Jika menilai keadaan rumah tante Liskani, bisa dikatakan rumahnya itu mendekati sempurna. Ini wajar karena Tante Liskani memiliki banyak pembantu dan pesuruh yang bisa dimintainya tolong untuk mengatur segalanya sesuatunya dengan sedemikian rupa, tanpa harus di suruh.
Tapi mengenai penampilan tante Liskani, aku menjadi prihatin. Ia terlihat begitu kurus dari yang semestinya. Aku cukup khawatir melihatnya. Kematian putrinya telah menjadi pukulan yang teramat besar baginya. Ia masih saja menyalahkan dirinya sendiri atas kematian anaknya, Alexa. Seperti yang sudah aku tahu, Tante Liskani yang secara langsung memaksa Alexa untuk menikah dengan orang yang sama sekali bukan pilihan putrinya.
Sepanjang aku ada di sana, tante Liskani menceritakan segalanya tentang Alexa begitu saja. Tapi tentunya dengan sedikit tersedu-sedu menahan tangis yang hampir kering karena sudah banyak yang ia keluarkan.
Tante Liskani pasti membutuhkan seseorang untuk berbagi cerita mengenai beban berat yang dihadapinya ini. Dan kebetulan aku ada di sini. Waktu yang mungkin sedikit terlambat tapi cukup berguna untuk mengurangi bebannya, walau hanya sedikit. Kami mengobrol sangat lama hingga hari cukup larut menjelang malam.
Aku mengamati sekeliling.
"Tan, Oom Irawan belum pulang dari kantor?" tanyaku sopan saat masih tidak mendapati Oom Irawan di rumahnya. Padahal hari sudah hampir malam.
"Ow, Oom sedang dinas di luar kota. Jadi untuk sementara ini cuma tante dan beberapa pembantu yang ada di sini," jawab tante yang kubalas dengan anggukan.
"Tan, boleh Queen bilang sesuatu?" tanyaku hati-hati. Tante Liskani mengangguk pelan.
"Sebaiknya tante lupain masalah tante tentang Alexa ya?" ucapku, "Mbak Alexa 'kan udah pergi... jadi tante sebaiknya nggak nyalahin diri sendiri atas kematian Mbak Alexa. Ini bukan salah siapa-siapa 'koq. Dan ini jelas juga bukan salah tante. Coba deh, tante berkaca sekarang. Muka tante kecek banget."
"Tante tahu," matanya terlihat lemah sekali, "Alexa memang sudah tak ada di sisi tante lagi. Tapi tante ingin terus bisa mengenang dia dan terus menyadarkan diri tante, akan kesalahan dulu yang pernah tante lakukan padanya. Yang membuat secara tidak langsung kecelakaan itu sampai terjadi. Semasa hidup Alexa, dia tidak pernah bisa bahagia karena tante terus saja memaksakan kehendak tante padanya. Tante tahu tante egois. Tante tidak pernah mau tahu apa yang dirasakan anak tante sendiri. Tapi jujur, tante tidak pernah benar-benar marah padanya."
Tangis Tante Liskani pecah. Tangisan yang sudah kesekian kalinya dikeluarkannya demi menebus kesalahan masa lalunya pada putrinya. Aku menyentuh bahunya perlahan. Dan mencoba sedikit merasakan apa yang dirasakannya walaupun tentu tidak bisa sepenuhnya merasakan . Dan berharap kesedihan tante bisa terangkat atau berkurang.
"Tan... Itu namanya tante lebih egois. Aku pernah denger, kalo orang yang sudah meninggal dunia, dia tidak akan bisa hidup dengan tenang dan berenkarnasi jika masih ada orang sekelilingnya yang belum merelakan kepergiannya. Apa Tante pengen Mbak Alexa nggak tenang jiwanya dan terus melayang-layang jiwanya di dunia yang sudah bukan miliknya lagi?? Tante mau liat Mbak Alexa tambah menderita?" Au berusaha berkata senatural mungkin. Tanpa berniat mengurui atau menyumpahi apa yang terjadi.
Tante Liskani yang tidak berpikir sejauh itu, terkejut mendengar ucapanku. Aku mencoba bicara lahan lagi.
"Tante... kalau tante sayang sama Mbak Alexa, tante harus bisa melupakan semua ini dan merelakan kepergian Mbak Alexa dengan perasaan bahagia," ujarku, "Coba tante lihat kondisi tante sekarang! Tante keliatan lebih kurus dan pucat dibandingkan dengan saat terakhir Queen liat. Tante nggak mau 'kan kalau Mbak Alexa sampai cemas juga melihat tante di alam sana?"
Tante Alexa terus memperhatikanku berbicara sambil meresponku dengan sekali-kali menggeleng atau mengangguk.
Seketika itu, air mata Tante Liskani jatuh membasahi wajahnya lagi. Aku menepuk pundaknya pelan dengan penuh kasih sayang. Bagaimanapun juga Tante Liskani adalah seorang ibu yang amat menyayangi anaknya. Alexa membuka mulut untuk menyampaikan sesuatu pada mamanya. Aku mengikuti ucapannya.
"Alexa nggak pernah nyalahin Mommy atau bahkan membenci mommy. Mengenai kematian Alexa, Alexa nggak nyalahin siapapun. Ini semua sudah menjadi takdir Tuhan. Justru Alexa bersyukur bisa lahir sebagai anak Mommy, dan juga Papi Ira. Jadi, berhentilah menyalahkan siapapun atas apa yang sudah terjadi. Alexa nggak pengen ada yang sedih. Untuk itu, berbahagialah sekarang demi Alexa. Alexa sayang kalian semua. Kapanpun dan dimanapun Alexa akan selalu ada di hati kalian."
Tangis tante Liskani pun pecah. Ia menangis sejadinya. Dirasakannya semua beban yang ada dipundaknya terangkat. Kini ia memang harus hidup lebih baik tanpa terus memandang ke belakang. Demi dirinya. Dan juga anaknya yang tercinta.
***