webnovel

Lisya, The Guardian of Nature

Elf, dikenal sebagai ras yang paling dekat dengan alam, bersahabat dengan makhluk hidup, berhubungan baik dengan para roh, juga satu satunya ras di dunia yang mampu menggunakan sihir alam. Selama ini elf telah mengisolasi diri mereka dari dunia luar demi melindungi 'pusaka' yang telah ada sejak dahulu kala. Diberkahi dengan sihir unik, elf tidak mengenal 'teknologi' dunia luar. Hingga... kelahiran seorang anak elf mengubah takdir seluruh rasnya. Dia adalah anak termuda dalam perkumpulan mereka itu telah menjadi kunci utama keselamatan ras mereka dari kehancuran yang akan datang.

Ay_Syifanul · Fantasi
Peringkat tidak cukup
14 Chs

Bagian 9 - Menghadapi Rasa Takut

Hari pertama Lisya tinggal di dunia manusia, tak ada hal aneh terjadi. Lisya tidur satu kamar dengan Sanae, sedangkan Refaz tidur di gerbong kereta kudanya.

Awalnya Lisya terkejut berpikir selama ini Refaz mendapat perlakuan yang buruk oleh Renardo, namun Refaz segera menyangkalnya.

Rupanya lelaki elf itu sama seperti dirinya. Dia yang lahir dengan darah setengah elf tentu memiliki perasaan rindu yang mendalam terhadap tanah kelahirannya. Dia yang terikat oleh rantai takdir terus tersiksa oleh perasaan itu karena itu terkadang tiap malam Refaz tidur di gerbong kereta dengan memandangi langit arah tempat tinggal elf berada.

Sanae sering kali memperingatinya untuk tidur didalam mengingat kesehatannya. Rasa kepeduliannya gadis manusia itu pada Refaz membuat Lisya sedikit tenang. Benar seperti kata ibunya. Terlalu cepat memutuskan bahwa dia seorang diri yang terluka, yang kehilangan segalanya untuk memutuskan mengakhiri hidupnya begitu saja.

Terlalu cepat baginya untuk hilang kepercayaan pada manusia. Refaz memilih untuk mempercayai mereka, lalu tanpa sadar dia mendapatkan kembali kebahagiaannya yang telah hilang.

Lisya juga percaya dia pasti akan mendapatkan kebahagiaannya kembali.

"Aku juga harus bisa menjadi seperti Refaz. Aku tak boleh kalah dan aku tak boleh mundur dari pertarunganku."

Bertarung menghadapi Heindall. Saat ini takdirnya telah ditentukan. Demi menyelamatkan ibunya. Lisya tak bisa lari dan dia perlu untuk menjadi lebih kuat. Karena itu dia membutuhkan latihan dan dari latihan sebelumnya Lisya menyadari kalau dirinya masihlah terlalu lemah.

Dia tak terlalu ahli dalam menggunakan sihir dan ketrampilan bersenjatanya masihlah nol. Sebenarnya Lisya juga merasa kecil hati terlebih dia tak memiliki rencana apapun. Yang dia inginkan hanyalah memastikan keadaan ibunya.

Saat pagi berikutnya menyingsing Lisya pergi ke halaman belakang untuk melatih kemampuan memanahnya.

Halaman belakang toko roti tesebut tidaklah luas, namun untuk pemula sepertinya luas itu cukup untuk pemanasan. Lisya tak pernah berpikir memiliki waktu yang cukup untuk mengambil latihan apalagi di tengah kota yang padat tersebut.

Karena itu pagi saat semua orang belum bangun dan para nelayan yang kembali dari menangkap ikan adalah waktu yang tepat. Berpikir demikian, Lisya mengambil busur dan anak panah pemberian Refaz.

Jangkauan tembaknya berada dalam kisaran 5 sampai 7 meter. Seharusnya itu bukan menjadi masalah besar. Lisya mengambil satu anak panah dan merentangkannya. Sasarannya adalah papan kayu bekas yang tak terpakai dan dia bisa memperbaikinya segera dengan pemulihan sihir roh ringan.

Namun pada kenyataannya...

"Aish!"

