webnovel

Lorex 19

Sebuah benda misterius berbentuk bola besi, menghantam halaman depan rumah. Roki Helberm datang mendekat lalu tiga serum hitam misterius keluar dari dalam bola tersebut. Tiga serum tersebut masuk ke dalam tubuhnya secara paksa. Tubuhnya mulai terbakar dan bermutasi menjadi mutan. Bola besi itu, pernahan menyatu pada tangan kanannya hingga menjadi tangan besi. Tanpa sengaja, dia terlempar ke tahun 2500 dan terdampar di sebuah kota tua penuh dengan zombie. Di sana dia bertemu dengan Profesor Xenom dalam wujud hologram. Beliau merupakan orang bertanggung jawab membuat serum dan memaksanya datang ke tahun 2500. Dalam perjalanannya, Roki bertemu dengan seorang gadis kecil bernama Angela. Dia merupakan turunan terakhir keluarga Van Helix setelah kematian kakaknya di kota itu. Kemudian mereka bertiga, bertemu dengan Ninja Cyborg di dalam sebuah gedung. Cyborg mengucap sumpah setiap kepada Roki lalu dia memberi nama Jhon Luwis. Perjalanan mereka dimulai menuju Laboratorium Bawah Tanah milik Profesor Xenom. Sesampainya di sana, Roki melakukan time travel ke tahun 2015 lalu kembali ke tahun 2500 dan memulai dari awal untuk menyusul kekuatan berperang melawan Kota Horizon.

Tampan_Berani · Sci-fi
Peringkat tidak cukup
152 Chs

Bertemu Dinda

Kedua penjaga mengenakan topeng, memukul Roki dengan senapan cukup keras. Walau tubuhnya dapat beregenerasi, merasakan sakit secara berulang membuatnya sangat tersiksa. Darah mulai menetes, kesadarannya sedikit demi sedikit mulai menghilang, dan akhirnya dia tak sadarkan diri. Jiwa melayang-layang dalam kegelapan, tak ada kehidupan kecuali kesunyian. Kedua matanya terbuka, memandang langit gelap sembari mengenang kehidupannya.

Ada dua penyesalah dalam hidupnya, yang pertama kematian Dinda dan yang kedua adalah Skripsi. Jika seandainya waktu bisa di putar kembali, ia ingin mengubah semuanya. Tapi sepertinya itu tidak mungkin, sebab dirinya hanya sebatang kara dalam kegelapan. Udara dingin mulai dia rasakan, tak ada satu cahaya pun yang menemani dirinya dalam gelap, lalu terdengar seseorang memanggil namanya secara berulang.

Kemudian dia melirik kesana-kemari, mencari asal suara tersebut. Semakin dia mencari, semakin larut dalam keputusasaan. Seseorang memegang bahunya, dalam kegelapan lalu Roki pun membalikkan badan. Tampak sosok gadis berambut panjang, mengenakan putih abu dengan parasnya yang anggun. Sosok itu bersinar layaknya kunang-kunang, ia pun tersenyum manis pada Roki. Melihat sosok itu, Roki berlinang air mata lalu ia langsung memeluknya.

"Dinda! Dinda!" ucapnya berlinang air mata, sembari memeluknya dengan sangat erat.

"Sudah tenanglah aku ada disini sayang," timbalnya sembari mengusap punggung Roki dengan tutur kata yang lembut.

"Maafkan aku, seharusnya aku tidak ikut tawuran waktu itu. Gara-gara aku kamu meninggal, maafkan aku." Semakin mempererat pelukkannya.

"Berlalu biarlah berlalu, semua itu adalah takdir yang sudah di tentukan oleh Sang Pencipta. Aku tidak menyesal, malahan aku menerimanya. Sisi positifnya, aku bisa bertemu kembali denganmu sayang karena aku selalu melihat dan mengawasimu di alam sana." Ucapnya sembari mempererat pelukkannya.

"Jadi selama ini kamu melihatku? Semuanya?!"

"Tentu, mulai dari keberangkatanmu ke eropa hingga sekarang. Termasuk kebiasaan burukmu, seperti menempel kotoran hidung di dinding, melihat majalah dan film porno, tunggu ada lagi." Kata Gadis itu membuat sekujur tubuhnya merah padam karena malu.

