5 Lama Tak Berjumpa

Raka masih ingat betul dengan kejadian tiga tahun lalu. Saat itu, sehabis pulang dari latih tanding bola melawan SMP sebelah, Wildan tiba-tiba mencegatnya di depan gang rumah. Tanpa banyak bicara Wildan langsung memintanya untuk mengembalikan tas Suri yang tertnggal. Ketika Raka bertanya mengapa tas itu bisa ada padanya, Wildan malah mengalihkan topik obrolan mereka.

Tadinya Raka ingin menolak permintaan Wildan, tapi karena ia takut dicap sebagai anak yang tidak sopan akhirnya ia pun mengiyakan.

Dalam perjalanannya menuju rumah Suri, sebenarnya Raka masih bisa melihat sosok pemuda itu dari kejauhan. Ia terlihat seperti sedang menunggu di atas motornya. Dalam hati Raka bertanya-tanya

apa yang sebenarnya terjadi dengan Suri. Apa gadis itu berkelahi dan langsung pulang tanpa membawa tasnya? Ah, sayang sekali ia harus absen les hari ini. Coba saja ia ada di sana, kejadian itu pasti bisa ia jadikan bahan untuk meneror Suri selama tiga bulan ke depan.

Sesampainya di rumah Suri, ketika ia ingin menyerahkan tas itu, tiba-tiba saja Suri menerjang dengan emosi. Gadis itu sempat memukulinya dengan penggebuk kasur. Jun yang juga tengah berada di sana cuma bisa mematung menghadapi keganasan adiknya yang sangat tak biasa.

"Eh, sebentar. Salah gue apaan?!" teriak Raka sembari menghalau pukulan Suri yang datang bertubi-tubi.

"Salah lo adalah, lo nyuruh gue buat nembak Kak Wildan lewat surat dan akhirnya surat itu dibaca semua orang di tempat kursus!"

"Kok, jadi gue yang salah, sih? Gue nggak pernah nyuruh lo begitu, ya!" Raka kemudian merampas penggebuk kasur dari tangan Suri, lalu melempar benda itu jauh-jauh. Suri yang kehilangan senjata pun tak habis akal, ia langsung menyelengkat kaki Raka hingga bocah itu jatuh terjengkang.

"Bodo amat. Lo pasti mau ngerjain gue, kan?!"

"Gue nggak ngerjain lo—ADUH!" Raka memegangi tangannya yang baru saja kena tendang Suri.

"Kalian ini kenapa, sih?" untungnya, sebelum Suri sukses menduduki perut Raka, Jun berhasil memisahkan mereka.

"Raka, tuh. Dia nyuruh aku buat nembak Kak Wildan!"

"Nggak, aku nggak pernah nyuruh begitu!"

"Bohong!" Suri kembali ingin menyerang Raka, tapi kemudian Jun berhasil menangkap Suri dan memegangi adiknya itu dari belakang.

"Sebentar, Kak Wildan yang guru di tempat les itu, kan?"

"IYA." Suri dan Raka menjawab kompak.

Jun mencoba memproses semua informasi yang datang sekaligus. Jadi, penyebab Suri pulang-pulang menangis lalu membanting pintu kamar, dan selama dua jam mendekam di kamar adalah ...

"Kamu ditolak Kak Wildan, ya, Dek?" tanyanya polos.

Suri menginjak kaki Jun kuat-kuat hingga berhasil membuat kuncian Jun di tubuhnya terlepas. Lalu, dengan barbar ia meninju rahang kiri Raka. "MAS JUN JAHAT!" teriaknya nyaring.

Dan, pintu kamar Suri pun dibanting lagi untuk yang kedua kalinya dalam hari ini, menyisakan Jun yang tengah merintih memegangi kakinya serta Raka yang menangis setelah mendapat hantaman telak dari Suri.

Raka memijat pelipisnya yang terasa sedikit pening. Oke, kenangan masa lalu macam itu betul-betul tak patut diingat. Memang betul kata orang, jangan pernah menilai orang dari penampilannya saja. Siapa sangka kepalan tangan Suri yang kecil dan terlihat rapuh itu mampu membuatnya menderita selama tiga hari. Gila! Untung saja, rahangnya tidak sampai bergeser.

