webnovel

2. Come Again

Sudah tiga hari ini Leony mengamati toko buku di depan rumah lewat jendela kamarnya, dan selama itu juga Leony melihat Julian selalu ada di sana tiap kali shift kerja kak Yovela dimulai.

Sejujurnya, Leony penasaran. Sedikit terganggu juga sih, karena kak Yovela jadi punya teman lain di toko buku untuk diajak bicara, bukan lagi Leony. Padahal Leony selama ini selalu menjadikan kak Yovela tempat perlindungannya saat dia sedang pusing di rumah.

Pulang dari sekolah, Leony masuk ke kamar untuk mengganti seragamnya dengan kaos putih lengan pendek dan rok jeans pendek juga. Langkahnya buru-buru menuruni tangga dan langsung melesat keluar dari rumah.

Aman, pikirnya. Ibunya sedang kebanjiran pelanggan di minimarket dan bahkan tidak tahu kalau Leony sudah pulang. Dia tidak akan dimarahi karena langsung main setelah pulang sekolah.

Berhasil menyeberang jalan, Leony langsung bergegas mendorong pintu toko buku yang selalu bergemerincing tiap kali dibuka.

"Selamat data- eh, Leony?"

Leony ikut tersenyum saat kak Yovela tersenyum lebar padanya.

"Eh, bukannya kamu sudah ke sini minggu ini, Leony? Biasanya kamu cuma ke sini satu minggu sekali."

Leony tertawa canggung. "Oh, aku bosan di rumah, kak."

Leony langsung berjalan menuju rak buku di bagian buku pelajaran seperti biasa. Tapi tatapannya sedari tadi tidak berhenti menoleh ke arah kak Yovela yang sibuk ngobrol dengan Julian. Rasa penasaran Leony seolah tidak bisa terbendung.

Siapa laki-laki itu? Kenapa begitu lengket dengan kak Yovela?

Di sisi lain, Julian yang merasa diperhatikan sedari tadi, ikut menoleh ke arah Leony beberapa kali. Tapi Leony langsung pura-pura membaca buku saat ketahuan sedang curi-curi pandang. Julian langsung mengernyit.

"Yov, siapa dia? Kamu kenal?"

Yovela mengangguk tanpa ragu. "Tentu saja kenal. Dia Leony, anak pemilik mini market di seberang jalan."

Julian terkejut untuk sesaat. "Oh, ya? Mini market tempat Grace kerja paruh waktu itu?"

Yovela mengangguk lagi. Matanya masih sibuk menatap layar laptop, sedang menghitung total buku yang dibeli pelanggan di hadapannya.

"Lalu, kenapa dia sering ke sini?"

Yovela terkekeh pelan. "Dia anak yang pintar. Ibunya bilang dia selalu jadi nomor satu di kelas, bahkan di sekolah. Makanya dia sering ke sini. Mungkin sudah hobinya membaca buku. Iya, kan?"

"Dia anak sma?"

Yovela ikut memperhatikan Leony sekilas yang sedang membuka-buka buku. "Benar. Kelas dua sma."

Julian terdiam setelah mendapatkan penjelasan dari Yovela. Tapi dia masih penasaran mengapa gadis itu tidak juga berhenti curi-curi pandang sedari tadi. Apa yang salah sebenarnya dengan gadis itu?

Berbeda dengan Julian yang penasaran mengenai arti tatapan mata Leony, Leony sendiri justru sedang kesal setengah mati. Dia sebal karena sedari tadi ketahuan memperhatikan mereka.

Akhirnya, Leony memutuskan untuk berhenti menatap ke arah Julian yang lumayan mengganggu, lalu fokus pada buku idiom yang kemarin sempat tertunda ia baca.

Tetapi, satu dehaman seseorang di belakang punggungnya membuat Leony terkejut. Bahkan buku di tangannya jatuh tanpa sadar. Leony buru-buru memungut bukunya dan berbalik badan. Matanya lantas membelalak.

Julian sudah ada di hadapan Leony sekarang.

"Ada yang bisa dibantu?" Julian bersedekap.

Leony menggeleng. Dia dengan cepat mengubah air mukanya menjadi datar kembali.

"Benar?"

"Tentu saja. Aku tidak perlu bantuanmu. Aku pelanggan tetap di sini."

Tapi Leony melihat Julian mengerutkan kening, nampak tidak percaya. Leony jadi tersinggung ditatap seperti itu.

Leony dengan segera merogoh sakunya dan menunjukkan kartu pelanggan tetap yang dibuatkan kak Yovela dua bulan lalu.

Julian meraih kartu di tangan Leony, lalu memperhatikannya dengan seksama. "Untuk apa kartu ini?"

