Raka membukakan pintu mobil untuk Naraya dan membantunya masuk kedalam dengan hati- hati.
Begitu Naraya duduk di jok mobil yang empuk, Naraya dapat mencium aroma parfume yang sangat lebut dari sisi sebelah kanannya, bukan hanya itu saja, dia dapat merasakan tatapan Nenek Asha pada dirinya.
Oleh karena itu, sebagai pihak yang jauh lebih muda Naraya berkewajiban untuk menyapa lebih dahulu.
Naraya diajarkan neneknya sopan santun yang sampai detik ini masih melekat kuat dalam dirinya.
"Selamat siang bu Asha… apa kabar?" Naraya menggunakan sapaan standart dengan takut- takut, suaranya sangat kecil hingga hampir tidak terdengar.
Untuk sesaat, nenek Asha tidak menjawab sapaan Naraya dan jeda yang terjadi benar- benar membuat Naraya tidak nyaman.
Namun saat Naraya menundukkan wajahnya karena dia pikir nenek Asha tidak akan menjawab sapaannya, terdengar suara merdu dan lembut dari sisi kanannya dimana nenek Asha berada.
"Kabar baik Naraya, kamu bagaimana kabarnya?" Tanya nenek Asha.
"Ah, saya… saya juga baik ibu." Jawab Naraya dengan terbata- bata, lidahnya terasa kelu saat ia berucap. Suara nenek Asha yang tenang justru membuat Naraya semakin gugup.
"Jangan panggil ibu, panggil saja nenek." Nenek Asha menyarankan.
"Oh… apa tidak apa- apa?" Tanya Naraya dengan nada khawatir.
Status Asha Prihadi yang tinggi dan pembawaannya yang tenang membuat Naraya menjadi canggung dan rendah diri berada dalam satu mobil dengannya.
Terdengar tawa halus dari nenek Asha saat ia mendengar pertanyaan Naraya. "Tentu saja tidak apa- apa, kan nenek yang meminta." Nenek Asha tersenyum saat melihat bibir Naraya membentuk senyuman- meringis, menandakan kalau dia sedang salah tingkah. "Lagipula sebentar lagi kan kamu akan menikah dengan cucu nenek, sudah pasti kamu harus memanggil nenek dengan sebutan 'nenek', bukan?"
Naraya menggigit bibir bawahnya dan mengangguk perlahan. "Iya, nek." Jawabnya pelan, hingga hampir tidak terdengar.
"Bagus." Nenek Asha kemudian mengulurkan tangannya untuk mengusap kepala Naraya.
Saat mendapat sentuhan tidak terduga tersebut, tubuh Naraya sempat menegang, namun kemudian dengan cepat dia merasa nyaman dengan sentuhan tersebut, mengingatkannya pada almarhum neneknya sendiri.
"Kita jalan sekarang, bu?" Tanya Raka dari balik kursi pengemudi.
"Iya." Jawab nenek Asha singkat.
Dan kemudian, detik- detik yang berlalu di dalam mobil membuat Naraya merasa tidak nyaman.
Benar apa yang di katakana oleh Raka bahwa Nenek Asha tidak banyak bicara dan sepanjang lima belas menit perjalanan mereka, nenek Asha benar- benar tidak berkata apa- apa dan Naraya tidak tahu bagaiman cara memulai pembicaraan pada Nenek Asha.
Tapi sebenarnya, walaupun nenek Asha tidak menjalin percakapan dengan Naraya, dia sedang memperhatikan gadis di sebelahnya dengan seksama, melalui sudut matanya dia dapat melihat Naraya memeluk tasnya sambil menggigit bibirnya.
Nenek Asha mengerti kalau gadis itu merasa gugup dan hanya bisa mendesah dalam hati.
Sebetulnya dia menginginkan gadis yang lebih pemberani dan banyak bicara untuk mengimbangi cucunya, Liam, yang kaku dan dingin.
Namun, dia harus dihadapkan pada pilihan ini dan nenek Asha tidak memiliki pilihan lain kecuali menerimanya.
Oleh karena itu, dia tengah menghibur diri pada kenyataan bahwa, terlepas dari kekurangannya, Naraya sangatlah cantik dengan kulit putih bersih yang terlihat hampir pucat.
Wajahnya yang polos tanpa make up membuatnya terlihat jauh lebih muda daripada usianya yang sebenarnya.
Ini juga yang menjadi faktor pemberat bagi nenek Asha untuk menerima Naraya, dia sangatlah muda. Jauh lebih muda daripada Liam.
Nenek Asha khawatir usia Naraya akan menjadi penghalang diantara mereka berdua.
