webnovel

Kakek Tua di Gubuk

Mungkin kalian sudah tahu?

Bahwa cara memainkan permainan ini sangatlah mudah. Kalian hanya perlu mengumpulkan kelereng-kelereng tersebut ke dalam lingkaran kecil, yang dibuat dengan menggambar gris di tanah yang lunak.

Kemudian, anak-anak yang bermain akan bergiliran melempar satu kelereng mereka ke dalam lingkaran dari jarak tertentu. Jikalau akibat benturan dari kelereng yang dilempar, membuat beberapa kelereng di dalam lingkaran terpental keluar lingkaran, maka kelereng tersebut akan otomatis menjadi milik si pelempar. Kemudian, pemain lain akan bergiliran melakukan hal yang sama.

Nah, jika belum sampai pemain terakhir kelereng di dalam lingkaran sudah habis, apa yang dilakukan selanjutnya?

Biasanya, pemain sisa akan sepakat mengumpulkan sedikit kelereng yang mereka punya untuk menggantikannya di lingkaran, kemudian pemain berlanjut seperti biasa.

Tapi...

"Gak mau, pokoknya ini punyaku!"

Adi menggerutu, kesal, dan matanya melotot ke arah pemain yang lain. Ia memeluk apa yang ada di dadanya dengan erat-erat. Kenyataan bahwa dia menyalahi aturan membuat pemain lain kesal.

"Tapi kelerengnya udah habis! Kalau mau lanjut main ya kasih kelerengmu dikit! Kita sisanya juga udah naruh disana, tuh!" gerutu Gana.

Ia mengambil beberapa kelereng yang dia bawa di kantong celananya, dan meletakkannya di lingkaran. Pemain yang lain juga melakukan hal yang sama, meski ada juga yang curang hanya menaruh sedikit kelereng, berbanding sedikit dengan pemain lain.

Seharusnya dia diprotes, tapi masalahnya sekarang ada di Adi. Ia menjadi pusat perhatian.

"Gak mau! Pokoknya gak mau!!"

Ia semakin keras kepala. Mungkin karena tidak suka di paksa, air mata mulai keluar dan membasahi pipinya.

Bocah 8 tahun itu menggunakan baju biru dengan gambar kartun yang lucu, rambutnya di potong pendek, celana jeans kecil yang ada robekan kecil di bagian belakangnya, dan sandal yang besar sebelah. Aku curiga dia mengambil sandal ayahnya salah mengira itu punyanya.

Gana sudah kelewat kesal, ia berteriak dan mengeluarkan luapan emosinya. Anak kecil cenderung kurang mampu mengendalikan emosi mereka. Mereka lebih jujur dan lebih mudah menyampaikan perasaan dan emosi mereka dalam keadaan apapun.

"Yaudah gak usah main, sana main sendiri! Temen-temen jangan ajak dia lagi, yuk main bertiga aja."

Hanya tersisa tiga orang yang belum selesai bermain, empat termasuk Adi. Tapi karena sekarang Adi dikeluarkan, yang membuatnya jadi lebih sedih dan sebentar lagi pasti akan menangis.

Kami adalah sekelompok anak kecil yang tinggal di perumahan di pinggir kota. Anak-anak yang biasanya aku ajak main adalah anak-anak tetangga, kadang kami bermain dengan anak-anak dari komplek sebelah juga.

Di sebelah utara perbatasan perumahan, ada sawah yang terbentang luas, dan dari kejauhan akan nampak Gunung Merapi yang berwarna kebiruan, mungkin karena jarak pandang yang jauh dan tertutup awan. Anak-anak dari perumahan sering bermain di sawah itu, ada jalan keluar kecil yang menghubungkan perumahan dengan sawah.

Kami bermain di lahan kosong yang tak ditumbuhi padi. Semula kami ada 8 orang, termasuk aku, Adi, Gana, dan 5 orang lainnya, yang sekarang sudah terpecah belah.

Gana, dan 5 anak lainnya mulai menjauh dari Adi. Mereka bermain di pojokan sana, sambil sesekali memandang Adi yang meringkuk di tengah-tengah lahan, mulai menangis dengan suara isaknya yang kecil.

