Jika semua orang di kota Dorthive adalah manusia, mereka mungkin akan terheran-heran melihat Mansion keluarga Emmanuel yang terlihat lebih terang daripada biasanya, seperti ada cahaya
dari bawah yang menampilkan jika Mansion kini tengah mengeluarkan titik-titik api yang melayang di udara.
Renee menyerahkan semua urusan Arthur pada Dylan, ia juga tidak bisa memperhatikan Joy.
Ivana yang ada di depannya saat ini tidak boleh lepas lagi.
"Apa yang kau pikirkan, Renee?"
Mata Ivana menyipit, pupilnya yang berwarna hitam, berubah menjadi satu bentuk lurus, lidahnya memanjang dan terbelah dua.
"Kau menjijikkan." Renee menggertakkan gigi, membayangkan jika pada akhirnya Ivana akan menjadi seekor ular besar yang tubuhnya dipenuhi lendir, membuat perutnya terasa mual.
Ivana tidak membalas perkataan Renee, ekor ularnya memutar menghancurkan apa yang ada di sekitar, retakan-retakan lantai berlompatan ke atas bersama butiran debu.
BRAKH!
Renee hampir terkena ekor yang mengayun padanya, untung saja di dalam pekatnya debu cahaya jingga yang ada di sekitar membuat ia bisa melihat serangan Ivana.
Ivana mendengkus, ekornya berputar membentuk lingkaran dalam jarak luas, ingin menjebak Renee ada di dalam kungkungannya.
Renee melompat dan mengayunkan pedang, mengenai ekor Ivana.
"Renee!" Ivana memekik. Meski dadanya sudah terkena tusukan, ia masih bisa bertahan karena perubahan tubuhnya, tapi ekornya akan ia seret kemana-mana, sangat menyakitkan kalau terluka.
"Ya?"
Renee tersenyum miring, ia berlarian di atas ekor ular sambil menyeret pedang, membuat goresan panjang. "Apa kau ketakutan padaku sekarang?"
Ivana menghempaskan ekornya, membuat Renee yang berdiri di atasnya terlempar ke samping, Ivana langsung menggerakkan tubuhnya, mengangkat tangan untuk meraih pedang Renee.
SRATS!
Tangannya yang akan meraih langsung ditebas oleh Renee, Ivana tersentak, matanya membulat ketika melihat jari-jarinya terputus.
"Apa yang … bagaimana bisa?!"
"Takut?" Renee menyeringai lebar, rambutnya yang tergerai itu mengikuti gerakan tubuhnya, ditambah dengan cahaya jingga yang ada di dekat tubuhnya, terlihat menyebar seperti untaian cahaya yang indah.
"Aku baru tahu kalau pedang akan lebih tajam dengan cahaya jingga …." Renee mengangkat pedang, mengincar bahu Ivana yang terpampang di depan matanya.
Ivana menggertakkan gigi, mengabaikan jari-jarinya yang berjatuhan ke bawah, ia berguling, mengibaskan ekornya menghantam Renee.
BRAKH!
"Renee!" Dylan yang tak jauh dari Renee berseru, ia tidak bisa berbuat banyak selain melawan Arthur yang kelihatannya semakin menggila.
"Aku tidak apa-apa!" Renee bangkit dan mengusap wajahnya yang tercoreng debu. "Pedulikan saja dirimu!"
Dylan menelan ludah, ia menatap Arthur yang mengangkat kedua tangan, ingin menghancurkan lantai yang ia pijak.
"Leo … sepertinya kau harus membuat Mansion baru setelah ini selesai." Laki-laki bermata abu-abu itu menggerutu, memutar pedangnya menghunus ke arah Arthur.
Ivana menegakkan tubuhnya, ekornya berputar menyapu apa yang ada di sekitar, mengabaikan luka-luka yang semakin lama semakin melebar di sekujur tubuhnya.
"Renee! Renee! Kau tidak akan bisa …."
Renee sudah terlalu bosan mendengarkan bualan yang keluar dari mulut Ivana langsung mengarahkan cahaya jingga mengarah ke jantung wanita itu.
"Tidak mungkin! Bagaimana kau bisa tidak punya sopan santun!"
Cahaya jingga menabrak ekor Ivana yang terangkat, membuat suara dentuman kecil dan sisik-sisik hitam berjatuhan ke atas lantai.
Renee yang mendengarnya langsung tertawa, cahaya jingga berputar membentuk pusaran di sekitar Ivana.
"Untuk apa aku perlu bersopan santun denganmu?" Renee menyeret pedang, rambutnya kembali bergoyang di belakang tubuhnya. "Memangnya kau siapa?"