Untuk kesekian kalinya Lisya berdecak lidah. Lisya sudah menandai sasarannya, namun tidak ada satupun anak panah yang mengenainya.

Matahari akan segera naik dan para nelayan yang berlayar malam hari akan kembali. Jika saat itu tiba dan Lisya tak mendapatkan hasil yang memuaskan maka sia-sia saja Lisya berlatih.

Emosinya semakin naik saat anak panah kelimanya justru meleset pada tempat penyimpanan, tertancap pada pintu kayu disana dan pada saat bersamaan seseorang membuka pintunya.

Tepat setelah mengetahui apa yang terjadi Lisya menjadi panik.

"Ah, Refaz. Maafkan aku, barusan itu..."

Refaz yang awalnya terkejut segera menghela nafas. Wajahnya terlihat pucat karena kejadian barusan. Tangannya dengan perlahan menarik anak panah yang tertancap.

"Astaga, jika kau ingin berlatih seharunya kau memberitahuku."

"Maaf, aku hanya tak bisa memikirkan tempat dan waktu yang cocok untuk berlatih."

"Hmmm... karena itu kau berlatih disini?"

"Heem."

Mengangguk rendah, Lisya tak menyangkalnya. Memikirkan bagaimana nanti dia tertangkap basah sebagai elf akan merepotkan Sanae dan Renardo bahkan Refaz mungkin juga akan dicurigai karena itulah Lisya mencari waktu aman.

Namun jika dia harus berlatih setiap hari dengan cara itu, dia mungkin tak akan dapat tepat waktu menguasai kemampuan memanah dan mungkin dia tak akan dapat menyelamatkan ibunya.

Rasa takut itu terukir di wajahnya. Tubuhnya menjadi lemas dan pandangannya tidak lagi melihat ke depan.

Melihat keadaan gadis itu Refaz berujar.

"Apa kau ingin mundur saat ini? Kau mungkin masih dapat kembali jika kau mau membicarakannya dengan..."

"Tidak."

Lisya merasa geram jika dia harus kembali ke tempat itu. Tempat dimana sangkar membentang lebar mengizinkan siapa pun masuk, namun tidak mengizinkan siapa pun keluar.

"Aku tak akan kembali! Aku sudah putuskan untuk meninggalkan semuanya, jika tidak untuk apa aku melakukan semua ini?!"

"Andai saja demon itu muncul di hadapanmu, apa yang akan kau lakukan?"

"Tentu saja membunuhnya!"

"Dengan dirimu yang seperti ini?"

"Tentu saja, memangnya apa lagi?!"

"Dasar bodoh!"

Karena kesal, Refaz menjentikkan jarinya pada kening gadis itu. Terdengar suara rintihan gadis elf tersebut. Matanya terangkat menatap kesal Refaz.

"Kau masih belum siap menghadapinya. Yang kau lakukan tidak lain adalah tindakan bunuh diri. Tenangkan pikiranmu, lawan yang seharusnya kau hadapi bukanlah demon tersebut, tapi dirimu sendiri."

"Apa maksudmu?"

Saat pagi mulai menyingsing, Refaz meminta Lisya untuk masuk ke dalam. Membicarakannya di luar hanya akan membuat masalah jika ada yang mendengarnya.

Mereka kini duduk pada bangku dekat pintu menuju halaman belakang. Lisya masih tertunduk memikirkan perkataan Refaz sedangkan lelaki itu terlihat begitu santai.

"Lisya. Yang menguasai dirimu saat ini tidak lain adalah ego pribadimu. Kau memiliki tekad dan aku menghargainya, tapi kau selalu menutup mata juga telingamu dan bahkan kau tidak memikirkan cara mengalahkannya."

"Bukankah itu tak penting, akan aku lakukan segala cara untuk membunuhnya."

"Karena itulah aku katakan kau bodoh!"

Pernyataan terang-terangan yang ditunjukkan Refaz membuat Lisya cemberut. Pipinya menggelembung dan tatapan matanya terlihat seakan ingin menghajar lelaki elf tersebut.

"Katakan padaku, apa kau ingin kehilangan orang lain lagi? Atau justru kau ingin kehilangan dirimu sendiri?"

"..."