"Stop! Stop! Hentikan, jangan di sebutkan bisa-bisa aku mati dua kali karena malu." mendongak ke atas sembari menjambak rambutnya sendiri.

"Ha.ha.ha ternyata di balik sosokmu yang beringas, ternyata kamu lelaki yang seperti itu rupanya." kata Dinda sembari tertawa.

"Tunggu aku bisa jelaskan," ucapnya agar mantan kekasihnya tidak berpikiran aneh.

"Tidak perlu di jelaskan, itu suatu hal yang normal untuk lelaki sepertimu. Sayang kalau bisa kamu kurangi, apalagi mahasiwa sedang mengerjakan skripsi seperti dirimu." Kata Dinda sembari menunjuk pada lawan bicaranya.

"Sudahlah Dinda, lagi pula semua itu sudah terlambat dan sekarang aku sudah di sini." Timbalnya sembari membentangkan kedua tangan.

Dinda pun bertanya, apakah Roki merasa dirinya sudah mati lalu pemuda itu menganggukkan kepala. Gadis itu tersenyum, ia pun berkata bahwa dirinya belum mati dan masih ada hal yang harus ia lakukan. Mendengar hal itu Roki pun merasa sedih, sebab dia belum meninggalkan dunia ini. Padahal dia berharap untuk segera mati, di bandingkan harus menjalani kehidupan kejam bagaikan berada di dalam neraka.

"Beginikah Roki Si Pentolan STM sekarang? Tunjukkan keberingasanmu, buat musuh-musuhmu ketar-ketir!" kata Dinda memberikan semangat.

Mendengar hal itu secara perlahan ia pun tersenyum, lalu ia mengepalkan tangan sembari menatap Dinda dengan raut wajah semangat. Dinda sangat senang melihatnya, sudah bertahun-tahun lamanya ia tidak melihat ekspresi mantan kekasihnya dan ia pun ikut tersenyum. Melihat senyuman orang yang ia cintai, api semangat mulai tumbuh dalam hatinya. Dia pun semakin bertekat, untuk pergi ke kota Horizon mengunjungi laboratorium Profesor Xenom. Setelah itu dia akan gunakan Genix, untuk kembali ke masa lalu. Masa sebelum menjelang kematiannya, dan ia bersumpah akan menyelamatkan Dinda walau nyawa taruhannya.

Cahaya putih mulai terlihat, ia pun mendengar suara Profesor memanggilnya secara berulang di balik lingkaran cahaya tersebut. Tubuhnya terasa berat, ia enggan meninggalkan dunia yang sedang dia pijak. Gadis itu menepuk kedua pundak Roki sembari tersenyum.

"Sepertinya sudah waktunya bagimu untuk kembali sayangku."

"Aku tidak yakin, para tengkorak hitam itu merepotkan."

"Apa yang kamu katakan? Kamu itu kan Half Zombi Hunter, pasti kamu bisa menghadapi mereka."

"Half Zombie Hunter?"

"Iya Roki Si Half Zombie Hunter! Itu adalah julukan baru dariku untukmu sayang, jangan sampai lupa." ucapnya dengan semangat.

"Pasti."

Setelah itu, Roki berjalan menuju lubang cahaya secara perlahan. Sesekali dia melirik ke arah gadis itu, Dinda pun tersenyum sembari melambaikan tangan. Air mata Roki kembali berlinang, ia menangis sejadi-jadinya lalu ia berlari dan mememluk Dinda dengan sangat erat.

"Aku mencintaimu Dinda," kata Roki sembari berlinang air mata.

"Aku juga mencintaimu, bahkan beribu-ribu kali lipat darimu." Timbalnya sembari mengelus punggungnya dengan berlinang air mata.

"Setelah sampai di kota Horizon, aku berjanji akan menyelamatkanmu."

"Iyah, tapi jangan terlalu memaksakan dirimu sayang."

"Iyah."

"Dan jangan ingkari janjimu, menikahi Angela ia gadis yang manis dan lucu. Jangan kamu hancurkan keimutannya dengan harapan palsu." kata gadis itu berbisik pada telinga Roki.