Ivana menahan napas, ada perasaan sesak yang tidak tertahankan di hatinya, tetesan darah masih mengucur di jari-jarinya, terasa pedih.
Statusnya di sini, apa?
Mata Ivana memicing, kedua alisnya saling bertaut.
"Aku sampai di tempat ini bukan tanpa alasan," katanya dengan wajah muram, menjilat sudut bibirnya. "Aku juga melakukan hal seperti ini bukan kemauanku."
Renee mendengkus, pedangnya terayun mengibaskan cahaya jingga.
"Akh!" Ivana berteriak, marah. Ia tidak suka kata-katanya dipotong, tapi Renee bukanlah pendengar yang baik.
Masalahnya apa yang dikatakan Ivana selalu kebohongan, mendengarkan apa yang ia katakan hanya akan membuang-buang waktu.
"Renee!"
"Diam! Kau dan Arthur sama saja!" Renee berdiri di atas ekor Ivana, dengan cahaya jingga yang melesat mengenai ekor dan membuat sisik-sisik hitam itu terus berjatuhan ke bawah. "Kalian sama- sama memiliki mulut lebar."
Renee tidak tahu apakah karena mereka berubah menjadi monster atau memang itu sikap bawaan mereka. Tapi mereka semua sama-sama suka berbicara tentang omong kosong.
Ivana mengatupkan bibirnya rapat-rapat, matanya itu memerah.
"Sekarang kita sedang bertaruh, jadi tolong jangan buka mulutmu terlalu banyak," lanjut Renee lagi dengan suara dingin. "Kau mengerti maksudku, kan?"
Ivana membuang muka, melihat ekornya yang tidak berhenti bergerak di sekitar Renee, sisik-sisik yang berjatuhan ke lantai itu seakan-akan terbakar karena cahaya jingga.
Wanita setengah ular itu menatap Renee, sorot mata itu berbeda dengan yang ia lihat ketika pertama kali memasuki Mansion keluarga Emmanuel, Renee yang sekarang, tidak tergoyahkan.
"Baiklah, mari kita akhiri." Ivana tiba-tiba saja menghempaskan ekornya ke arah Renee, mencoba menangkap wanita yang ada di tengah ekornya.
Renee mengayunkan pedang dan cahaya jingga langsung menghempas seperti aliran udara, mengenai ekor yang semakin dekat ke tubuhnya.
Ivana tidak memedulikan rasa sakit, ia sudah bertaruh dan ini adalah taruhan terakhirnya.
Ia tidak boleh gagal.
Sedangkan itu di sisi lain, Renee juga memikirkan hal yang sama, ia juga tidak boleh gagal mengalahkan Ivana.
Pedang Renee kembali beradu dengan ekor yang menghempas, suara pecahan bebatuan yang menjadi bagian dari lantai yang mereka pijak terus terdengar, sedikit demi sedikit, retakan memanjang mulai bermunculan di setiap dinding Mansion keluarga Emmanuel.
Atap yang terpasang kokoh di atas mulai berjatuhan, satu demi satu karena tidak kuat menahan getaran yang terus menggoncang di bawah sana.
Anak-anak tangga yang terbuat dari batu mulai bergeser, luruh ke lantai paling bawah seperti bola yang menggelinding.
Renee menangkap leher Ivana dari belakang, pedangnya mengayun.
PRANG!
Ivana mengangkat tangannya yang lain, menahan pedang dengan sekuat tenaga agar tidak mengenai tubuhya. Rasa sakit di dada yang berlubang dan jari-jarinya yang telah terputus semakin kuat.
Cahaya jingga menyerang ekor Ivana, bertubi-tubi dan sisik hitam itu semakin berjatuhan dengan suara yang keras.
"Bagaimana?" Renee tersenyum miring dan matanya terlihat dingin. "Sekarang kau merasakan bagaimana rasanya ada di posisiku, kan?"
Ivana tidak menjawab, tangannya yang menahan pedang Renee mulai gemetar dan semakin tidak terkendali.
Jika itu dulu, Renee akan selalu menjadi orang yang terdesak, Ivana habis-habisan menyerang mental dan fisiknya, membuat ia tidak berdaya.
Tapi kali ini, Renee akan memastikan Ivana akan merasakan semua yang ia rasakan, ia tidak akan membiarkan Ivana lari dan datang lagi padanya.
Renee terkekeh, giginya gemerutuk, antara marah dan senang bercampur menjadi satu, dadanya berdebar dan kali ini ia bisa menyakinkan kalau perasaanya sekarang bukan rasa takut.
Tapi antusias.
"Kali ini adalah giliranmu merasakan bagaimana diriku yang selalu terpojok."