"OK! Regresamos a México, pero no liberaremos a los rehenes hasta que tengamos el helicopter," tegas Rodrigo kepada mereka.
Sikap Rodrigo hanya dijawab dengan anggukan kepala. Tidak ada reaksi kegembiraan dari para teroris yang lain. Sambil terus menyiagakan senjata, Rodrigo pun berjalan ke meja petugas bandara di ruangan keberangkatan internasional itu. Diaktifkannya peralatan audio-system yang ada di situ dan ia menjawab tawaran dari pihak negosiator pemerintah Amerika Serikat.
Sambil menyiapkan peralatan audio-system, Rodrigo bersiul memanggil beberapa anak buah. Jari tangan menunjuk ke para sandera dan memberi isyarat untuk dibawa ke dekatnya berdiri. Melihat isyarat itu, anak buah Rodrigo Nuno segera menarik beberapa sandera agar berdiri. Termasuk di antaranya, Paramitha.
"Alineas los rehenes aquí!"
Rodrigo Nuno menunjuk ke lantai di depan meja petugas bandara, tempat ia sedang mengaktifkan peralatan audio-system. Para anak buahnya pun mengikuti dan membariskan para sandera dengan posisi berjongkok menghadap ke arah dinding kaca gedung. Wajah ketakutan para sandera, tidak menyurutkan hati para teroris menjadi kasihan. Mereka berdiri di belakang dengan mengarahkan moncong senjata ke kepala.
Rodrigo Nuno menepuk-nepuk corong microphone beberapa kali dengan ujung jari. Merasa puas dengan volume suara yang dihasilkan, dengan tali yang disampirkan ke bahu ia berjalan sambil mengarahkan senjata api laras panjangnya ke depan. Berhenti di belakang salah seorang sandera, sang pemimpin teroris mengarahkan microphone yang dipegang ke dekat mulut.
"No estamos aquí para jugar! Pedimos demandas y deben cumplirse. De lo contrario, los rehenes que retenemos serán asesinados!"
Sambil bicara, kedua mata Rodrigo Nuno menatap tajam ke sebuah kelikopter yang sedang terbang di depan gedung. Mengarah ke dinding kaca di lantai di mana para teroris sedang membariskan sandera.
"Suelten a Domingo el Blanco ahora, nos dan un helicóptero para regresar a México!"
Kembali Rodrigo Nuno berbicara. Kali ini, ia menurunkan senjata laras panjang dan mengambil sebuah pistol dari balik baju. Dengan mengokang, kedua mata sang pemimpin teroris itu terus tertuju ke helikopter yang sedang terbang di depan dinding kaca lantai di mana ia dan para anak buah sedang membariskan sandera. Perlahan, pistol diturunkan dan mengarah ke kepala sandera yang berjongkok di depannya.
"Una vez más! De lo contrario, los rehenes que tenemos serán asesinados! Como este, por ejemplo!"
Dor!
Baru saja Rodrigo Nuno selesai bicara, tiba-tiba terdengar suara letusan senjata api. Orang yang berjongkok di depannya pun tiba-tiba terjatuh tersungkur ke depan. Dengan wajah yang membentur lantai, kepala sandera itu mengalirkan darah segar. Sontak para sandera perempuan yang lain menjerit ketakutan.
Paramitha yang berada di baris para sandera yang akan dieksekusi itu, berteriak sambil menutup mata. Saat Rodrigo Nuno bergerak ke samping sambil mengokang kembali pistolnya, terdengar suara dari pihak kepolisian.
"Rodrigo Nuno, stop killing the hostages! Put down your gun and talk without killing! We are preparing the helicopter you ask for. Domingo el Blanco is now transferred into the building! Stop killing the innocent people!"
---
Jalan menuju luar bandara memang panjang. Walau waktu menunjukkan hampir tengah malam, tidak menyurutkan rasa penasaran yang besar dari masyarakat kota New York untuk mengetahui perkembangan situasi di bandara. Sepanjang jalan itu, dipenuhi mobil yang diparkirkan. Masyarakat kota New York berdiri di samping mobil mereka sambil memandang ke arah gedung bandara. Di antara keramaian itu, berbagai stasiun TV sedang melakukan reportase siaran langsung.
"Bang Yoga!"
