webnovel

Like Yesterday

4 hati, 4 kisah, 2 trauma. Raka tak menyangka bahwa Sinta memiliki trauma yang sulit disembuhkan. Dan, berkat kebodohannya ia membangkitkan lagi traumanya itu. Di saat yang sama, Suri tak mengerti kenapa Wildan menjauhinya setelah semua afeksi yang lelaki itu berikan kepadanya terasa nyata. Apakah lelaki itu hanya bermain-main? Ini bukanlah sebuah kisah tentang badboy yang mampu ditaklukkan oleh gadis biasa, bukan pula cerita cinta SMA yang bisa membuatmu terbuai. Ini hanyalah kisah biasa antara empat orang yang tak mampu keluar dari bayang-bayang masa lalu. Suri, Raka, Wildan, dan Sinta percaya apa yang ia lakukan sudah benar. Namun, mereka tak menyadari bahwa apa yang telah mereka perbuat telah menyakiti orang yang mereka sayangi. Semuanya hancur. Tak ada yang tersisa. Lantas, mampukah mereka berempat memperbaiki kesalahan dan keluar dari masa lalu yang membelenggu? "Bisakah kita kembali menjadi seperti kemarin?"

AnishaDayu · Umum
Peringkat tidak cukup
5 Chs

Kenapa Datang Lagi?

Satu jam upacara, tapi serasa setahun bagi Raka. Wajahnya mirip orang sekarat, bahkan siswi-siswi tukang gosip yang katanya tak tahan panas pun masih terlihat baik-baik saja ketimbang dirinya.

"Lo udah nyiapin wasiat belum?" tanya Adnan iseng.

"Buat apaan?" dahi Raka berkerut bingung.

"Ya, siapa tahu aja lo bakal dipanggil lebih dulu."

"EH, SEMBARANGAN!" teriak Raka sambil menggebrak meja. "Lo pikir gue mau mati gitu?!"

"Ya, mungkin aja, kan?" ucap Adnan sambil cekikikan. "Lagian lo kenapa, sih? Ini masih hari Senin, Bro. Jangan nularin hawa negatif lo ke mana-mana, dong!"

Raka menggigit bibir sebelum berucap, "Gue cuma lagi mikir ada apa sama Kak Sinta."

"Kak Sinta? Ada apa lagi emangnya sama dia?" tanya Adnan ogah-ogahan.

Raka tiba-tiba mendesah lelah. "Menurut lo, normal nggak kalau tiba-tiba aja orang ketakutan pas disentuh tangannya?"

"Tergantung siapa yang nyentuh, sih. Kalau yang nyentuh gue itu penjahat sambil nodongin senjata

ke gue, ya gue takut."

Raka terdiam mendengar jawaban blak-blakan Adnan.

"Emangnya kenapa, sih?" tanya Adnan yang mulai penasaran.

"Tadi di UKS gue sempet ketemu Kak Sinta. Dan, lo tahu, reaksi pas gue pegang tangannya mirip

kayak orang yang baru ketemu setan. Persis Sabtu kemarin sebelum dia kabur dari kedai kopi

sepupu lo itu," jawab Raka seraya menelungkupkan kepala di meja.

Adnan ingin tertawa, tapi setengah mati ia tahan. "Gue turut prihatin, ya, Bro. Mungkin dia anggap lo penjahat," ujarnya sambil menepuk-nepuk bahu lebar Raka.

Raka mendengkus. Ia benar-benar tak punya tenaga untuk meladeni ledekan Adnan.

Tatapan jenaka Adnan seketika berubah serius. "Omong-omong, gue kok jadi kesel sama Kak Sinta, ya?"

Mendengar ucapan Adnan tadi, Raka terpelatuk. "Maksud lo apaan, hah?!"

"Eh, santai, dong. Nggak usah pakai nyolot!" seru Adnan sambil mengusap-usap dada, kaget setelah dibentak Raka.

Raka kembali mendengkus, lalu menurunkan sedikit nada bicaranya. "Ya, terus emangnya kenapa sampe lo kesel sama gitu Kak Sinta?"