Omong-omong soal Suri, meski gadis itu sering membuatnya jengkel dan naik darah, tapi rasa sayang Raka terhadapnya masih lebih besar. Akibat tumbuh besar bersama selama bertahun-tahun, entah mengapa hal itu menjadikan Suri sebagai salah satu perempuan penting dalam hidup Raka; tentunya sebagai saudara. Ya, sebagai saudara ...

Tanpa pikir panjang Raka langsung mengambil ponselnya dari dalam tas lalu membuka aplikasi chat.

~Suri, gue harap lo jangan ngamuk setelah baca ini.~

Centang satu terlihat di layar.

~Sur, lo tahu nggak, ternyata Kak Wildan yang gantiin Bu Indri!~

Kembali, centang satu yang terlihat. Raka sengaja menunggu. Mungkin Suri saat ini sedang

diperhatikan guru jadi ia belum bisa membaca chat darinya.

Satu menit. Tiga menit. Bahkan sampai sepuluh menit berikutnya tak ada tanda-tanda bahwa chat-nya itu telah dibaca. Ini tentu saja aneh. Biasanya Suri pasti selalu menjawab tak lama setelah chat darinya terkirim.

Menurut Raka, Suri adalah orang yang paling tak punya kerjaan sebab ia bisa membalas dengan cepat chat yang ia kirimkan dalam keadaan apapun. Bahkan, saking cepatnya Suri dalam hal balas-membalas chat, Raka kadang-kadang kewalahan sendiri ketika mereka berdua tengah

mengobrolkan sesuatu. Karena hal itulah sebabnya Raka lebih senang meneleponnya langsung.

Namun masalahnya, kalau ia menelpon sekarang, ia bisa dapat masalah.

"Coba yang duduk di pojok kanan belakang, kamu bisa dengar penjelasan saya, kan?" tegur Wildan sambil menutup spidol hitam dan meletakkan benda itu ke meja guru.

Raka gelagapan. Ia pun cepat-cepat memasukkan ponselnya itu ke dalam kolong meja. "Ya, sa-saya bisa denger, kok, Pak."

Wildan mengangguk sekali. "Oke, kalau begitu kalian bisa kerjakan soal-soal latihan yang ada di halaman enam puluh empat. Harus selesai sebelum jam pergantian. Understood?"

"Yes, sir," jawab seluruh siswa-siswi dalam kelas secara bersamaan.

***

Suri menelungkupkan kepalanya di atas meja, pun begitu dengan Dessy. Sejujurnya, muka-muka nelangsa keduanya berdua tak berbeda jauh dengan keadaan anak-anak sekelas. Bahkan, beberapa dari mereka ada yang hampir pingsan dengan mulut berbusa setelah mengerjakan soal-soal ulangan matematika barusan.

"Habis ulangan trigonometri tadi, rasanya gue pengen ke surga sekarang. Habis upacara langsung ulangan, tuh, rasanya ... ugh!" keluh Suri sambil memijat pelipis. "Kenapa soal-soalnya dibedain sama temen semeja, sih?! Gue kan jadi nggak bisa nyontek jawaban lo."

"Makanya kalau belajar itu yang bener," timpal Dessy sambil terkikik geli.

"Belagu banget lo." Suri mendengkus keras-keras sembari bangkit dari rebah.

"Lo aja yang bego." Dessy menarik kunciran rambut Suri agak kencang.

"Sakit, woi!" Karena tidak terima, Suri memukul pundak Dessy sebagai ajang balas dendam.

"Lagian mana ada guru bikin soal yang sama persis kayak di buku. Udah bagus dia kasih kesempatan kita-kita buat lihat rumus," lanjut Dessy sambil menarik lagi rambut Suri dengan sengaja. Suri membalas dengan mencubit tangannya.

"Ah, lo kurang kerjaan banget. Kunciran gue rusak, kan," ucap Suri jengkel.

"Ya udah, sih. Sini gue kuncirin lagi." Dessy akhirnya bangun lalu memiringkan tubuhnya. Dengan cekatan ia melepas ikatan rambut Suri dan kemudian menyisirnya dengan jari. "Sur, potong rambut, dong. Rambut lo sudah kepanjangan, nih. Udah sepinggang. Seinget gue, lo dari SMP nggak pernah potong rambut, kan?"

"Nggak, ah. Gue suka rambut panjang," jawab Suri enteng.

"Lo nggak ribet pas latihan karate?" tanya Dessy lagi sambil mengumpulkan seluruh rambut tebal Suri jadi satu lalu mengikatnya tinggi-tinggi.

