"Apa!?" Ara yang mendengar hal itu tentu saja tidak terima.
Mengapa dia harus dibedakan? Bukankah dia juga keluarga calon mempelai perempuan untuk keluarga Prihadi? Kalau nanti Naraya menikah dengan Liam, bukankah itu berarti Ara juga akan menjadi bagian dari keluarga Prihadi juga?
Ara berpikir seperti itu karena Utari yang menanamkan hal tersebut di benaknya, untuk meluluhkan hatinya yang kesal setengah mati terhadap perjodohan ini.
Setidaknya bayangan menjadi bagian dari keluarga Prihadi cukup menyenangkan.
"Antar saya ke kampus saya sekarang!" Perintah Ara dengan sengit, melihat pak Wim tidak juga menjalankan mobilnya.
"Saya hanya di minta untuk mengantar dan menjemput Nona Naraya, kalau memang saya harus pergi ke suatu tempat yang tidak ada di dalam perintah pak Raka, maka saya harus memberitahu beliau terlebih dahulu."
Sambil berkata demikian pak Wim mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya dan mencari nomor telepon Raka.
Sementara itu, Ara yang mendengar nama Raka disebut, teringat akan akan ancaman halus Raka terhadap dirinya dan ibunya untuk tidak memukuli Naraya lagi.
Kalau sekarang supir ini memberitahukan Raka bahwa dia meminta diantar juga ke kampus, Raka tidak akan mungkin bersikap baik pada Ara dan meluluskan permintaannya.
Dengan gusar, Ara menepak tangan pak Wim yang baru akan menekan tombol 'panggil' di atas nama Pak Raka.
"Sudah! Tidak perlu menelepon siapapun! Saya akan keluar!" Sergah Ara berang.
Merasa malu dan marah, Ara membanting pintu mobil tersebut sekuat tenaga, hingga pelajar- pelajar, yang baru akan memasuki gedung sekolah mereka, menoleh heran pada Ara yang mengumpat dengan kata- kata yang tidak pantas sambil berjalan menjauh dari mobil mahal berwarna biru metallic.
Sekolah Naraya memang menggabungkan metode pengajaran untuk anak berkebutuhan khusus seperti Naraya dan sekolah regular.
Di dalam mobil, pak Wim hanya bisa mengurut dada melihat kelakuan Ara. Dia bersyukur, dia tidak memiliki anak perempuan seperti itu.
# # #
Waktu menunjukkan pukul 2 siang dan sudah saatnya kelas terakhir di bubarkan.
Di luar gerbang sekolah, Pak Wim yang sudah menunggu kehadiran Naraya di depan pintu gerbang, sedang mengobrol dengan satpam disana ketika seseorang tiba- tiba menegurnya.
"Pak Wim bisa kembali ke kantor saja."
Begitu pak Wim menoleh, dia mendapati Raka tengah berdiri di belakangnya. "Oh, pak Raka." Sapa pak Wim. "Tapi, nona Naraya…"
Pak Wim menunjuk ke arah sekolah dan melihat Naraya sedang berjalan menuju ke arah pintu gerbang dengan di bantu dua orang temannya yang asyik mengbrol dengannya.
"Tidak apa- apa, nanti saya yang akan mengantarkan Naraya pulang." Ucap Raka, dia juga melihat ke arah yang sama dengan pak Wim dan mendapati Naraya sedang tertawa mendengarkan kata- kata dua orang temannya tersebut.
Tanpa disadari, Rakapun ikut tersenyum melihat Naraya, dia berharap Liam tidak akan sampai hati untuk menyakiti gadis yang masih polos ini.
"Baiklah kalau begitu, saya pamit dulu pak." Ucap Pak Wim mengundurkan diri disertai anggukan Raka.
Setelah pak Wim pergi, Naraya tiba di pintu gerbang sekolah dengan wajah ceria dan sisa- sisa tawa yang melekat di bibirnya.
"Naraya." Panggil Raka, menarik perhatian Naraya dan dua orang temannya.
Wajah Naraya terlihat bingung sebelum akhirnya dia berkata. "Pak Raka?" Tanyanya tidak pasti karena begitu ramai suara di sekitarnya dan dia bisa saja salah mendengar.
"Iya, ini saya." Jawab Raka.
