"Puas loe, hah ?!" Aku balikkan badanku menghadapnya. Dan menumpahkan semua kekesalanku padanya. Saat ini kami berada di toilet wanita. Dan aku yakin tidak ada siapapun yang ada di sekitarku.
"Apa sih mau elo? Gue capek tahu nggak, kalo elo terus-terusan ngikutin gue kemana pun gue pergi. Hidup gue jadi nggak tenang!! Please jangan ganggu gue. Oke?" seruku kesal.
"Aku tidak akan berhenti sebelum kamu mengiyakan permintaanku. Aku akan terus mengganggumu sampai kamu menyerah dan mau membantuku," balasnya dengan yakin dan santai.
Aku menatapnya kesal. Setelah beberapa hari sepertinya aku mulai terbiasa dengan sosoknya yang tidak manusiawi.
"Owya?? Tapi itu bukan membantu. Tapi hanya akan menjerumuskan gue ke lubang maut. Elo nyadar dong.. gue masih terlalu kecil dan nggak tahu apa-apa seperti yang elo bilang. Masa sih elo mau nyuruh gue ngelakuin hal yang gak masuk akal kayak gitu?? Elo gila Apa !?"
"Aku tidak meminta bantuan kamu sepenuhnya 'koq. Aku cuma ingin kamu mempertemukan aku dengan Daniel. Kamu kan tahu dia sudah tidak ada di tempatnya sebelumnya. Aku belum bertemu dengan dia lagi. Dia pindah rumah dan entah sekarang berada di mana. Pertemukan aku dengannya dan semua masalahmu beres. Aku yang akan membalasnya dengan tanganku sendiri. Aku jamin."
Aku menghelah napas.
"Elo selalu bikin gue pusing dengan semuanya sejak kedatangan elo di hidup gue. Oke. Gue bakal bantu elo. Tapi cukup mempertemukan elo dengan Daniel 'cowok pujaan hati sekaligus kurban loe' itu 'kan? Tapi setelah itu elo harus pergi jauh-sejauhnya dari hidup gue!! Ingat itu," ucapku akhirnya.
Daniel adalah mantan pacar Alexa. Dia memang seorang montir. Dan usianya sudah 28 tahun. Dengan usaha yang terus menerus, aku pergi mencari informasi dari tetangganya tentang keberadaan Daniel. Hingga aku menemui teman-teman Daniel yang Alexa kenal. Tapi semua itu nihil.
Aku tetap tidak mendapat informasi apapun yang bisa kami bawa pulang dari usaha pencarian. Usaha kami sia-sia. Dan sama sekali tidak ada petunjuk apapun. Mereka seperti hilang ditelan bumi. Sudah sebulan kami mencari dan terus mencari tapi tetap tidak menghasilkan apapun juga. Rasanya tidak ada yang bisa kami lakukan selain menyerah.
Ini membuat kesedihan yang luar biasa bagi Alexa. Ia menjadi murung dan tak banyak bicara. Yang dilakukannya sehari-hari hanya melayang-layang di atas kamarku. Aku yang melihatnya ikut merasa sedih. Aku merasa bertanggungjawab atas apa yang menimpanya.
Padahal seharusnya aku senang karena ia akhirnya tidak melakukan niat buruknya untuk balas dendam. Tapi rasanya sulit sekali untuk merasa senang bila melihat Alexa yang seperti ini sekarang. Diajak bercanda pun ia tidak menggubris. Ia seperti patung terbang yang dingin.
"Ayo dong, Lex… jangan terus-terusan seperti ini. Gue nggak betah lihat elo yang kayak gini. Kita masih punya misi kedua kan?? Mempertemukan elo dengan orangtua loe. Ya kan, Lex? ya??" ucapku dengan wajah semanis mungkin.
Aku tahu ini sudah kesekian kalinya aku menghiburnya dengan menawarinya untuk bertemu dengan kedua orangtuanya. Dan aku rasa sudah kesekian kalinya juga ia menolak untuk bertemu dengan kedua orangtuanya.
Alexa masih merasa kesal dengan mereka. Ia masih belum siap untuk bertemu mereka. Bukan karena Alexa benci pada mereka, tetapi lebih karena ia kesal dengan sikap orangtuanya dulu. Hingga tiba-tiba saja sebuah anggukan dari Alexa membuatku terkejut.
"Elo mau??" tanyaku memastikan.
"Iya bodoh," balasnya dengan gaya yang khas. "Aku sampai bosan denger kamu merengek-rengek minta aku menemui orangtuaku. Sekarang giliran kamu yang membuatku bingung dengan rengekan kamu itu."
Aku menbibir, "Enak saja. Ini juga gara-gara siapa, hah?"
Aku kemudian tersenyum senang.
***
Besoknya kami langsung pergi menuju rumah Tante Liskani dan Oom Irawan. Sesampainya di sana, kami hanya mendapati Tante Liskani di dalam rumah. Ia terlihat pucat dan kurus. Padahal jelas baru satu setengah bulan yang lalu aku melihatnya tampak agak gemuk di rumah duka.
Aku melirik ke arah Alexa. Dapat kulihat, Alexa juga merasakan perubahan drastis yang terjadi pada mamanya. Aku yakin ini membuat hatinya renyuh.
"Kamu kok dateng nggak bilang-bilang sih? Tante sampai kaget melihat kamu di depan pintu. Kamu anaknya Alice kan?" tanya Tante Liskani padaku sambil mempersilahkan aku masuk di ruang tamunya yang besar.
"Iya, tante. Maaf kalau kedatangan Queen menggangu," jawabku dengan sopan.
"Ah, kamu bisa saja. Tante justru senang kamu dateng ke sini. Ayo, duduklah." Tante Liskani mempersilahkanku duduk.
Rumah ini besar dan cukup megah. Semua perabotan tertata rapi. Tidak seperti kamarku yang berantakan dan agak kurang terurus. Karena aku tidak pernah mengizinkan seorang pembantu manapun boleh masuk ke kamar milikku, sekalipun untuk membersihkannya. Bagiku kamar adalah ruangan paling rahasia. Jadi takkan kuizinkan sembarang orang masuk, dan bahkan menyentuh barang-barang kepunyaanku, walau apapun yang terjadi.