Di sebuah desa tak bertuan, hiduplah seorang wanita dengan wajah muda namun berumur tua. Ia hidup bersama dua anak kecil, namun bukan berasal dari keturunannya, bernama Syamala dan Syimali.
Dia wanita penolong, bekerja sebagai tabib di desa itu. Pembawaannya yang ramah dan murah senyum, membuatnya disukai para warga.
Suatu ketika, sebuah wabah menyerang desa itu dengan sangat ganasnya. Tabib wanita itu tidak bisa mengobati satupun warga desa, sehingga kebanyakan yang terserang penyakit itu mati.
Ia sangat kecewa, namun tidak pantang menyerah. Ia berdoa di sebuah gubuk yang sering dijadikannya sebagai tempat ibadah, selama 6 hari berturut-turut tanpa makan maupun minum.
Di hari ketujuh, wanita itu keluar. Wajahnya tidak terlihat seperti biasa, atau lebih tepat dikatakan, wajahnya bersinar lebih cerah dari biasanya.
Ia mendatangi warga desa yang masih sekarat, menyentuh kening mereka, dan hilanglah penyakit yang diderita warga itu tanpa efek apapun yang ditinggalkan.
Warga desa amat senang, berterimakasih pada wanita itu. Mereka berpesta merayakan kesembuhannya, dengan jamuan makan yang melimpah.
Namun ada satu hal yang mereka lewatkan, wanita itu kembali ke tempat ibadahnya, wajahnya terlihat amat kesakitan.
"Tidak ada pengobatan gratis," ucap sebuah suara, "Kau akan menerima penderitaan dari mereka yang telah disembuhkan."
Wanita itu meraung tanpa suara, urat di leher dan tangannya mulai terlihat saat ia menahan sakit. Asap hitam mulai muncul dari tubuhnya, merambah pada matanya yang tadinya berwarna biru langit.