Sementara aku dibiarkan bingung, harus memilih yang mana. Aku bisa saja meninggalkan Adi, dan pergi bermain dengan anak-anak lain. Namun, hati nurani kecilku berbisik untuk tidak meninggalkan Adi.

"Wisnu!"

Aku mendengar Adi memanggil. Ia menatapku dengan tatapan yang memerintah. Didorong oleh kuasa yang tak bisa ku tolak, aku menjawab panggilannya dan segera berlari menjauh dari Adi.

Tekanan dari mereka yang menjadi pemimpin, superioritas antara yang lemah dan yang kuat memberi pengaruh pada kelompok kecil. Mungkin karena ia yang paling tua? Tunggu umur kita kan sama? Pasti karena sosoknya yang mudah bergaul, membuat teman-temannya yang lain lebih mudah untuk mengikutinya.

Kami melanjutkan bermain. Bahkan setelah Adi dan tiga anak lainnya selesai bermain kelereng, kami berenam mulai bermain permainan yang lain. Saat itulah aku berhenti dan melihat ke arah Adi.

Ada seorang kakek tua yang memegang tangannya dan menuntun dia ke arah gubuk kecil di tengah sawah.

Sontak, aku berlari mengejar mereka.

Aku takut kakek itu mencoba menculik Adi. Bukankah banyak kasus seperti itu di berita yang aku tonton sebelum pergi ke sekolah. Biasanya Bapak akan menyalakan TV di dapur sambil sarapan, aku sering menonton berita-berita menyeramkan begitu.

Mungkin karena tidak fokus, aku tersandung batu kecil dan terjatuh ke sawah. Lumpur mengotori dagu dan mulutku, untuk wajahku tidak tertutupi lumpur. Aku bisa mendengar Gana yang khawatir memanggilku di belakang, namun fokusku tertuju pada kakek tua yang membawa Adi bersamanya.

Aku terkejut dan takut, karena saat aku bangun dan membersihkan diriku dari lumpur... kakek tua itu sudah menghilang bersama Adi. Sontak, aku semakin gelisah dengan kekhawatiran bahwa Adi telah di culik.

Tapi, mungkin saja Adi masih belum pergi jauh. Mungkin dia sedang dikurung di gubuk kecil di tengah sawah di ujung sana.

Rasa penasaran, dan keinginan untuk menyelamatkan Adi dari orang jahat layaknya seorang detektif yang mengendap-endap menangkap penjahat. Aku mendekati gubuk, memastikan aku tidak membuat suara apapun, dan mengintip ke dalam melalui jendela kecil dari dinding yang terbuat dari anyaman bambu.

Aku bisa melihat Adi duduk di meja kecil yang tingginya sekitar sampai ke dadaku. Kakek itu mengambil air dari ceret dan menuangkannya di cangkir untuk minum kepada Adi. Sepertinya ia sedang menenangkan Adi.

Mungkin saja, Kakek itu melihat Adi yang sendirian menangis dan mencoba menenangkannya. Kalau begitu, aku merasa berdosa karena telah salah sangka mengira dia seorang penculik.

Aku memberanikan diri masuk melalui lawang. Wajah Adi terlihat masam setelah melihat wajahku. Ia marah dan hendak melempariku dengan cangkir yang dia pegang. Untungnya Kakek itu berhasil menghentikan Adi dari melakukan itu.

Aku meminta maaf karena meninggalkannya sendiri bermain, dan bermaksud untuk mengajaknya kembali, bermain bersama.

Kakek itu tersenyum, ia mengambil apa yang disebut tambir, mengaduk-ngaduk padi dengan cara melemparnya sedikit. Ia menuntunku untuk duduk di sampingnya. Tapi aku ragu-ragu, karena pikiran bahwa dia adalah seorang penculik masih menakutiku.

"Sante aja ama kakek, nih kakek punya permen."

Mataku bersinar saat melihat permen kaki merah dengan bungkus biru itu. Sontak aku mendekat dan mengambil permen itu, membukanya dan langsung memakannya.

Aku duduk di sebelah kanan kakek, dan Adi di sebelah kiri.