Tiba-tiba terdengar suara Rangga memanggil. Ia berdiri di dekat kru sebuah stasiun TV yang mengadakan reportase siaran langsung. Melihat Rangga memanggil sambil melambaikan tangan, Prayoga mendekati ke situ. Bisma yang penasaran dengan panggilan Rangga, menaikkan kembali carrier bag ke punggung. Ia berjalan tergesa-gesa, mendekati Prayoga dan Rangga yang sedang memerhatikan siaran langsung dari stasiun TV itu.
"At this crucial moment, in a very terrific situation, De la Cochoya Cartel once again announce their intension. They press the Government of United States to release their leader, Domingo el Blanco. Now, they are going to execute the hostages ...."
Belum selesai kata-kata reporter stasiun TV itu, Prayoga yang melihat Paramitha berada di antara para sandera yang akan dieksekusi oleh para teroris itu, berteriak sambil menepuk-nepuk lengan
"Paramitha, Rangga! Paramitha akan ditembak mati! Aku harus bergerak sekarang! Aku harus masuk ke sana sekarang!"
Rangga. semua orang di sekitar situ, menoleh dan memandang heran. Rangga dan Bisma hanya terdiam seribu kata. Mulut tercekat tidak bisa mengatakan apa-apa, hanya terpelongo memandang layar kaca di dekat si reporter yang sedang menayangkan siaran langsung. Orang-orang yang berada di situ, kelihatan menyadari keadaan Prayoga. Mereka saling berbisik sambil memandangi Prayoga dan layar TV bergantian. Menyadari dirinya berada keadaan terdesak dan harus segera mengambil tindakan, Prayoga segera menepuk kembali lengan Rangga.
"Rangga, aku harus masuk ke sana. Aku harus menolong Paramitha! Bantulah aku!"
Tidak sanggup menjawab perkataan Prayoga, Rangga hanya menoleh ke arah Bisma. Sang teman yang juga membawa peralatan memanjat, membalas pandangannya dengan mengangguk. Dengan tersenyum mengiyakan, Rangga pun menganggukkan kepala menatap sang pendaki yang kini sedang dilanda kepanikan yang luar biasa itu.
"Baiklah, Bang Yoga. Yuk, Bisma!"
---
Berbekal ingatan akan papan penunjuk arah bandara yang dilihat, dalam kegelapan malam di salah satu sudut area bandara kota New York, tiga orang laki-laki mengendap-endap mendekati pagar berkawat yang memisahkan landasan pacu dengan sebuah lapangan terbuka. Dengan cepat, Rangga mengeluarkan sebuah pemotong rantai besi dari dalam tas peralatan yang ia bawa. Begitu terputus, bergegas ia dan Bisma membuka lebar. Namun pagar kawat besi itu tidak mudah untuk ditarik sehingga mau tidak mau, Rangga kembali memotong agar bisa terbuka lebar.
Selesai melewati pagar kawat, ketiga orang laki-laki itu berjalan menuju ke sebuah gedung terdekat. Beruntung, sebuah papan penunjuk arah kembali mereka temui. Dengan tetap memanggul berbagai peralatan memanjat, Rangga dan Bisma terlihat kesulitan berjalan cepat-cepat. Prayoga yang bahu dan punggungnya masih terbalut perban, pun berjalan mengikuti langkah kedua temannya itu. Di sebuah pertigaan jalan di dalam area bandara, Prayoga dan kedua temannya berhenti. Mereka mengamati sinar cahaya yang berkelebatan di sekitar sebuah gedung.
"Di sana gedungnya, Bang Yoga," kata Bisma.
"Ya. Aku harus masuk ke dalam gedung itu, Bisma. Berarti, aku harus memanjat masuk."
Prayoga menganggukkan kepala, mengiyakan perkataan Bisma. Rangga yang mengamati punggungnya, mencoba mengetahui kesiapan sang pendaki.
"Luka di bahu dan punggung? Apa sudah siap, Bang Yoga?" tanya Rangga.
Tidak menjawab dengan kata-kata, Prayoga hanya tersenyum menoleh ke arah Rangga. Kembali ia menatap gedung yang ramai disorot dengan cahaya dari kendaraan dan helikopter polisi itu. Wajah dikeraskan dan dengan mengepalkan tangan, Prayoga menepuk lengan Rangga.
"Yuk, temani aku ke sana."
---
Dinding beton gedung yang dituju Prayoga, Rangga dan Bisma itu berwarna terang. Di sebelah dinding beton itu menjulang dinding dari kaca yang berwarna gelap. Beberapa lampu sorot pelacak yang dipasang di mobil kepolisian kota New York, memancar terang ke dalam gedung bandara. Efek silau akibat sinar yang sangat terang itu, menyebabkan area lain dari bandara menjadi terlihat gelap. Sambil berjalan, Prayoga mengamati keadaan beton dnding dan kontur bangunan.
