webnovel

Apa yang ada, dan yang menjadi Ilusi.

Seorang murid dan guru sedang duduk di dekat pohon besar.

Sang guru mengistirahtkan badannya dengan bersandar pada pohon. Ia besila dan mengambil posisi semedi. Murid yang tak tahu harus melakukan apa saat gurunya sedang semedi, memutuskan untuk mencuci pakaian miliki gurunya.

Tepat setelah itu, sang guru memanggil.

"Wahai murid, kau sungguh rajin telah membersihkan bajuku. Atas jasamu dan pengabdianmu itu, aku bersedia menjawab semua pertanyaan yang meresahkan pikiranmu."

Sang guru menyadari, bahwa muridnya memiliki keraguan dan pertanyaan mengenai beberapa hal.

Ia mengajarkan ilmu spiritual yang dekat dengan ajaran Sang Buddha. Kegiatan mereka sehari-hari adalah melakukan kunjungan ke desa-desa kecil untuk membantu penduduk desa dalam pekerjaan mereka. Dan biasanya, penduduk desa akan memberikan upah secukupnya berupa beras dan makanan. Dan jika si penduduk tidak dapat memberi, maka mereka tidak akan memaksakan itu.

Sudah berbulan-bulan sang murid belajar pada sang guru, dan ia menaruh hormat yang paling tinggi padanya. Menjalankan semua perintah dan permohonan sang guru.

Murid itu mendekati gurunya, sujud dan mencium kaki sang guru, kemudian mengucapkan salam dan doa. Ia lalu duduk bersila menghadap sang guru, bertanya

"Wahai guru, bukankah sudah saatnya engkau menjawab pertanyaanku? Tentang kekuatan dari Maya. Engkau selalu mengatakan bahwa penderitaan kita adalah ilusi saja, dan jika kita menerima itu semua maka akan menghilang begitu saja, bisakah kau menjelaskan apa itu maya, guru?"

Sang guru tersenyum. Ia sadar bahwa muridnya pasti akan bertanya padanya tentang ini. Ia memastikan kesanggupan dari muridnya.

"Tentu saja aku sudah siap untuk mendengarkan pengetahuan darimu guru."

"Bagus, aku menghargai itu. Namun, bisakah engkau membawakanku minuman dulu? Tenggorokanku terasa kering."

Sang murid segera berangkat menuju dapur. Namun tak ada air yang tersisa di kendhil. Ia panik dan segera keluar membawa kendhil yang kosong untuk mencari air. Ia pergi ke tepi sungai yang deras untuk mengambil air, namu naas, air sudah berwarna kecoklatan akibat membawa lumpur dari arus hilir sungai. Mungkin karena hujan.

Ada sebuah desa yang tak jauh diseberang sungai ini, namun untuk sampai kesana, ia harus mengambil jalan memutar. Jadi dia lakukan itu, ia mengambil jalan memutar untuk mencapai desa tersebut.

Dia berangkat melintasi ladang. Matahari terbenam dan meskipun dia adalah pejalan kaki yang baik, garis kecil pondok jerami di cakrawala yang menandai desa terdekat tampak tidak lebih dekat saat dia berjalan. Panasnya semakin tak tertahankan. Tenggorokan sang murid menjadi kering juga. Diia mulai berpikir untuk meminta gelas, untuk dia minum setelah mengambil air.

Akhirnya dia sampai di desa dan berlari ke rumah terdekat. Pintu terbuka dan di sana berdiri wanita tercantik yang pernah dilihatnya. Dia tersenyum pada si murid melalui bulu matanya yang panjang dan gelap. Sesuatu terjadi pada sang murid yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Yang bisa sang murid lakukan hanyalah melihat wajah cantiknya. Dan karena merasa canggung, si wanita cantik mempersilahkan sang murid untuk duduk di kursi, sementara ia akan menyediakan minuman. Sang murid meminum air itu, kemudian mengucapkan terimakasih. Ia kemudian berbincang sebentar dengan si wanita. Si wanita tinggal sendirian, kedua orang tuanya telah lama meninggal. Hanya bergantung pada kebun teh dan sawah yang dia rawat, hanya dapat panen sesekali dalam setahun. Merasa mereka berdua memiliki kesamaan dan semakin dekat, akhirnya si murid berbicara, "Maukah kamu menikah denganku?"

Pasangan itu menetap untuk kehidupan keluarga yang bahagia. Beberapa tahun kemudian, mereka diberkati dengan seorang anak. Sang murid menjadi kepala keluarga dan membina hubungan rumah tangga yang baik. Ada yang harus dimandikan, didandani, dan makanan untuk semua orang di rumah.

Ia merasa bahagia. Sang murid dan istrinya menjadi asyik dengan dunia kecil pribadi mereka, diam-diam membangun impian mereka. Bertahun-tahun berlalu, anak-anak tumbuh, pergi ke sekolah, menikah dan pada waktunya, mereka diberkati dengan cucu. Sang murid menjadi kepala keluarga dari sebuah keluarga besar, dihormati oleh seluruh desa, tanahnya membentang sampai ke ujung sungai.

Ada sepetak tanah yg ia sulap menjadi sawah. Dan dia menanam pohon yang dia rawat dengan sepenuh hati. Pohon itu lambat laun mulai tumbuh besar di tengah sawah. Jika dia dan anak cucunya lelah saat bertani, maka mereka akan istirahat dan berteduh di bawah pohon besar itu.

Dia dan istrinya akan saling memandang dengan penuh kasih dan berkata, "Tidakkah menurutmu menjadi kakek-nenek adalah hal terbesar di dunia?"

Kemudian datanglah banjir yang besar. Ladang desa menjadi hanyut, dan di depan mata sang murid yang tak berdaya, semua yang ia cintai dan jalani–tanahnya, ternaknya, rumahnya, dan terutama istri tercintanya dan semua anak dan cucunya–hanyut. Dari semua desa yang hanyut, hanya dia yang tersisa, dan sebuah pohon besar yg ia rawat sejak lama, menjadi saksi bisu kehancuran yg terjadi. Dia mencoba menyelamatkan mereka dari semua malapetaka ini tetapi tidak berhasil. Tidak dapat menyaksikan kehancuran, ia pergi ke ujung sungai, berlutut dihadapan gurunya dan memohon petunjuk dari hati yang paling dalam.

"Guru, guru!"

Sang guru, yang meski telah bertahun-tahun berlalu dan telah menjadi sangat tua. Ia menatap sang murid yang bersujud dihadapannya.

"Oh muridku, dimana segelas air yang aku minta?"

Sang murid seketika tersentak, tersadar dari sebuah ilusi yang menyakitkan. Ia menangis dihadapan gurunya, memohon maaf dan mengampunan.

"Sudahkah kau menyadari apa itu ilusi?"

"Ya, guru. Ilusi maya membuat seseorang lupa akan tugas dan tanggung jawabnya. Aku dibutakan oleh kecantikan ilusi itu, dan melupakanmu, guru, sumber cahaya dan pengetahuanku."

Semuanya hanyalah sebuah ilusi. Kenikmatan duniawi ini adalah ilusi yang menjauhkanmu dari tujuan sejati. Oleh sebab itu, seseorang harus mengabdikan diri dengan sungguh-sungguh dan tak terbuah kenikmatan duniawi.