"Kenapa, kenapa? Cerita ama kakek kok kalian berantem?"

Aku menjelaskan kejadian singkatnya pada kakek. Sementara Adi hanya diam karena malu. Aku sadar kenapa Adi tidak mau membagi kelerengnya, karena ia hanya punya lima kelereng di kantong plastik yang dia pegang. Jika dia membagi itu, maka pasti akan berkurang, dan belum pasti juga jumlahnya akan berlipat ganda, kalau dia kalah bagaimana?

Kakek itu tersenyum, ia mengelus kepala Adi dan berkata.

"Gak apa, jangan nangis lagi. Kamu gak usah takut, gak usah malu kalau pingin mengutarakan sesuatu. Jujur aja sama temenmu, pasti mereka pengertian sama kamu."

Aku setuju dengan kakek. Ngomong-ngomong, aku belum pernah melihat beliau sebelumnya. Dimana kakek ini tinggal?

"Kakek siapa? Tinggal dimana?"

Kakek itu tertawa. Dia menaruh tambir yang berisi beras di atas meja, kemudian mengambil buku tebal yang ada di sebelahnya. Ia membuka buku dan membalikkan halaman-halaman.

Kenapa ya, ketika kakek itu mengambil buku, ada perasaan aneh yang meluap dari dalam diriku. Perasaan asing yang memberi kesan kerinduan. Aku langsung teringat ayah dan ibuku dirumah.

"Kakek, nama kakek Gandhar. Kakek tinggal di tempat yang jauhh banget."

Cara dia mengatakan jauh' dengan suara yang panjang terdengar lucu, aku dan Adi tertawa tanpa sadar.

"Terus, kakek ngapain disini? Ini sawah kakek?" Adi bertanya penasaran.

"Bukan,"

"Terus?"

"Ini sawah kamu, kakek hanya jalan-jalan aja kesini."

"Hah? Kok bisa?"

Aku kan tinggal ama orang tua ku. Dan aku ingat ayahku bekerja sebagai petani sayur di tanah milik orang lain. Keluarga kecil kami tak mungkin bisa mempunyai lahan untuk dijadikan sawah.

"Hmm, mau dengar cerita kakek gak?"

Ia bertanya, membuat ku menjadi antusias dan penasaran. Seperti disihir, aku dibuat terpana dan penasaran dengan siapa kakek ini, darimana dia berasal, dan cerita apa yang akan dia ceritakan.

"Dahulu kala, semuanya itu kosong, kosong banget, gak ada apapun di dunia ini."

"Kok kosong kek? Bumi ama matahari dimana?"

"Belum ada waktu itu."

Dia memberi gestur untuk kami mendekat, menunjuk halaman tertentu di buku yang dia pegang dan memperhatikan gambar dan ukiran yang unik. Tulisan di buku itu gak bisa aku baca, itu bukan huruf kan?

"Huruf apa ini kek?"

"Aksara namanya. Aksara Jawa."

"Adi sering lihat kakak nulis ini di buku. Katanya susah! Harus pake pensil terus dia ngapusnya ampe buku robek."

Kakaknya Adi kelas 3 SMP kan? Waduh berarti nanti saat aku SMP dapet pelajaran Aksara Jawa dong? Kayaknya susah deh. Mendengar Adi, Kakek Gandhar tertawa kecil dan melanjutkan.

"Nanti, kasih kakakmu bulu merak ini ya. Taruh aja diatas meja, bilang buat hiasan."

"Ini bulu merak asli?"

"Oh jelas... enggak, ini cuma hiasan aja."

Kakek tersenyum, membuat Adi memiringkan kepalanya dan bingung. Namun ia menyimpan bulu merak itu dan mengingat saran dari kakek.

"Terus kakek, ini apa?" Aku menunjuk pada gambar yang terlihat seperti ukiran matahari

"Itu telur. Telur emas."

Sebuah telur?

"Awalnya itu gelap semua, terus muncul sebuah telur emas. Telur emas ini hancur dan muncul ledakan yang sangat besar!"

Boom! kata kakek itu dengan bersemangat sambil bercerita.

