webnovel

3. Kejadian Mengejutkan

Hari pertama kuliah tak terasa tinggal besok. Rena, Chana, dan Naila sedikit deg-deg an sebenarnya. Banyak yang mengatakan jika belajar di departemen (sebutan lain dari jurusan) itu seru tetapi juga lebih capek. Apalagi jika dibandingkan dengan saat masih di tingkat satu. Jelas, mata kuliah yang dipelajari pun berbeda.

Berdasarkan jadwal Rena, dari lima hari kuliah hanya Hari Rabu yang cukup longgar yaitu satu praktikum. Sementara sisanya ada tiga hingga empat mata kuliah full dari pagi hingga sore.

Untungnya mereka bertiga mendapat jadwal yang sama, ya kecuali Chana yang memilih praktikum pagi di hari rabu sementara Rena dan Naila mendapat jadwal di siang hari. Alasannya sih sederhana, "Biar bisa tidur siang." ujar Chana kala itu.

Untuk mengurangi ketegangan kuliah esok hari, Naila menyarankan untuk makan di luar malam ini, hitung-hitung hiburan. Jadi disinilah mereka sekarang di tempat ayam bakar yang katanya paling enak dekat kampus. Selain enak porsi nasinya juga banyak. Maklum mereka ini tipe-tipe mahasiswa yang ingin kenyang dengan harga murah. Rena dan Chana memesan paha sementara Naila memesan dada.

"Besok jadwal jam delapan, 'kan. Kita harus bangun pagi guys. Masak nasi giliran aku ya?" kata Rena yang dijawab anggukan dua lainnya.

"Masih ada telur gak sih, makan sama ceplok aja kali. Jangan dulu kangkung deh. Nanti ngantuk." saran dari Chana.

Benar juga, bisa bahaya jika hari pertama justru sudah tak kuat menahan kantuk.

"Oke, kalau cuman goreng telor aku bisa. Serahkan ke Naila aja." Giliran Naila berujar. Memang kemarin mereka juga sudah menyusun jadwal piket untuk memasak dan bersih-bersih rumah bersama. Tentu saja demi kenyamanan bersama pula.

"Naila, ngapain disini?" Sebuah suara menyapa indera pendengaran Naila menghentikan gadis itu dari suapan ayam yang akan dilahap.

"Haikal? Gue sama yang lain lagi makan nih." Haikal mendatangi warung makan berbeda tetapi tetap bersebelahan.

"Sama sih gue juga. Nih sama dua lagi." Kemudian dua teman lelaki dari Haikal melirik untuk saling memberi senyuman.

"Ada Risa juga ternyata." Salah satu teman Haikal menyapa Chana yang dibalas Chana dengan senyum.

"Yaudah gue makan dulu ya. Makan yang banyak Nai, Risa …" Haikal memastikan panggilannya untuk Chana pada lelaki berbaju biru sebelahnya, "dan satu lagi…"

"Rena, namanya Rena." Kini giliran lelaki baju merah yang belum bersuara sejak tadi untuk menjawab.

"Oke, Naila, Risa, dan Rena. Selamat makan kalian." Haikal kemudian tertawa tanpa sebab dan mulai duduk.

Chana sudah berbisik bisik tentang siapa yang memanggil Naila tadi. Naila pun dengan enteng menjawab, "Haikal, kenal karena se-PA. Yang baju merah sih harusnya kalian tahu ya, itu Mahesa. Kalau baju biru—"

Chana mengangguk angguk mengiyakan, "Baju biru sih si Adrian. Sekelas sama aku pas tingkat satu."

"Oalah, pantesan kenal. Berarti kita sekelas sama mereka juga ya. Haduh belum hafal semua lagi anak-anak kelas." Naila mengerang. Kalau tidak salah di grup kelasnya ada 72 orang. "Eh Mahesa kayaknya kenal kamu ya, Ren?"

Rena menelan makanannya sebelum menjawab pertanyaan Naila barusan. "Kami satu daerah dan pernah ketemu. Jadi mungkin karena itu dia kenal aku."

Naila dan Chana mengangguk lalu melanjutkan makan. Mereka tak ingin pulang terlalu larut.