Dibuat bungkam, Lisya semakin menundukkan kepalanya menyembunyikan wajahnya. Refaz benar, dia seharusnya mengerti hal tersebut, tapi dia hanya memilih melangkah tanpa memikirkan resikonya.

"Aku tau kau takut, karena itu kau menyembunyikannya dengan amarahmu."

"Tidak, aku sama sekali tak takut padanya!"

"Kau takut. Jika bukan karena ketakutanmu, darimana muncul keinginan untuk mengakhiri hidupmu itu?"

Kembali disadarkan. Lisya tak tau lagi harus mengatakan apa. Isi hatinya, pikirannya, semua telah terbaca begitu jelas.

Lisya berusaha bersikap kuat karena dia tau dia tak dapat mengalahkan Heimdall terlebih dengan rasa takut itu, Lisya mungkin tak akan sanggup melihat wajah ibunya nanti.

Dirinya merasa naif berpikir semua akan baik-baik saja jika Lisya datang pada ibunya, namun sebenarnya Lisya hanya tak ingin sesuatu tak terjadi pada ibunya.

Namun dia tau, Heimdall tak akan melakukan itu. Melihat bagaimana dia membunuh pasukan penjaga hutan terlebih juga pada semua makhluk hidup disana, Heimdall pasti akan melakukan sesuatu yang mengerikan nantinya pada ibunya.

Bahkan Meisa yang berbakat dengan kemampuan sihir alamnya tak sanggup mengalahkannya, memangnya apa yang bisa Lisya pertaruhkan kali ini?

Dia sudah melarikan diri karena takut, dia meninggalkan orang yang disayanginya karena takut melibatkan mereka. Kini setelah lelah hanya terus berlari dengan harapan semu, Lisya menyerah. Dia sadar dia tak akan sanggup menggapai apapun, karena itu dia mencoba melarikan diri lagi... dengan kematian.

"Lalu apa yang harus aku lakukan? Aku tak tau lagi harus bagaimana."

Setelah menenangkan dirinya, Lisya bertanya dengan suara yang rendah. Dalam hatinya dia bergumam 'seperti inikah rasanya kehilangan arah?'.

Rasa sesak di hatinya itu mengganggunya. Kepalanya seakan dapat meledak jika Lisya terus memikirkannya. Air matanya terus memaksakan diri mengalir meski Lisya enggan.

Dalam hati kecilnya Refaz berpikir kembali, 'aku merasa tak enak membuatnya terus menangis'. Merasa iba karenanya, Refaz berusaha menghibur gadis elf itu.

"Tenangkan pikiranmu. Yang dibutuhkan saat ini bukanlah sekadar kekuatan, tapi juga akalmu. Selagi masih ada kesempatan, kita pasti akan menemukan jalan keluar."

"Tapi, memangnya kita punya waktu? Kita bahkan tak tau kemana Heimdall pergi."

Setelah mendengar pertanyaan itu, Refaz tersenyum dari ketidaksadaran Lisya. Padahal mereka sudah sejauh ini meninggalkan hutan.

"Kenapa kau tidak memikirkan cara termudah menemukannya?"

"Memangnya ada?"

Refaz hanya tersenyum melihat Lisya yang bertanya balik.

———

"Ugh. Seharusnya aku menyadarinya sejak kau bisa memanggil kuda untuk menarik kereta barang milikmu."

Disana Lisya berdiri dengan tercengang. Matanya menangkap Refaz yang memainkan harmonikanya untuk mengeluarkan suara siulan yang merdu.

Tak selang beberapa lama, beberapa burung mendekatinya bertengger pada pagar kayu rumah Renardo.

Refaz seperti berbicara pada setiap burung itu dengan bahasanya sendiri. Lisya juga bisa mengerti apa yang dikatakan tiap burung itu jadi Lisya tak perlu menimpali apapun.

Selang beberapa saat para burung itu terbang menjauh ke berbagai arah.

"Jika kau mengingatnya, setiap elf memiliki energi sihir alam mereka masing-masing. Aliran energi itu begitu unik sehingga mudah membedakannya antara satu sama lain. Karena aku tak dapat menggunakan sihir, yang bisa ku lakukan hanya meminta bantuan pada makhluk hidup untuk menemukan ibumu."