Aku menduga ini adalah awal dunia diciptakan? Dan katanya bermula dari telur. Tapi dari yang aku tahu, dunia ini diciptakan oleh tuhan. Bukankah itu berarti, tuhan tidak menciptakan dunia?

Aku ingin memprotes, namun seolah telah mengetahui apa yang ingin kutanyakan, kakek itu menjawab.

"Hayo, menurutmu siapa yang munculin telur ini?"

Seketika keraguanku hilang, dan aku menjawab

"Tuhan!"

"Benar!"

Kakek Gandhar bertepuk tangan. Aku merasa senang karena jawabanku benar. Rasanya seperti berhasil menjawab pertanyaan dari buk guru di sekolah.

Kakek itu melanjutkan ceritanya. Tentang mahluk-mahluk cahaya yang mirip malaikat, dan musuh mereka yang merupakan bangsa jin.

Aku melihat kakek ini mirip seperti Pak Ustad yang memberikan ceramah kepada jemaah nya di mesjid. Cara beliau menyampaikan cerita benar-benar membuatku terpana dan dibuat tenggelam pada perjalanan mistis yang baru.

"Dunia ini tercipta dari lima unsur. Yaitu air, api, tanah, udara, dan ruang hampa. Kelimanya saling membentuk. Dan kamu Adi, kakek, dan kamu Wisnu, kita tercipta dari unsur alam ini. Dengan kata lain, kita adalah kesatuan dengan dunia ini."

"Oleh sebab itu, kamu gak boleh jahat ama orang lain. Jangan kamu menyakiti orang lain. Kalau kamu menyakiti orang lain, itu berarti kamu menyakiti diri sendiri. Kenapa? Karena kita terbuat dari hal yang sama."

Tentang bagaimana setiap mahluk hidup memiliki satu keterikatan batin yang sama. Tercipta dari unsur yang sama, dari asal yang sama, dari kehendak mutlak yang sama. Dan tak ada yang membedakan kita dengan yang lain secara batin.

Kakek itu bilang bahwa apa yang kamu lihat di dunia seperti ilusi. Kita melihat orang-orang berbeda warna kulit, berbeda kemampua, berbeda sejarah, berbeda kelamin, berbeda suku, dan budaya. Sesungguhnya, ini adalah ilusi di dunia ini yang menghalangi hati manusia untuk melihat alam batin yang sesungguhnya. Kalau kau melihat lebih dalam ke hatimu, sadar secara spiritual, dan secara rohani, kau akan melihat bahwa sesungguhnya kita manusia dan alam itu sama.

Ada tuhan di hati kecil kita tanpa kita sadari. Melihat kita tumbuh dan berbuat, melihat kita berbakti pada orang tua, berdoa, dan menolong orang lain. Tuhan ada disetiap hati mahluk hidup. Janganlah membenci sesama.

Aku terpukau, terpana, dan terdiam. Merenung apa yang beliau katakan. Namun, sepertinya Adi tidak peduli dengan cerita kakek, karena aku melihat dia sedang asik menghisap permen yang ia pegang.

"Kakek sebenarnya dari mana?"

Dia tertawa, "Kakek datang dari tempat yang jauh. Tempatnya indah sekali. Ada bidadari yang terbang di langit, pesawat super canggih yang terbang disana sini, sungai susu yang luas, lautan emas, pepohonan dengan buah yang tak pernah berhenti untuk tumbuh. Mirip negeri dongeng pokoknya."

"Memangnya ada ya kek, tempat yang begitu?"

Satu-satunya yang muncul di pikiranku ketika mendengar tempat seperti itu adalah...

"Ada... itu namanya-

Surga.

Aku dan Adi pulang setelahnya. Aku mengantar Adi pulang kerumahnya setelah berbaikan. Keesokan harinya aku ingin pergi ke gubuk itu lagi untuk mendengar cerita kakek itu. Namun, aku tidak bisa mempercayai mataku, karena ketika aku kembali ke tempat dimana gubuk itu terletak sebelumnya, hanya ada pohon besar yang menjulang tinggi di tengah-tengah sawah, tempat gubuk itu harusnya berada.

Aku tidak akan melupakan kakek itu, Kakek Gandharwa.