Mendengar hal itu, ia melepas pelukkannya lalu menatap Dinda tanpa berkedip. Gadis itu tertawa dan ia berkata, bahwa seleranya telah berubah menjadi seorang lolicon. Raut wajahnya semakin memerah, dan ia pun membalas perkataannya bahwa dirinya bukanlah seorang lolicon, dan ia berkata bahwa dirinya akan menikahi Angela jika tingginya setara dengannya. Gadis itu terus meledeknya, dengan berkata lolicon hingga mulutnya berbusa.

"Jadi maksudmu aku boleh poligami?" tanya pemuda itu sembari menjulurkan lidah bagaikan seekor anjing meminta makan.

"Boleh, tapi hanya tiga gak boleh lebih! Tapi kalau bisa dua saja cukup," ucap gadis itu dengan wajah cemberut.

Secara mengejutkan Dinda mengangkat tubuhnya, lalu ia berlari dan melemparnya hingga menembus cahaya. Gadis itu hanya tersenyum, sembari melambaikan tangan hingga cahaya itu kembali redup. Dia tau, bahwa segala sesuatu berhubungan dengan takdir Tuhan tak bisa di ubah. Bertemu dengan orang yang sangat ia cintai, sudah sangat beryukur. Sudah saatnya bagi dirinya untuk kembali ke alam baka, lalu kembali menyaksikan kisah Roki selanjutnya.

Secara perlahan kesadarannya telah kembali, lalu ia pun bangkit dari tidurnya. Kedua tangan dan kakinya, terikat oleh rantai cukup panjang di dalam penjara bawah tanah yang sunyi, sepi dan gelap, dan hanya bertelanjang dada. Sebuah cahaya lampu remang-remang menemaninya di luar sel. Beberapa saat kemudian, Propesor pun muncul dalam wujud hologram dewasa duduk bersila di hadapannya.

"Menyembunyikan Genix adalah pilihan yang tepat. Yang terpenting syukurlah kamu sadar nak," ujar Sang Profesor dengan sangat khawatir.

"Iya begitulah, kupikir aku sudah mati padahal itu lebih baik dari pada membusuk di penjara."

"Roki maafkan aku, karena diriku hidupmu menjadi menderita." kata Sang Profesor sembari menundukkan pandangan dengan rasa bersalah.

"Seharusnya aku yang berterimakasih, berkat Profesor kini aku sudah menemukan tujuan baruku untuk hidup. Jadi mohon bimbingannya," timbalnya lalu ia pun tersenyum.

Suara langkah kaki mulai terdengar, semakin lama suara itu semakin dekat. Lima anak anggota Tengkorak Hitam bersenjata lengkap, membuka pintu sel, lalu mereka memasukkan kotak besar ke dalam sel. Sedangkan Profesor, menghilangkan wujudnya sebelum mereka datang. Roki meloti mereka dengan penuh amarah dan kebencian.

"Lepaskan aku dasar bajingan!"

"Ha.ha.ha.ha." Mereka semua tertawa.

"Kami membawa teman bermain untukmu." Ucap, salah satu dari mereka memiliki rambut anak punk, sembari berjalan mundur.

"Selamat bersenang-senang," sambung salah satu dari mereka, menggunakan topeng menekan sebuah tombol pada jamnya.

Mereka pun berjalan meninggalkan Roki, dengan sebuah kotak yang sedang terbuka. Dalam kotak tersebut terdapat sosok monster sangat mengerikan. Kedua kaki dan seperti belalang, kepala seperti semut, memiliki empat tangan serta kuku yang sangat panjang layaknya seekor serigala. Monster itu meneteskan air liur, sembari menghembuskan nafas baunya. Roki pun hanya tersenyum, sembari menatap dingin lalu monster itu menerkam Roki.

Namun sebelum monster itu menggigit, mulut dan kepalanya terbuka sangat lebar lalu Roki memakan kepala monster hanya sekali gigi. Setelah itu dia makan daging monster yang terbujur kaku, walau ia merasa mual dan ingin muntah. Pemuda itu terus memakannya dengan rakus hingga tersisa tulang belulang. Sisa darah monster itu, menempel mulut dan jari-jarinya lalu Roki menjilatinya sampai bersih. Bagaikan seorang psikopat, ia tersenyum puas dengan sorot matanya yang bersinar.