Tapi, selebihnya nenek Asha mencoba mengambil sikap positif dari kondisi Naraya, dengan melihat sikapnya yang pemalu ini, nenek Asha yakin kalau Naraya akan menjadi isteri yang setia dan tidak akan mengkhianati Liam.
Nenek Asha pernah sekali melihat Liam yang sedang patah hati, dan dia tidak ingin melihat cucunya terpuruk seperti itu lagi.
"Naraya mau makan apa?" Nenek Asha mengusap kepala Naraya dengan lembut, dan perbuatan ini membuat Naraya sedikit terkejut, dia semakin menundukkan kepalanya.
"Apa saja nek…" Jawab Naraya lembut.
"Naraya suka makan seafood?" Tanya nenek Asha kembali dan dijawab dengan anggukan dan senyum malu- malu.
Nenek Asha juga tersenyum, seandainya saja Naraya tidak memiliki kekurangan ini, mungkin dirinya akan lebih bahagia.
Tapi, sudahlah…
Nenek Asha menepis jauh- jauh 'seandainya- seandainya' yang mengganggu hatinya dan kembali tersenyum pada Naraya.
Setelah percakapan singkat mereka, butuh waktu kurang lebih lima belas menit lagi untuk sampai di sebuah mall terbesar di ibukota.
Setelah Raka menurunkan nenek Asha dan Naraya di lobby depan mall, dia membawa mobil tersebut untuk diparkirkan setelah nenek Asha memberitahu nama restaurant yang akan ia kunjungi agar Raka dapat menyusul mereka.
Nenek Asha kemudian menggandeng tangan Naraya sambil memasuki mall dan dengan hati- hati dan sabar menuntunnya menuju restaurant yang mereka tuju.
Naraya beberapa kali meminta maaf pada nenek Asha karena dirinya telah menyusahkan nenek Asha yang hanya di sambut dengan kata- kata; "tidak apa- apa, berhenti meminta maaf, kurang dari sebulan lagi kamu akan menjadi cucu nenek juga."
Mendengar kata- kata tersebut, hati Naraya menjadi hangat. Setidaknya dia tahu, pada saat setelah menikah nanti, dia tidak akan sendirian karena sepertinya nenek Asha akan memperlakukannya dengan baik.
"Kamu tidak mempunyai alergi dengan makanan laut, kan?" Tanya nenek Asha sambil melihat menu yang di tawarkan di salah satu restaurant terkenal di mall tersebut.
"Tidak, nek." Jawab Naraya dengan lugas.
Nenek Asha menggumamkan sesuatu sebagai tanda kelegaannya sebelum akhirnya dia memanggil waitress dan menyebutkan menu apa saja yang dia inginkan.
Naraya sangat jarang sekali mengunjungi tempat- tempat ramai seperti ini, bahkan bisa dikatakan dia hampir tidak pernah berada di mall kalau bukan karena teman- temannya pada saat dia masih sekolah dulu, yang memaksa mengajaknya.
Lagipula, saat nenek Naraya masih hidup, beliau bukan seperti nenek Asha yang cocok berada di lingkungan seperti ini, nenek Naraya lebih suka berada di rumah, memasak makanannya sendiri atau pergi ke pasar untuk membeli bahan- bahan kue.
Untuk sesaat, Naraya merasa sedih saat teringat akan neneknya yang tidak akan mungkin lagi dia temui.
"… itu saja bu? Ada tambahan lain?" Tanya waitress setelah menyebutkan kembali daftar menu yang nenek Asha pesan.
Mendengar banyak sekali menu yang di pesan nenek Asha, membuat Naraya bingung.
Apakah ada orang lain lagi yang akan datang?
"Sudah, itu saja." Jawab nenek Asha dengan suara yang berwibawa.
Setelah mengucapkan terimakasih dan meminta nenek Asha untuk menunggu, waitress tersebut berlalu.
"Naraya." Panggil nenek Asha.
"Iya, nek?" Jawab Naraya dengan cepat, dia memasang telinganya, takut kalau ada kata- kata yang lolos dan tidak terdengar olehnya.
"Naraya ingat ya, semua menu yang nenek pesan tadi merupakan menu favorit Liam." Nenek Asha memberitahukan Naraya.
Naraya kembali mengangguk dan mengingat- ingat makanan apa saja yang tadi di pesan oleh nenek Asha.
Tapi, kata- kata nenek Asha selanjutnya membuat Naraya seketika lupa akan daftar makanan tersebut.
"Nanti Liam akan datang untuk makan siang bersama kita."