"Ribet, sih. Sedikit. Tapi pas latihan, rambut gue biasa dikuncir, kok," katanya sambil berusaha membuka resleting tas untuk mengeluarkan buku pelajaran selanjutnya. Dessy yang melihat Suri kesusahan pun buru-buru membantu. "Thanks, ya," ucap Suri.

"No problemo." Usai membantu Suri, Dessy kemudian mengeluarkan buku miliknya sendiri. "By the way, lo udah lihat guru pengganti Bu Indri?"

Suri menggeleng. "Belum, emangnya kenapa?"

"Ganteng banget tahu orangnya. Masih muda lagi."

"Eh, serius?" dua bola mata Suri membola. "Wah, penyejuk dahaga di tengah gurun, dong."

"Serius. Soalnya, tadi sebelum masuk kelas, gue nggak sengaja lihat cowok kece yang jalan sama Kepsek dan masuk ke kelasnya Raka. Gue yakin sih itu guru baru kita."

"Oh, iya. Pelajaran pertama kelasnya dia kan Bahasa Inggris. Siapa nama guru barunya?"

"Nggak tahu."

"Oh. Oke." Suri manggut-manggut tanda mengerti.

"Gue harap dia juga belum nikah. Syukur-syukur kalau masih jomlo. Nanti kan gue bisa bikin rencana buat ngegebet dia. Mantap jiwa."

"Sist, sadar, dong!" Suri menoyor kepala Dessy sambil berdecak jengah. Berteman dengan Dessy memang ujian lahir batin. Suri akui Dessy itu pintar, tapi terkadang otak pintarnya itu jarang digunakan untuk hal-hal baik. Ya, meskipun Suri juga sering sih meminta saran dari Dessy saat ia ingin mengerjai Raka.

Suri kemudian mengecek ponselnya dan mendengkus kencang ketika tahu ponselnya itu tidak bisa menyala karena kehabisan daya. "Hape gue mati, nih. Des, lo bawa charger, nggak? Gue lupa bawa."

Sebelah alis Dessy terangkat. "Tumben amat lo biarin hape lo mati."

"Gue tadi lupa nge-charge di rumah—jadi, lo bawa charger atau enggak?"

Dessy menggeleng. "Gue lagi nggak bawa charger, tapi gue bawa power bank."

"Pinjem, dong."

"Nggak, nanti pas gue mau pakai, ternyata gue nggak kebagian."

"Yah, kok gitu, sih? Pelit banget."

"Biarin."

"Gue traktir batagor. Tapi goceng aja, gimana?"

"Silakan power bank-nya," ucap Dessy sambil menyerahkan power bank berbentuk karakter Totoro

miliknya kepada Suri.

"Cih, giliran disogok aja baru mau minjemin." Suri melengos sementara Dessy terbahak-bahak karena telah berhasil menghemat pengeluarannya hari ini.

"Gue hanya mengikuti petuah Alfred Marshall* , Babe."

***

Mendadak Raka merasa ingin meninju seseorang. Suri sama sekali tak membaca chat-nya!

"Tolong anak yang paling belakang, kumpulkan tugas dari dari bangku paling belakang ke depan sesuai barisan." Begitu Wildan selesai berucap, bel pergantian pelajaran berbunyi.

"Ka, lo aja yang ngumpulin. Gue lagi mager." Adnan menyikut lengan Raka.

"Dasar pemalas." Raka akhirnya beranjak dari kursinya lalu mengumpulkan buku tulis teman-temannya satu per satu. Begitu selesai ia langsung membawanya menuju meja guru.

Raka terdiam sejenak sambil memandangi Wildan. Ada begitu banyak pertanyaan yang berseliweran di benak Raka. Mengapa Wildan menampakkan batang hidungnya lagi? Bagaimana jika Suri melihatnya? Raka tak bisa membayangkan reaksi apa yang Suri buat nanti.

"Terima kasih, ya, Raka." Wildan memaksakan senyum saat Raka meletakkan buku-buku tulis itu ke meja guru. Tangannya yang dilanda tremor sengaja ia sembunyikan di kolong meja.

"Oh, Bapak masih ingat saya?" tanya Raka; setengah kaget, setengah sarkas.

