webnovel

2. Susun Jadwal

Perwalian atau konsultasi mata kuliah yang akan Rena ambil di semester tiga ini sudah disetujui oleh sang Dosen PA (Pembimbing Akademik). Perasaan Rena lega sekaligus senang. Lusa sudah mulai mengisi KRS (Kartu Rencana Studi) dan ia tak perlu khawatir soal ini. Pasalnya sebelum mengambil KRS setiap mahasiswa harusnya melalui perwalian dengan dosennya masing-masing.

Pertemuan dengan dosen cukup singkat. Hanya membicarakan jumlah matkul yang diambil serta konsultasi kecil tentang pengambilan matkul lain di luar jurusan. Rena sebenarnya berharap dapat mengambil matkul itu namun sang dosen tak mengizinkan karena jadwal yang akan bertabrakan.

Semester ini juga akan menjadi pertama kalinya bagi Rena dan teman satu angkatannya yang lain untuk mulai belajar materi sesuai jurusannya. Kini selain Naila, Chana, dan beberapa orang yang pernah sekelas dengannya, Rena juga mengenal Camelia dan Arif, dua orang teman satu bimbingan.

"Ren.." Panggil Naila dari arah belakang. Naila datang bersama dua orang lain yang belum Rena. Mungkin mereka adalah mahasiswa dari jurusan yang sama dengannya.

"Sudah selesai? Ayo langsung pulang," ajak Rena bangkit dari duduknya.

"Akhirnya kegalauan dosen PA berakhir. Tinggal isi krs lusa dan mulai kuliah deh." Naila bersemangat. Berkas yang sebelumnya ada di tangan sudah dimasukan dalam tasnya.

"Akhirnya hahaha." Rena mengangguk setuju. "Oh ya Nai, tadi perwalian sendiri atau sama anak se PA yang lain?"

"Bareng-bareng, sama dua orang yang tadi dateng bareng. Harusnya berempat tapi Fifa masih di rumahnya," balas Naila menjelaskan.

Rena mengangguk mengangguk sebagai respon. "Nai, beli beras yuk, biar kita masak nasi. Lumayan kan hemat tiga ribu tiap makan."

"Kamu bawa rice cooker ya. Boleh tuh, beli lauknya juga. Tapi kita ke toko alat tulis dulu, mau beli balpoin."

Sudah diputuskan, mereka akan pergi belanja.

°°°°

Pagi-pagi sekali sekitar pukul lima keesokan harinya pintu kontrakan Rena diketuk dari luar. Untung saja Rena sudah bangun dan baru menyelesaikan kewajiban pagi harinya. Dengan membawa kunci Rena berjalan menuju pintu depan untuk melihat si pelaku pengetukan.

Sosok Chana yang duduk di kursi depan dengan kepala menunduk berhasil ditangkap inderanya. Di sekeliling gadis itu terdapat sebuah koper besar dan satu kresek hitam.

"Ha~ Rena, ngantuk," ucapnya pertama kali. Rena membantu Chana membawa barang-barang miliknya. Untung saja kamar Chana tepat berada di samping pintu masuk sehingga tidak perlu banyak tenaga yang akan dia keluarkan di pagi hari seperti ini.

"Heh Chana, sudah subuhan belum? Jangan dulu tidur." Sepertinya Chana masih kelelahan sehingga langsung memilih merebahkan diri di tempat tidur.

"Aku gak solat Ren. Oh ya makasih udah bawain." Rena mengangguk dan keluar. Ia akan memeriksa kamar Naila yang tepat berada di sebelah kamar Chana. Rena ingin memastikan jika temannya yang satu lagi sudah bangun atau masih sibuk dengan bantalnya.

Benar saja, Naila masih tidur dengan selimut menutupi seluruh tubuhnya.

°°°°

Pukul delapan lewat menit Rena keluar dari kamar sembari mengucek matanya. Dengan langkah linglung dia melihat Naila yang duduk di depan televisi namun matanya fokus ke arah ponsel. Saat hendak ke WC untuk cuci muka dan gosok gigi, Rena melihat Chana yang sibuk di dapur. Chana sepertinya sudah mendapat energi kembali bahkan ia sudah berkutat di dapur.

Setelah selesai dia segera menghampiri Naila yang masih anteng menonton televisi. Dengan gerakan halus Rena mengambil satu buah keripik pisang dari plastik yang di genggam Naila.

"Astaga Rena ngagetin aja. Btw udah bangun?"

"Makanya jangan ngelamun terus," ujar Rena kembali mengambil keripik pisang.

Teng!

Suara mesin penanak nasi mereka berbunyi, tanda bahwa nasi sudah matang. Chana juga sudah kembali dari dapur dan membawa satu piring ayam goreng. Rena menduga itu pasti di bawanya dari rumah.

"Ayo makan, udah mateng kan nasinya?" ajak Chana memilih duduk di bawah dan mulai menanak nasi.

"Enak banget gak sih kalau tiap hari makan begini. Kemarin ikan sekarang ayam. Makasih ya kalian berdua." Naila terharu.

"Bersenang-senang dulu kita. Siapa tau nanti kita kita makannya telor lagi-telor lagi."

Rena tertawa dengan ujaran Chana. Memang ia dan Naila kemarin membeli telur dan satu papan tempe.

"Kalau akhir bulan kita beli mie."

Sontak Naila dan Chana tertawa mendengar perkataan Rena barusan. Untung saja kontrakan mereka terdapat kulkas sehingga makanan bisa awet. "Ikan pepes kemarin juga masih ada loh. Nanti siang kita angetin aja."

