapi kak Yovela berbeda. Dia mau memuji Leony, bahkan untuk hal kecil yang tidak pernah Leony anggap istimewa.

Sibuk berbincang dengan kak Yovela, Leony sampai lupa kalau tujuannya tadi hanya ingin pamit. Mereka justru mengobrolkan banyak hal. Beruntungnya toko buku ini sedang sepi pengunjung, jadi tidak terlalu mengganggu.

Tapi di sela-sela percakapan mereka, Leony tiba-tiba dikagetkan oleh seorang laki-laki yang entah dari mana asalnya berdiri di depan meja kasir. Satu tangannya dia letakkan di meja kayu di hadapannya, lalu menyangga dagu.

"Hei, Yove. Kamu sudah makan belum? Mau makan denganku?"

Kak Yovela langsung memutus kontak mata dengan Leony, beralih ke seseorang yang baru saja masuk ke toko buku ini.

"Eh, Julian? Aku belum makan sejak siang, mungkin nanti saja sekalian makan malam. Atau kamu mau belikan?"

Yang bernama Julian langsung mengangguk santai. "Tentu. Apapun untukmu."

Leony hampir saja mual saat melihat Julian mengerling ke arah kak Yovela. Tapi kak Yovela sendiri hanya tertawa melihat tingkah Julian.

Aneh sekali menurut Leony. Kenapa laki-laki ini sok kenal sekali dengan kak Yovela? Apa dia pacar kak Yovela?

---

Duduk seorang diri di dalam kamarnya, Leony diam-diam memetik gitarnya pelan. Dia tidak berani menyanyi sambil memainkan gitar begitu keras saat ibunya di rumah, karena sudah pasti akan dimarahi.

Gitar itu sebenarnya bukan milik Leony, melainkan milik kakak sepupu Leony yang bekerja di luar kota. Dulu kakak sepupunya itu sempat mengajari Leony cara bermain gitar, dan akhirnya Leony diperbolehkan menyimpan gitar itu untuknya sendiri. Meski awalnya ibunya melarang.

Ibunya memang selalu begitu. Wanita itu benar-benar membuat Leony lelah. Jujur saja, semua ini sudah berlangsung sejak Leony menginjak bangku smp kelas satu. Keluarga yang tadinya baik-baik saja, jadi retak. Ayah dan ibunya yang tadinya harmonis berubah saling memunggungi.

Ayahnya berselingkuh, dan ibunya hampir gila karenanya. Leony bahkan mungkin jauh lebih hampir gila karena menanggung luka ini seorang diri di usianya yang masih sangat muda.

Dulu saat kecil, Leony banyak tersenyum. Apa saja selalu dia ceritakan pada orang tuanya, termasuk saat dia kalah lomba di sekolah, jatuh dari sepeda dan lututnya berdarah. Semua selalu Leony ceritakan, tapi sejak mereka bertengkar, Leony jadi semakin diam.

Leony tidak berani berbagi cerita lagi karena ibunya selalu marah. Ibunya selalu membentak tiap kali Leony berbagi cerita, karena menurutnya menambah-nambahi sakit kepala saja. Ayahnya juga sama, jadi selalu pulang kerja larut malam setelah ketahuan berselingkuh. Nampaknya ayahnya bahkan tidak peduli dengan keberadaan Leony lagi.

Ibunya sekarang berubah menjadi orang yang berbeda. Walaupun sudah jadi rahasia umum di antara para tetangga bahwa keluarganya sering berselisih, tapi ibunya tetap bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Ibunya justru menekan Leony untuk jadi nomor satu agar bisa mengikis rumor buruk tentang rumah tangganya.

Mungkin saja dengan memamerkan prestasi Leony tidak akan membuat ibunya kehilangan muka di depan para tetangga.

Apalagi yang bisa Leony lakukan selain menurut? Lagipula, orang-orang selalu bilang kalau tugas seorang anak adalah berbakti pada orang tuanya.

Sekarang, hanya gitar satu-satunya teman Leony di rumah, dan kamar adalah tempatnya yang paling aman. Leony jadi tidak perlu mendengar kedua orang tuanya adu mulut. Ia juga jarang menemani ibu atau karyawan ibunya yang menjaga minimarket. Tiap pulang sekolah, Leony langsung naik ke lantai dua, ke kamarnya. Saat akhir pekan, dia akan mampir ke toko buku.

