Belva membiarkan Tania menyandarkan kepalanya di bahu bidangnya. Tania berubah menjadi gadis yang berbeda dari beberapa menit yang lalu. Tidak ada lagi teriakan-teriakan bawel di belakang. Tidak ada lagi tingkah-tingkah anehnya yang mengetuk-ngetuk helm Belva nggak jelas. Dari situ, Belva tahu betul, gadis itu sedang tidak baik-baik saja.
Hari hampir petang. Belva tidak tahu harus membawa Tania ke mana, akhirnya dia memutuskan untuk membawa Tania pulang ke rumahnya. Mungkin di rumah Belva, Tania bisa lebih tenang.
Saat menyadari motor Belva berhenti, Tania menarik kepalanya dari bahu Belva.
"Ini kita ke mana, kak?" Tania menghapus air matanya. Berusaha untuk berbicara seceria mungkin.
"Turun! Tadi aku laper. Uangku sudah habis karena kamu rakus. Jadi mending aku pulang dulu. Turun!"
Belva pura-pura tidak peduli, dan bersikap jutek kepada Tania. Padahal sebenarnya dia sangat peduli.
"Ish, jutek amat sih." Tania mengerucutkan bibirnya dan segera turun dari motor. Matanya masih sembab, tapi dia berusaha untuk bersikap ceria.
"Ayo masuk!"
"Eh, aku malu Kak. Masa jam segini main kerumah cowok masih pakai seragam seperti ini."
"Dih, baru tahu kalau kamu punya malu. Ayo masuk! Santai aja, Mama papaku asyik orangnya. Ayo masuk!" Belva segera meletakkan helm di atas motor dan segera masuk ke dalam rumah mewahnya.
Rumah Belva jauh lebih besar dari rumah Tania. Meskipun sebenarnya rumah Tania juga sudah cukup mewah, tetapi masih kalah jauh dari rumah Belva. Rumah dengan 4 lantai itu tampak begitu mewah terlihat dari luar. Apalagi warna putih berpadu dengan emas yang penuh dengan pilar-pilar, membuat rumah Belva tampak megah bak istana.
Tania membuntuti Belva yang masuk ke dalam rumah. Sebelum mengetuk pintu, pintu sudah terlebih dahulu terbuka. Bi Yani yang memakai seragam asisten rumah tangga muncul di balik pintu, lalu menunduk mempersilahkan Belva dan Tania masuk.
"Silahkan masuk mas Belva. Ini siapa, cantik sekali," ucap Bi Yani sopan.
"Model kayak gini cantik, Bi? Pipinya aja kayak Bakpao," kata Belva sambil berlalu. Tania hanya mengangguk ke arah Bi Yani lalu mengekor Belva.
"Selamat malam, Ma." Belva menyapa mamanya yang saat itu sedang nonton drama Korea di ruang keluarga sambil terisak.
"Eh, sayang. Kamu sudah datang?" Bu Hanum segera menghapus air matanya. Make up nya tidak luntur meski pipi-nya banjir air mata. Ya, kelihatan banget kalo itu make up mahal. Begitulah emak-emak sosialita, meskipun mereka hanya di rumah aja tetep make up cantik.
"Mama kebiasaan deh nonton drakor sampai nangis." Belva menghampiri mamanya, mencium punggung tangan dengan sopan.
"Terharu banget sama ceritanya. Oh iya, siapa gadis cantik ini? Pacar kamu?" Bu Hanum mendekat ke arah Tania yang sedang tersenyum meskipun matanya masih sembab.
"Amit-amit, Ma. Pacar Belva itu pendiam dan pemalu. Cantik, cerdas dan tirus. Bukan seperti dia." Belva meletakkan tas di atas sofa lalu menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa. Terlihat sekali ia kelelahan.
"Ih, mulutnya. Dijaga Dong. Ini juga cantik banget kok. Siapa namanya sayang?"
Tania meraih tangan Bu Hanum dan mencium punggung tangannya dengan sopan.
"Saya Tania, Tante."
"Tania masih pakai seragam? Diajak ke mana aja tadi sama Belva. Ayo sini duduk dulu. Kamu pasti capek." Bu Hanum mengajak Tania duduk di sofa ruang keluarga.