Leony lantas berdecih. "Kenapa kamu tidak tahu? Bukankah harusnya setiap karyawan toko buku ini sudah dibekali informasi lengkap sebelum dipekerjakan?"

Julian mengabaikan perkataan Leony, tidak mau tersinggung oleh perkataan remaja tanggung yang katanya pintar ini. Di mata Julian, gadis ini justru hanya sok pintar saja.

Sekarang Julian bersedekap lagi setelah mengembalikan kartu Leony. Ia mengamati Leony lekat-lekat.

"Kalau memang tidak ada yang perlu dibantu, ya sudah. Aku hanya menjalankan tugasku saja."

Leony sudah hampir lanjut membaca karena dia pikir Julian sudah selesai bicara. Tapi rupanya laki-laki itu masih belum ingin berhenti mengganggu ketenangan Leony.

"Tapi, ada yang ingin kutanyakan padamu." Julian masih bersedekap seperti sebelumnya.

Leony menjawab malas-malasan. "Ya, tanya apa?"

"Tadi aku lihat kamu memperhatikanku terus. Kenapa?"

Leony mengernyit. "Memperhatikanmu? Siapa?"

"Kamu." Jawab Julian tanpa ragu.

"Kenapa kamu bisa berpikir aku memperhatikanmu? Mana buktinya?"

Julian memiringkan kepalanya saat Leony nampak tertawa mengejek, heran dengan tingkah kekanakkan gadis itu. Ia lantas menunjuk cctv yang terpasang di pojok ruangan dengan jari telunjuknya.

"Aku bisa tunjukkan buktinya. Eh, tapi kamu bilang kamu ini pelanggan tetap, kan? Bukankah harusnya kamu tahu kalau toko buku ini dilengkapi cctv untuk mengawasi orang mencurigakan sepertimu?" Julian menutup mulutnya dramatis.

Leony mendadak berang. Tapi dia tidak bisa menjawab apapun. Kenapa seseorang di hadapannya ini pintar sekali membolak-balikkan kalimat.

"Aku tidak memperhatikanmu." ungkap Leony akhirnya.

"Lalu?" Julian menatap tepat di mata Leony, nampak mengintimidasi.

"Aku, aku memperhatikan kak Yovela. Aku lihat banyak antrian di depan meja kasir. Aku hanya kasihan karena kak Yovela kelihatan lelah." Leony bicara ke sana kemari mencari alasan.

Sekarang Julian mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu tersenyum misterius yang justru kelihatan meremehkan di mata Leony.

Leony jadi penasaran apa arti dari senyum Julian barusan. Namun Julian sendiri tidak mengatakan apapun dan justru berjalan kembali ke meja kasir, mulai mengobrol lagi dengan kak Yovela yang masih sibuk.

Menyebalkan. Leony semakin sebal dengan Julian. Pertama, dia merebut perhatian kak Yovela dari Leony. Sekarang, kedua, dia bicara menyebalkan ke Leony. Besok apa lagi?

---

Pulang dari toko buku, Leony berpapasan dengan seorang gadis cantik yang baru saja keluar dari minimarketnya.

Dia adalah kak Grace. Pekerja paruh waktu di minimarket ibunya. Nampaknya kak Grace baru saja mengakhiri shift kerjanya.

Sebetulnya, karyawan di minimarket ibunya hanya kak Grace seorang. Jadi, saat kak Grace sedang kuliah, yang menjaga minimarket hanya ibunya saja. Lagipula ibunya pernah bilang belum ingin menambah karyawan, karena minimarketnya sendiri tidak sebesar minimarket lain yang sudah populer di seantero negeri dan ada di mana-mana.

Kak Grace langsung tersenyum lebar begitu melihat Leony. "Hai, Leony. Habis dari mana?"

"Aku dari toko buku, kak."

"Oh, ya? Aku juga mau ke sana sekarang."

Leony hanya menanggapinya dengan tersenyum tipis. Dia sudah berniat masuk ke dalam rumah, tapi kak Grace menahan lengannya. Gadis kuliahan itu langsung berbisik di telinga Leony.

"Malam ini kunci kamarmu, ya. Tadi aku lihat ibumu kesal sekali setelah menelepon seseorang."

Leony sedikit terperanjat. "Siapa, kak?"

Kak Grace menggeleng. "Entahlah. Ayahmu mungkin. Kalau malam ini mereka ribut lagi, kamu pura-pura tidur saja, oke?"

Leony tersenyum tipis lalu mengangguk. Dilihatnya kak Grace yang buru-buru lari ke seberang jalan. Nampaknya ingin bertemu kak Yovela karena mereka masih saudara sepupu, atau bertemu Julian juga mungkin.