Tanpa sadar melamun, Leony memetik senar gitarnya terlalu keras. Dia hampir hilang kendali karena teringat memori masa lalu. Ia lantas mengerjap beberapa kali saat menyadari ada langkah kaki yang tiba-tiba menaiki tangga.

Pintu kamar terbuka, membuat Leony membeku. Di sana, di ambang pintu, ada ibunya dengan wajah datar namun sarat akan kemarahan.

"Kenapa kamu tidak belajar?"

Leony terdiam.

"Cepat belajar!"

Leony mengangguk pelan sambil berjalan ke meja belajarnya. Padahal malam sudah menunjukkan pukul 10, tapi ibunya bahkan tidak memberinya ruang untuk bernapas.

Bukannya tidak mau belajar. Leony justru baru saja istirahat sejenak. Dia sudah belajar sampai muak sejak pulang dari toko buku tadi. Tapi apa yang bisa dia katakan ke ibunya?

Tidak ada. Leony tidak berani menjawab.

"Ibu sudah bilang berkali-kali. Kamu ini pelajar. Tugasmu itu hanya belajar. Apa kata tetangga nanti kalau mereka tahu anak ibu sebenarnya bodoh? Kamu mau jadi bodoh? Mau jadi orang bodoh seperti ayahmu?"

Leony tersenyum masam. Lagi-lagi ibunya membahas ayahnya begini.

"Untuk apa kamu main gitar begitu? Apa untungnya? Mau cari perhatian di sekolah? Anak perempuan itu harusnya tidak main gitar."

"Tidak. Aku tidak seperti itu. Aku tidak cari perhatian siapapun." Leony menjawab penuh penekanan. Muak juga terlalu lama diam.

Ibunya lantas terdiam setelah Leony menjawab, lalu membanting pintu dari luar, turun dari kamar Leony.

Leony langsung memerosotkan bahunya. Sebenarnya ia takut sekali kalau barusan akan semakin dibentak karena menjawab ucapan ibunya. Tapi beruntunglah semua itu tidak terjadi.

---

Pukul 12 malam

Leony mengerjapkan matanya berkali-kali, lalu mengecek hp yang ada di atas meja. Ternyata dia ketiduran saat belajar tadi.

Dia langsung membereskan bukunya yang berantakan di atas meja, mematikan lampu kamar dan menutup tirai.

Tapi tunggu...

Kenapa toko buku di depan sana masih menyala lampunya? Bukankah kak Yovela tadi shift malam? Artinya kak Yovela sudah pulang tepat jam 10 tadi, karena ia jadi orang terakhir yang menjaga toko.

Penasaran, Leony membatalkan niatnya menutup tirai. Ia mengamati toko buku itu dalam kegelapan kamarnya. Mata mungilnya mencari-cari siapa gerangan yang masih bertahan di dalam sana selarut ini.

Benarkah kak Yovela?

Leony agak terlonjak saat melihat ada pergerakan dari pojok ruangan. Seorang laki-laki baru saja menyembulkan kepalanya setelah baru saja jongkok diantara rak-rak buku. Di tangan kirinya ada buku dan tangan kanannya memegang pulpen yang sedari tadi dia ketuk-ketukkan ke dagu.

Begitu seseorang itu berhenti pada kegiatannya menatapi rak buku, dia berjalan menuju meja kasir dan mengetikkan sesuatu di komputer.

Leony bisa melihat wajahnya dengan jelas sekarang. Dia adalah seseorang bernama Julian yang tadi bersama kak Yovela.

Sedang apa dia? Apa dia justru karyawan toko buku yang baru?

Semakin Leony lihat, semakin orang itu tenggelam dalam dunianya sendiri. Baru saja Julian memakai headphone untuk menyumpal telinganya. Leony bisa memperkirakan kalau orang itu pasti sedang mendengarkan musik, terlihat dari layar komputernya yang membuka halaman youtube, dan kepalanya yang menggeleng-geleng mengikuti irama lagu.

Sesekali sudut bibir Leony tertarik ke atas. Tidak. Leony tidak sedang terkesima. Dia hanya merasa iri karena seseorang bernama Julian itu nampak bisa menikmati dunianya sendiri dengan leluasa, tidak seperti Leony yang dikelilingi banyak aturan.

Begitu mendengar ada langkah kaki menaiki tangga lagi, Leony sege

ra menjatuhkan diri di ranjangnya dan menyelimuti tubuhnya dengan selimut. Pura-pura tidur.

Ibunya bisa saja marah-marah lagi.

-To be continued-