Wildan terbatuk kecil untuk menyembunyikan getar pada suaranya sebelum membalas, "Masih. Saya bahkan masih ingat rasanya dipukul sama kamu." Ucapan itu mengalir begitu saja dari mulutnya seolah-olah tanpa beban.

Raka lantas membatu di tempatnya berdiri. Bahkan sampai Wildan meminta beberapa temannya untuk membantu membawakan buku-buku itu dan berlalu dari ruang kelas, Raka masih tak bergerak dari sana.

"Raka! Ngapain bengong di situ. Gue mau jajan, mumpung Bu Hani belum dateng. Lo mau nitip apa?" tegur Adnan sambil mencolek tangannya.

"Oh, shit!" Raka buru-buru berlari keluar kelas meninggalkan Adnan yang dilanda kebingungan.

***

Suri sengaja memakai toilet di lantai satu karena ia bisa sekalian mampir ke kantin untuk membeli minuman ringan. Ia butuh sesuatu yang manis dan dingin guna menjernihkan otak. Sehabis berjibaku dengan soal-soal trigonometri mendadak otaknya nyaris korslet. Sambil memerhatikan sekeliling, Suri mencoba untuk kembali ke kelasnya di lantai tiga. Ia berharap guru piket hari ini tak melihatnya.

"Kak Suri!"

Suri spontan berbalik ketika namanya dipanggil oleh salah seorang juniornya di ekskul pramuka. "Eh, kamu habis ke kantin juga?" tanyanya pada gadis itu.

"Iya, Kak." Sang junior mengangguk sembari menunjukan dua botol minuman ringan pada Suri. "Eh, Kak Suri, itu tangannya kenapa?" tanyanya kaget. Ia baru menyadari kalau tangan seniornya itu ternyata digendong arm-sling.

Suri terkekeh ringan. "Biasa, keseleo habis latih tanding. Tiga hari juga sembuh."

Gadis itu meringis. Melihat tangan seniornya saja sudah membuat tangannya ikut-ikutan ngilu.

Sesampainya mereka di persimpangan koridor yang memisahkan tangga dengan gudang, keduanya langsung berbelok ke kiri. Namun, belum sempat mereka berdua menginjak tangga pertama, dari arah belakang tahu-tahu seorang siswa menyerobot. Akibatnya, ia tak sengaja menyenggol tangan kiri Suri hingga tangan yang dibebat itu terantuk pegangan besi. Suri refleks berjongkok sambil menahan sakit yang menjalar di tangannya. Karena mungkin sedang terburu-buru, siswa itu terus saja berlari menaiki tangga dan tak menyadari kalau perbuatannya telah melukai orang lain.

"Bego banget, lo!" teriak Suri pada siswa itu. Masa bodoh. Mau itu kakak kelas atau bukan, si pelaku tetap saja salah. Awas saja kalau ketemu, Suri bersumpah untuk menghajar orang itu.

"Kak Suri nggak apa-apa?" tanya juniornya khawatir.

"Nggak apa-apa, kok. Linu sedikit, sih," dustanya sambil menyengir. Suri sengaja berbohong supaya juniornya itu tak perlu menanyainya lebih jauh. Suri bukannya tidak senang jika seseorang mengkhawatirkan dirinya, hanya saja, ia tak suka mengungkapkan sisi lemahnya kepada orang yang tidak ia kenal baik.

Mereka berdua akhirnya melanjutkan perjalanan. Namun sialnya, lagi-lagi sepertinya nasib baik tak berpihak pada Suri. Sebab, baru saja ia sampai di tengah bordes dan berniat berbelok, seseorang yang tengah menuruni tangga dari atas nyaris saja menabraknya lagi. Untungnya kali ini Suri lebih cepat mengindar sambil melindungi tangan kirinya.

"Su-Suri?"

Suri membeku sejenak, dan buru-buru mendongak ketika suara laki-laki yang coba ia lupakan selama tiga tahun belakangan kini terdengar lagi. Mata sipitnya membola tak percaya. Botol minuman ringan yang tadi dipegangnya pun jatuh menggelinding ke bawah.

"Wah, Kak Suri, minumannya jatuh, tuh!" seru sang junior memberi tahu. Namun, bagi Suri suara juniornya itu hanya terdengar bagai angin lalu.

"Kak Wildan?" lirihnya pelan. Suri merasa dunianya jungkir balik saat itu juga.

======

* Alfred Marshall = Penemu hukum penawaran dan hukum permintaan

avataravatar