"Dia kan bawel banget, Ma. Jadi aku ajak pulang. Suruh dia mandi, Ma. Nanti aku antar dia pulang!"
Tania membelalakkan matanya. Jadi Belva sengaja membuat Tania ke sini? Sepertinya Belva hanya ingin membuat Tania menjauh dari keluarganya sejenak, supaya Tania tidak semakin merasa sedih melihat pertengkaran kedua orang tuanya.
"Maafkan Belva ya Tan. Dia memang begitu. Ini baru pertama kali Belva membawa perempuan ke sini Lo. Jadi Sepertinya kamu spesial." Hanum tersenyum meledek lalu melirik ke arah Belva.
"Wah, beneran tante? Jadi aku perempuan pertama yang diajak ke sini? Wih, terus pacar Kak Belva yang cantik, tirus, dan cerdas itu enggak pernah diajak ke sini? Yeay! Berarti aku menang satu langkah dong!" Tania menjulurkan lidahnya ke arah Belva, meledek.
"Aku kira kamu pacarnya Belva."
"Doain aja, Tante. Doa ibu biasanya kan mujarab banget."
"Halu akut." Belva menyahut.
"Ih, nothing impossible di dunia ini kak Belva. Oh iya, Tante. Saya mau ke toilet dulu, di sebelah mana ya?"
"Belva, anterin dia!" perintah Bu Hanum pada Belva.
"Ogah ma!" Belva mengambil handphone dari sakunya, lalu memainkannya sambil tersenyum.
"Enggak apa-apa Tante, aku sendiri saja. Di sebelah mana?"
"Itu, kamu lurus saja lalu belok kiri. Nanti kamar mandinya di sebelah kanan."
"Terimakasih, Tante," ucap Tania sambil tersenyum ceria lalu segera menuju ke kamar mandi.
Setelah Tania pergi, Bu Hanum langsung mendekat ke Belva antusias.
"Va, itu siapa? Pacar kamu?"
"Bukan, Ma. Dia itu adik kelas yang ceroboh, kepedean dan nggak pemalu sama sekali."
"Ih, Mama tanya beneran. Kok masih pakai seragam? Terus kenapa matanya sembab?"
Belva menghela nafas panjang, lalu menghembuskannya pelan-pelan. Belva menegakkan tubuhnya lalu meletakkan handphone di samping tangannya.
"Orang tuanya mau bercerai, Ma. Tadi saat aku mengantarkan dia pulang, mereka bertengkar dihadapan Tania. Dia menangis sejadi-jadinya. Jadi, aku membawanya pulang dulu. Semoga saat aku mengantarkan pulang dia nanti, suasana di rumah Tania sudah kondusif."
"Uluh, anak Mama keren banget sih. Udah ganteng, pinter, berhati lembut lagi. Tapi, kasihan ya dia. Tapi satu yang membuat mama kagum sama dia. Dia tetap mencoba untuk ceria, sampai tak terlihat kalau dia baru nangis kalau matanya nggak sembab."
"Dia memang begitu, Ma. Aku pikir dia nggak pernah bersedih. Karena setiap hari dia selalu tersenyum dan ceria. Gadis itu selalu melakukan apapun yang dia mau dan apapun yang dia suka tanpa mempedulikan penilaian orang lain asal itu bukan hal yang dilarang. Ternyata aku salah, wajah cerianya itu hanya untuk menutupi kesedihannya."
"Va, cari pacar tuh seperti itu. Apa adanya dan selalu bikin ceria."
"Ih, Ogah. Mama enggak tahu aja dia itu aneh. Masa iya ke sekolah bawa nasi putih sama pare mentah. Dan Mama tau nggak, dia pesan bakso dua mangkok dan masih di makan sama nasi yang ia bawa dari rumah. Malu-maluin banget kan, Ma? Amit-amit punya pacar kayak gitu."
Bu Hanum langsung tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya.
"Ya Ampun, kocak banget sih dia Va. Aduh, ikut gemes deh mama. Tapi yang seperti itu malah susah nyarinya," ucap Bu Hanum yang saat itu masih tertawa kecil.
"Kocak? Itu malu-maluin Ma." Belva bergidik mengingat kejadian tadi siang.