"Tapi, bagaimana bisa? Kau berkata kalau setiap elf memiliki energi sihir alam mereka sendiri, jadi ada kemungkinan kita akan keliru."

"Itu tidak mungkin. Indera makhluk hidup lebih tajam dibandingkan elf. Mereka akan menemukan ibumu setelah mereka mendapatkan petunjuknya darimu."

"Dariku? Ah... jadi begitu kah."

Karena yang mereka cari adalah Erita, ibu Lisya, maka sudah sepantasnya sebagai anaknya Lisya memiliki genetik dan energi sihir hampir serupa dengan kedua orang tuanya.

Lisya tak pernah memikirkan cara itu, dirinya merasa telah membodohi dirinya sendiri.

"Sebagai tambahan, demon tak akan dapat bertahan di wilayah manusia terlalu lama. Mereka perlu kembali ke sisi 'dunia' mereka untuk memulihkan energi sihir mereka. Jadi kita bisa mempersempit pencarian."

"Sisi 'dunia' mereka? Apa maksudmu Refaz?"

Lisya bertanya pertanyaan yang mengejutkan Refaz. Lelaki elf itu nampak berpikir sejenak dengan kemudian kembali menatap Lisya.

"Di dunia bawah ini, terdapat pembagian dua wilayah yang adalah wilayah yang dipenuhi kehidupan dan wilayah yang dipenuhi dengan kehancuran. Demon tinggal di wilayah yang dipenuhi kehancuran untuk memulihkan kekuatan sihir mereka."

"Tanah kegelapan..."

Kalau Lisya tidak salah ingat, dia pernah membaca buku tentang asal mula para demon. Meski tidak semua menjelaskan tentang detailnya, namun Lisya bisa mengingatnya.

Tanah kegelapan. Wilayah teritorial para demon yang sama sekali tak ada kehidupan di dalamnya. Tanah mengering dan membusuk, tumbuhan mati, bangkai hewan dimana-mana.

Tempat tersebut disimbolkan sebagai 'sumber malapetaka'. Kehidupan seperti manusia, elf, Demi-human, atau yang lainnya tak akan sanggup bertahan lama di wilayah teritorial demon, begitu juga sebaliknya.

"Terakhir, jika demon itu tak ingin mencelakai ibumu itu berarti dia tak mungkin membawanya sepenuhnya masuk kedalam teritorial. Meski hanya sekadar asumsi, mungkin dia akan berada di wilayah netral bekas perang besar terdahulu."

"Wilayah netral. Maksudmu perbatasan kedua wilayah. Karena itu kau membawaku ke sini?"

"Yah, aku tak akan sepenuhnya bilang iya. Ini hanya sekadar kebetulan Mizore ada di dekat perbatasan wilayah demon dan manusia."

"Itu berarti kita cukup dekat."

Tanpa sadar senyum gadis itu kembali muncul. Harapan yang sebelumnya dia pikir direnggut darinya masih bisa Lisya gapai kembali. Dia masih dapat menyelamatkan ibunya.

Semua ini berkat Refaz. Jika bukan karenanya, Lisya mungkin tak akan tau harus mencari kemana demon itu.

"Refaz, terima kasih."

Lisya berujar dengan suara yang begitu lembut. Tangannya saling terkait diletakkan di depan dadanya bersyukur. Refaz yang mendengarnya hanya memalingkan muka dengan menggaruk rambutnya yang tidak gatal.

Matanya sesekali berbalik, tapi karena tak tahan Refaz kembali berpaling. Dia akan tersenyum senang sebelum dia teringat sesuatu yang kemudian melenyapkan semua perasaan itu.

"Kau tak perlu berterima kasih padaku. Aku..."

"Refaz?"

Lagi-lagi lelaki elf itu akan mengatakan sesuatu, namun dia kembali menelan kata-katanya.

"Tak ada apa-apa. Lebih baik kau bersiap. Kita akan pergi."

"Pergi, kemana?"

Lisya menanyakan tujuan mereka saat Refaz hanya menatapnya dengan senyum kecil di bibirnya. Kakinya mulai melangkah meninggalkan tempat tersebut.

"Kemana lagi, tentu ke tempat berlatih yang lebih layak."