Adnan menggaruk-garuk dagunya sebentar sebelum menjawab, "Begini, gue nggak habis pikir aja sama Kak Sinta. Logikanya, ngerokok bagi cowok kayak kita itu wajar—oke, emang nggak boleh, sih. Tapi menurut gue, reaksi dia waktu itu lebai banget, sampai-sampai dia minta putus cuma gara-gara dia lihat lo ngerokok doang."

"Nah, itu dia," rengek Raka sambil menenggelamkan kepalanya ke dalam tas. Adnan yang melihat cuma bisa geleng-geleng kepala. "Dia bahkan nggak ngasih kesempatan gue buat bertanya dan jelasin. Tahu-tahu, dia udah kabur gitu aja," lanjutnya sedih.

"Yang sabar, ya. Mungkin ini semua ujian."

Raka tiba-tiba memukul meja sambil melemparkan tatapan benci pada teman semejanya itu. "Ini semua gara-gara lo!"

"Eh, kok jadi salah gue, sih?" balas Adnan tak terima.

"Ya, iya lah! Coba Sabtu kemarin gue nggak minta ketemuan sama Kak Sinta di tempat sepupu lo, pasti jadiannya nggak kayak begini. Harusnya gue jemput aja Kak Sinta dari rumahnya. Jadinya, gue nggak bakal kepergok ngerokok dan kita nggak bakal putus!" serunya uring-uringan.

"Lho, bukannya lo yang bilang sendiri kalau Kak Sinta nggak mau dijemput di rumahnya? Gue kan cuma kasih saran. Lagian, coffee shop sepupu gue kan lagi promo. Kapan lagi lo bisa nge-date gratis, Bro!" tandas Adnan tak mau kalah.

"Bodo amat. Pokoknya semua ini gara-gara elo!"

"Raka, gelut di lapangan yuk sekarang," ajak Adnan sambil melonggarkan simpul dasi di lehernya.

Raka menggerung sambil mengacak-acak rambut. Adnan yang menyaksikan kelabilan temannya itu pun cuma bisa mendesah berat. "Well, mungkin Kak Sinta bukan jodoh lo, Ka. Kalau gitu cari yang lain aja."

"Lo nggak tahu perjuangan gue buat dapetin Kak Sinta, sih?" ucap Raka sambil menerawang sedih.

"Itu susah banget, lho! Gue bahkan butuh tiga tahun buat pedekate. Coba lo bayangain, susahnya udah kayak seleksi masuk Cambridge."

"Gue tahu, Ka. Gue tahu banget. Bahkan, satu ekskul tahu kalau lo sebenernya naksir berat sama Kak Sinta," kata Adnan sambil menepuk-nepuk pundak Raka. Ah, ia jadi teringat masa-masa ketika mereka masih SMP dulu.

"Kok bisa?" tanya Raka kaget. Sumpah, dia baru tahu fakta mengejutkan yang satu itu. Seingatnya dulu dia tak menceritakan rasa yang ia pendam pada Sinta kepada siapapun.

Adnan mendengkus, tapi masih tetap menepuk-nepuk bahu Raka. "Habisnya cara pedekate lo itu cupu banget. Payah pokoknya. Masa cuma berani lirik-lirik dari jauh. Kalau itu gue, gue langsung tembak duluan dari dulu."

Mendengar ucapan Adnan, Raka refleks menepis tangan temannya itu. "Lo bermaksud bikin gue kalem atau menghina, sih?"

"Pfft ... dua-duanya, Bro," ujar Adnan sambil mengelak dari tangan Raka yang nyaris memukulnya.

"Eh, omong-omong, kok nggak ada gosip-gosip tentang lo sama Kak Sinta yang beredar, ya?" lanjutnya.

"Ya, nggak ada lah. Emangnya gue se-famous apa, sih, sampai masuk lambe turah sekolah segala?" ucap Raka sambil misuh-misuh.

Adnan melemparkan tatapan remeh pada Raka. "Lo sih emang nggak famous. Siapa juga yang mau sama cowok nerd kayak elo—aduh!" jeritnya ketika Raka dengan sengaja menginjak kakinya. "Maksud gue, Kak Sinta itu udah terkenal dari SMP. Dia cantik, tinggi dan pintar gitu, ya walau rada freak karena suka pakai masker ke mana-mana, sih."