°°°°°

Hari Senin pertama sudah mulai. Ketiga gadis kita sudah siap untuk berangkat. Mereka berencana untuk berangkat dengan jalan kaki. Namun setelah sarapan ternyata Naila malah dijemput oleh lelaki yang belum mereka kenal sebelumnya. Tak pelak hal ini justru membuat Rena dan Chana merasa dikhianati.

Kini tiba di kelas, Naila dengan pengertian sudah menyiapkan bangku untuk Rena dan Chana. Ternyata lelaki yang tadi pagi menjemput Naila pun ada di kelas yang sama yang artinya mereka satu jurusan.

"Maaf, ninggalin. Gak maksud asli." Suara Naila pelan dengan dua tangan yang ditangkupkan. Rena dan Chana mengangkat sedikit alis seolah bertanya siapa lebih tepatnya lelaki yang kini duduk di kursi dua baris dibelakang mereka.

"Jadi namanya Fajri, pacar aku." katanya lebih pelan dan malu-malu.

"Sejak kapan?" pertanyaan Chana cukup pelan bahkan lebih mirip mendesis.

"Baru sepuluh hari, hehe. Dia yang anterin dan nemenin aku pas kalian belum datang ke kontrakan," cicit Naila.

"Astaga, orang-orang di hari pertama kuliah kok bisa ya udah punya pacar lagi." Rena geleng-geleng kepala. Tak menyangka dengan informasi yang tiba-tiba. "Terus kenapa gak bilang?" tambahnya.

"Karena emang gak niat bilang sekarang. Tiba-tiba aja dia mau jemput."

Kini Chana yang geleng-geleng. "Yaudah selamat ya Naila. Gak apa apa sih kita tuh, cuman ya kaget. Seminggu kayaknya kita jomblo bertiga eh hari pertama udah ada gandengan."

"Bener, Nai. Cuman kaget. Selamat juga, ya." Rena menambahkan.

Merekapun asik mengobrol dengan suara kecil karena Naila memang tidak berencana memberitahu siapapun lagi. Kedua temannya pun tahu karena tidak sengaja.

Sebentar lagi jam delapan, dapat Rena lihat jika hampir satu kelas telah terisi. Seperti saat tingkat satu dulu kelas dibagi dua bagian, bagian kiri yang di dominasi mahasiswa laki-laki dan kanan yang di dominasi perempuan.

"APA APAAN INI? KALIAN NIAT KULIAH GAK SIH? CAMPUR! SAYA GAK MAU LIHAT KELAS SEPERTI INI LAGI." Entah dari mana sebuah suara menghentikan obrolan ringan di kelas Rena.

Ternyata seorang perempuan yang berdiri di lawang pintu lah pemilik suara tersebut. Wajahnya galak dengan dua tangan di pinggang.

"BAGIAN DEPAN DIISI. CEPAT!" ujarnya lagi sebelum kembali keluar kelas.

Sesaat kelas terdiam hingga seorang perempuan yang lebih muda memasuki kelas dengan aura lebih bersahabat. "Laki-laki dan perempuan duduknya di campur ya. Ibu gak suka kalau laki-laki dan perempuan jadi dua kubu begini. Ayo cepat."

Begitu perempuan itu selesai berbicara kelas kembali ricuh. Beberapa mahasiswa berpindah tempat. Rena sendiri bingung. Chana dan Naila sudah pergi dan ia memilih berdiam di tempatnya.

"Kosong kan? Duduk disini, ya?" Suara seorang lelaki menyadarkan Rena dari kebingungan.

"Silakan, kosong kok." lelaki itu duduk di kursi yang sebelumnya di tempati Naila. Dan seperti Rena sebelumnya mereka sibuk memperhatikan bagaimana orang lain memilih kursi mereka hingga kelas mulai tenang setelah kini tempat duduk perempuan dan laki-laki bercampur.

"Dosennya kayaknya galak deh," kata laki-laki itu, Mahesa, pelan. "Kaget banget lagi ngobrol ada yang marah-marah."

"Sama banget. Lagi ngobrol eh—"

"Ssttt dosennya balik lagi." Rena mengikuti arah pandang Mahesa kedepan. Benar saja, sang dosen sudah masuk didampingi perempuan tadi yang lebih muda.

Dua jam, pikiran Rena sudah buruk. Jika pertemuan mereka saja sudah se-galak ini, apa kabar dengan empat belas pertemuan ke depan?