Dalam diam Leony berpikir. Semua kakak-kakak kuliahan yang ada di sekitarnya sangat peduli padanya. Entah itu kak Yovela, kak Grace, kak Jerry, ataupun kak Riku. Pasti akan sangat menyenangkan berteman dengan mereka semua.

Tapi, terkadang juga Leony merasa tidak tega karena mereka semua jadi harus ikut was-was tentang keselamatan Leony di rumah. Padahal mereka semua pasti punya masalah sendiri-sendiri.

---

Kak Grace rupanya benar tentang orangtuanya yang akan ribut lagi. Sekarang, Leony sedang meringkuk di ranjangnya, pura-pura tidur sambil memeluk guling.

Tidak. Leony tidak sedang takut mendengar suara pecahan gelas atau apapun. Lagipula mereka tidak pernah saling memukul, hanya selalu memaki-maki satu sama lain. Tapi hanya memaki-maki pun sudah cukup membuat stres.

Leony hanya sedang mencoba untuk tidur, tapi tidak bisa saking berisiknya.

Sejauh yang Leony bisa dengar, ibunya menyebut-nyebut nama perempuan nakal yang berhasil merebut hati ayahnya. Entah apa yang baru saja terjadi.

Padahal, kalau sudah terjadi perselingkuhan seperti itu, bukankah lebih baik berpisah saja? Untuk apa melanjutkan hubungan yang sudah tidak bisa diselamatkan begitu?

Apakah dengan marah-marah, ibunya pikir ayahnya bisa sadar dan kembali ke pelukannya?

Sepertinya itu mustahil.

"Apa kamu tidak malu? Kamu bawa selingkuhanmu itu ke kantormu. Kamu kemanakan rasa malumu? Oh, tapi tukang selingkuh mana punya rasa malu?"

"Kamu jangan sembarangan bicara. Aku bukan orang sekotor itu. Kapan aku pernah selingkuh?"

"Sembarangan? Kapan? Aku ini bicara sesuai fakta. Foto tadi buktinya. Teman sekantormu yang mengirimkannya padaku."

"Tetap tidak ada bukti kalau dia selingkuhanku. Dia itu karyawan baru di sana. Salah kalau aku mengobrol dengan rekan kerja?"

"Kamu selalu saja seperti itu. Selalu saja berkilah. Orang salah mana mau mengaku salah. Kau pasti takut akan dipecat kalau ketahuan atasanmu, bukan?"

"Kamu kelewatan. Hanya gara-gara foto seperti itu saja jadi masalah. Mana? Apa kami kelihatan bermesraan?"

"Sekarang orang-orang di sini sudah tahu kalau kamu tukang selingkuh. Kasihan sekali anakku karena punya ayah sepertimu." Ibu Leony terduduk lemas.

Ayahnya mendengus. "Dengan karakter suka melebih-lebihkan masalah sepertimu, aku yakin Leony justru akan lebih suka punya ibu baru."

Tidak lama, Leony mendengar ibunya menangis. Hatinya yang rapuh pasti terluka mendengar ucapan kasar seperti itu. Tapi ayahnya, seperti biasa, tidak pernah mencoba untuk menenangkannya. Justru semakin tumbuh subur caci makinya saat ibunya sedang menangis meraung begitu.

"Leony mana tahu kalau kamu dari dulu suka membesar-besarkan masalah dan hobi mengatur. Cemburu buta tanpa alasan. Apa ini yang namanya cinta? Aku tertekan sekali diperlakukan seperti ini olehmu. Aku ini suamimu, di mana wibawaku kalau kamu mengaturku terus? Tapi sekarang, biar dia menilai sendiri. Siapa yang lebih pantas dia anggap orangtua."

Leony menghela napas lelah. Telinganya terasa gatal mendengarkan pertikaian tidak masuk akal di bawah. Mana mungkin juga Leony bisa memilih mana yang lebih baik di antara ayah atau ibunya?

Pilihannya saja tidak ada yang bagus.

Leony lebih pilih sendirian. Saat sudah lulus sekolah nanti, Leony ingin pergi kuliah ke tempat yang jauh, jadi tidak perlu mendengarkan ocehan mereka begini.

Sesaat Leony baru ingat kalau jendela kamarnya belum ditutup. Ia lantas segera turun dari ranjangnya dan berjalan menuju jendela.

Lagi-lagi, tatapannya terpaku pada lampu toko buku yang masih menyala. Tapi di bagian pintu sudah betuliskan

tutup.

Di sana, masih ada Julian yang duduk seorang diri di kursi kasir. Leony buru-buru menutup jendela kamarnya, masih kesal dengan kejadian sore tadi.

-To be continued-