"Bagus!" tiga gadis itu lalu mulai makan ditemani siaran tv selasa pagi.

°°°°

Sinar matahari sudah mulai meredup pada jam lima. Ketiga gadis itu sedang menonton film ditemani berbagai camilan yang yang dibawa Chana sebelumnya. Kini keripik pisang berganti dengan keripik singkong. Ternyata Naila memiliki banyak koleksi film mulai dari animasi hingga film hollywood. Namun yang menonton dengan serius hanya Rena dan Chana, selain karena Naila sendiri sudah pernah menontonnya gadis itu masih sibuk dengan ponselnya entah melakukan apa.

"Eh katanya form perwalian kita harus di tanda tangan dosen lalu diserahkan ke TU." Buka Naila saat membacakan satu buah chat di grup jurusannya. "Terus katanya mending semester ini jangan dulu ambil matkul luar. Semua matul mayor harus diambil dulu. Minor di semester depan aja. Ini saran Reza."

Chana mengalihkan pandangannya mencoba melihat sendiri isi chat grup tersebut. Sementara Rena memilih mendengarkan informasi dari dua temannya.

"Dosen ku juga kemarin gak nyaranin ambil minor semester ini sih. Semester depan aja pas agak kosong."

"Sama, Ren." Chana turut menanggapi. Ia juga telah menyelesaikan perwaliannya siang tadi dan lebih cepat dari jadwalnya semula. "Aku rencana ambil 21 sks sembilan matkul," imbuhnya.

"Aku juga ambil 21 kalau gak salah. Semua matkul semester ini ambil semua. Oh iya Chana, aku sama Naila udah nyusun jadwal. Ayo samain semua." Rena beranjak dari duduknya menuju kamar. Sesaat kemudian dia membawa sebuah binder dan membolak-balik halamannya.

"Iyalah, kita samain. Ini ada jadwal tiga gini berarti beda kelas gitu? Ooh kemungkinan kita war itu kelas aja. Ada kelas praktikum yang jadwalnya di bagi 3."

Mereka bertiga sibuk membahas grup percakapan kelas sembali mencocokan jadwal mereka sendiri. Film yang mereka tonton sebelumnya terlupakan begitu saja.

"Ren, fotoin jadwal yang kita bikin deh, di grup ada yang minta jadwal." Pinta Naila. Rena pun mengambil ponselnya kemudian mengirim susunan jadwal mereka ke grup kelas.

"Form perwalian dikirim kapan, ya?"

"Kalau form perwalian sih dikumpul saat masuk. Kalau perwalian sesegera mungkin," jawab Naila membaca chat di grupnya. Kebetulan pertanyaan Rena ini sama dengan pertanyaan temanya yang lain.

"Eh ini kata Mahesa kita bisa kok isi KRS duluan kalau belum perwalian offline. Asal centang aja keteranganya." Baca Naila lagi.

"Bagus tuh bagi mahasiswa yang dosennya susah dihubungi," tutup Rena.

°°°°°

Berbeda dari kediaman ketiga gadis tadi, di sebuah kontrakan lain yang lokasinya cukup jauh terdapat seorang pemuda yang melangkah masuk ke dalam. Dirinya langsung disambut dengan berbagai nyanyian yang mengalun melewati telinga. Sebenarnya ini bukan penyambutan hanya saja teman satu kontrakannya itu menang senang bernyanyi diiringi gitar.

"Nah si Mahe sudah datang..." sambut dua orang dari mereka. Lelaki yang dipanggil Mahe tadi langsung menyimpan dua kresek putih di lantai.

"Pesanan kalian. Gila woi ngantri banget masa. Untung gue sama Haikal datangnya gak sore banget," keluhnya singkat.

"Makanya gue sama si Rian ogah keluar," sahut lelaki yang sejak tadi memetik gitarnya bak penyanyi profesional.

"Makasih ya Mahe, duh jadi enak," kata lelaki lain yang tadi dipanggil Rian. "Apalagi kalau gratis."

"Boleh aja sih, pake duitnya si Haikal ini."

Mereka mulai membuka bungkusan nasi padang yang di baru saja di beli. Saking buru-buru karena lapar salah satu dari mereka bahkan keselek.

"Minum nya mana nih? Teh manis weh." Faizal, lelaki bergitar tadi berujar singkat.

"Makanya, Sal, kalau makan tuh bismilah bukannya grasak grusuk." Haikal muncul membawa sekantong besar es teh manis. Dia baru saja kembali setelah memarkirkan motornya.

"Hah.. tau gak rasanya udah bakal mati aja," Faisal terbatuk sambil menepuk dada.

"Kasian banget kalau mati mana masih muda." ujaran itu ditanggapi dengan tertawa oleh pemuda disana, ya terkecuali Faizal atau Isal.

"Abis ini nyusun jadwal gas gak nih?" ajak lelaki pertama yang tadi membawa bungkusan Nasi padang, Mahesa.

"Gue belum perwalian. Gimana dong?" tanya Rian, lelaki yang sejak tadi bernyanyi dan bermain gitar bersama Isal.

"Ya makanya lo cepet perwalian. Salam salam sama dosen.

"Males ah, lagian lo bilang kita tetap bisa KRS an meski gak perwalian. Ya gak, Yan?" Isal lagi lagi meminta persetujuan Rian.

"Lo sendiri yang bilang. Males ketemu dosen," tambah Rian.

Mahesa geleng-geleng kepala. Ia menyesal mengatakan jika boleh mengisi KRS tanpa perwalian.