"Heh, dia nggak freak, ya. Dia itu orangnya gampang alergi. Makanya sering pakai masker," sambar Raka tak suka. "Lagian dia pakai masker juga di luar ruangan, kok."

"Iyaaa, tahu deh yang bucinnya Kak Sinta. Apa aja dibela," cibir Adnan. Tadinya Raka berniat untuk menjitak kepalanya, untungnya ia mampu menghindar. "Eh, by the way, lo nggak takut Kak Sinta diincer orang?"

Raka termangu. Betul juga ucapan Adnan tadi. Meski Sinta itu terkenal aneh dan sulit didekati, tapi Sinta termasuk salah satu siswi terpintar di sekolah. Kalau soal urusan wajah pun Sinta tak kalah dengan anak-anak cheers yang terkenal cantik-cantik dan bahenol itu. Kalau boleh jujur, ia takut Sinta berpaling ke lain hati.

"Oh, iya, gue baru inget. Lo tumben bareng Suri hari ini. Ada angin apaan?" tanya Adnan, yang berhasil membuyarkan lamunan Raka.

"Ibunya yang minta tolong sama gue."

Adnan seketika terkejut. "Masa? Wah, lo baru aja putus sama Kak Sinta dan sekarang udah dijodohin sama Suri? Lucky banget!"

Raka menggeram jengkel. "Apa korelasinya minta tolong sama dijodohin, sih? Kebanyakan nonton drama Korea lo!"

"Lho, terus, itu ngapain ibunya pake minta tolong buat nganterin segala? Udah kayak orang habis tunangan aja."

Raka mengehela napas sambil mencoba menstabilkan emosinya. "Lo lihat kan tadi tangannya Suri? Dia lagi cedera. Karena kakaknya udah pergi duluan, jadilah dia bareng gue."

Adnan mengerenyitkan dahi. "Kan bisa naik ojol? Zaman sekarang teknologi udah canggih gitu."

"Si Suri bilang kalau dia trauma naik ojol. Takut digodain lagi, katanya. Makanya dia nyuruh ibunya buat minta tolong gue," jelas Raka panjang lebar. Pemuda itu pun merebahkan kepalanya kembali ke atas meja sambil memainkan pulpennya.

"Oh." Adnan manggut-manggut paham. Baru saja ia ingin bicara kembali, tiba-tiba saja pintu kelasnya terbuka. Adnan pun refleks menegakkan punggung saat tahu kepala sekolah yang masuk menggantikan guru Bahasa Inggris mereka yang sedang cuti hamil.

Seketika kelas menjadi sangat hening. Mirip kuburan.

"Seperti yang sudah diumumkan minggu lalu, mulai hari ini Bu Indri cuti hamil. Dan, hari ini kita kedatangan staf pengajar yang baru untuk menggantikan beliau." Pak Kepala Sekolah mengambil jeda sejenak sebelum berkata lagi, "Nah, tujuan bapak ke sini untuk mengantarkan sang guru baru itu. Ayo, Pak Wildan silakan masuk," perintahnya sambil melihat keluar kelas.

Raka terdiam sejenak dan tenggelam dalam pikirannya sendiri. Wildan? Rasanya ia pernah mendengar nama itu. Tapi, ah, masa bodoh. Orang yang bernama Wildan di negara ini kan bukan hanya satu.

Namun sayangnya, hal yang ia takutkan nyatanya benar-benar terjadi. Pulpen yang dipegangnya seketika terjatuh ketika seorang lelaki dewasa muncul dari ambang pintu.

Tubuh laki-laki itu kurang lebih sebesar Raka.Wajahnya terlihat cukup ganteng dengan potongan rambut rapi dan berkacamata. Kemeja biru garis-garis pas badan yang dipakainya sukses menampakkan sedikit lekukan tubuh atasnya yang begitu atletis. Akan tetapi, bukan hal itu yang membuat Raka tak bisa mengalihkan pandangan darinya.

Orang itu ...