"Oh," Terlihat senyum Naraya yang manis semakin berseri hingga menampilkan dua lesung pipi di kedua sisi wajahnya. "Pak Raka datang untuk menjemput saya?"
"Iya," Raka menjawab sambil tersenyum sopan pada kedua teman Naraya.
"Oh, kalau begitu, kita tinggal ya…" Ucap salah satu temannya berpamitan.
"Bye Naraya…" Temannya yang lain melambaikan tangan pada Naraya.
Naraya pun melakukan hal yang sama, dia melambaikan tangannya dengan bersemangat ke arah sumber suara yang dia dengar, sambil berkata. "Terimakasih ya…"
Setelah kedua temannya mengatakan 'jangan sungkan' mereka melanjutkan perjalanan pulang.
"Naraya, sebelum pulang kita makan siang dulu ya, kamu pasti belum makan, kan?" Tanya Raka yang dijawab dengan anggukan malu- malu dari Naraya. Raka tersenyum kemudian menambahkan. "Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu."
"Pak Liam?" Tanya Naraya tanpa berpikir lagi, karena liam lah orang pertama yang melintas di benaknya saat Raka mengatakan ada seseorang yang ingin bertemu dengannya.
Apakah Liam akan membahas kontrak pernikahan mereka lagi? Tapi, bukankah mereka baru saja bertemu beberapa hari yang lalu.
"Bukan, ini Ibu Asha Prihadi, Neneknya pak Liam." Jawab Raka dengan hati- hati sembari memperhatikan perubahan wajah Naraya.
Senyum Naraya seketika itu juga memudar berganti dengan ekspressi terkejut kemudian takut.
Naraya ingat betul kalau Nenek Asha ada saat pertemuan pertama mereka di hotel, dia juga ingat bagaimana suara terkejut Nenek Asha saat mengetahui kalau Naraya itu buta, Nenek Asha bahkan sempat mempertanyakan kebenaran tersebut dengan nada tidak percaya.
"Tidak usah khawatir, Ibu Asha Prihadi tidak semenakutkan yang kamu pikirkan." Raka mencoba menenangkan Naraya, tangannya kemudian meraih tas ransel Naraya, berniat untuk membawakannya.
Tapi, seperti biasa, Naraya menolak niat Raka dengan halus.
"Tidak apa- apa, biar saya bawa sendiri saja." Tolak Naraya.
"Baiklah, kalau begitu ayo kita ke mobil, Ibu Asha sudah menunggu." Ajak Raka sambil menggandeng tangan Naraya.
Tidak ada pikiran apa- apa saat Raka melakukan itu, ia hanya takut Naraya akan tertabrak orang yang berlalu- lalang, belum lagi Naraya tidak tahu dimana posisi Raka memarkirkan mobilnya.
Seperti yang telah Raka katakana sebelumnya kalau dia pun memiliki adik yang seumuran dengan Naraya, mungkin karena itu juga Raka menjadi lebih bersimpatik dan perhatian pada Naraya.
"Ibu Asha itu bagaimana orangnya?" Naraya berbisik ketika menanyakan hal tersebut.
"Mmm…" Raka bergumam, memikirkan jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan Naraya. "Ibu Asha itu tidak terlalu banyak bicara dan tidak terlalu suka berbasa- basi."
Naraya terlihat sedang memikirkan kata- kata Raka dengan penuh perhatian.
"Tapi sepertinya Ibu Asha tidak menyukai saya…" Gumam Naraya dengan sedih.
"Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu?" Tanya Raka dengan bingung.
"Karena saya buta…" Jawab Naraya, ada kesedihan dalam nada suaranya.
"Jangan berpikir seperti itu, karena saya pikir, beliau adalah orang yang selalu subjektif dalam menilai seseorang." Raka lalu menambahkan. "Ibu Asha merupakan satu- satunya orang di keluarga Prihadi yang di segani dan dihormati oleh Pak Liam, jadi kalau kamu bisa mengambil hati beliau, saya rasa pak Liam pun tidak akan berbuat seenaknya padamu." Ucap Raka dengan ringan.
Jawaban Raka justru membuat Naraya terkekeh geli. Ternyata masih ada sosok yang bisa mengendalikan orang seperti Liam…