Sesampai di gedung yang dituju, mereka memilih dinding yang gelap untuk tempat berlindung dari sorotan cahaya yang berkelebatan. Rangga dan Bisma yang memanggul carrier bag segera menurunkan bawaannya. Dengan cepat Bisma mengeluarkan sejumlah peralatan dari dalam. Karamantel dan webbing pun segera ia pasangkan ke tubuh Prayoga. Rangga pun menyiapkan beberapa peralatan yang ia letakkan di lantai.
"Di lantai atas itu katanya reporter siaran langsung tadi, para teroris memindahkan sandera," bisik Prayoga sambil mendongak ke atas.
"Dinding kaca yang nanti Abang mo lewati. Berbahaya kalo pake sepatu yang begitu. Kalo bisa pake yang ini aja, Bang."
Rangga menyodorkan sepasang sepatu karet dengan perekat di tapaknya, kepada Prayoga. Sepasang alat perekat yang dipasangkan di tangan juga, ia serahkan untuk dipakai. Sambil membiarkan sang pendaki melengkapi diri dengan peralatan, Rangga mengencangkan karamantel yang dikaitkan ke webbing, yang sudah dipasangkan Bisma ke tubuh Prayoga. Lalu, dengan cepat pula karamantel itu dipanjangkannya di lantai yang tertutup ubin. Setelah dipasangkan webbing dan terkait dengan karamantel, dengan kembali mengendap-endap Prayoga merangkak ke kanan-kiri dinding untuk mencari titik memulai pemanjatan. Sambil menyeret carrier bag dan tas lain yang dibawa, Rangga dan Bisma pun menyingkir ke tempat gelap.
Dari kejauhan, suara sirene kendaraan polisi terdengat di mana-mana. Di atas bandara, beberapa helikopter polisi terbang melintas. Suara baling-baling dan mesin helikopter itu terdengar riuh. Saat cahaya lampu sorot terang dari helikopter melintas ke sekitar dinding itu, Prayoga bergegas merunduk.
Tiba-tiba Prayoga membalikkan badan ke arah Rangga dan Bisma. Satu tangannya melambai untuk memberi kode.
"Karet kaca! Ambilkan!"
Prayoga berbisik sambil menunjuk ke peralatan yang tadi sudah dikeluarkan Rangga dari dalam tas peralatan. Bisma bergegas mengambil karet kaca yang sudah diletakkan Rangga di lantai. Dua buah benda bundar berwarna hitam, dilemparkan ke arah Prayoga. Benda bundar hitam yang terbuar dari karet itu, dipasang di telapak tangan untuk ditempelkan ke dinding kaca saat memanjat.
Kemudian, Prayoga beringsut ke dinding gedung yang terbuat dari kaca berwarna gelap. Perlahan Prayoga menegakkan badan. Kedua telapak tangannya ditekankan kuat-kuat ke dinding kaca yang berwarna gelap itu. Saat satu telapak tangan diyakini sudah melekat kuat di dinding, Prayoga melepas satu tangan yang lain. Dengan susah payah mengangkat badan, ia menempelkan telapak tangan itu ke dinding kaca di atasnya. Terlihat Prayoga sangat kesusahan mengangkat badan dan meraih dinding kaca di atasnya. Luka di bahu dan punggung membuatnya meringis menahan sakit. Namun, perlahan ia semakin tinggi naik sekarang. Gelapnya warna kaca, menyamarkan pergerakan Prayoga.
---
"Di sebuah siaran langsung, secara tak sengaja memperlihatkan wajah istrinya atlet panjat tebing kita di Shiprock itu, Pak Dubes. Ini istrinya Pak Prayoga si atlet itu, yang ada di sebelah Rodrigo Nuno."
Staf kedutaan Indonesia yang mengurus rumah sakit Prayoga dan teman-teman menunjuk ke tayangan di layar TV. Di video rekaman yang sedang diputar di ruang meeting kedutaan itu, tampak Paramitha berdiri di samping Rodrigo Nuno saat menyampaikan tuntutan ke pemerintah Amerika Serikat.
"Kog dia bisa ada di Amerika Serikat? Ini video dari mana?" tanya Duta Besar.
Atase Militer dan beberapa staf lain Kedutaan Indonesia yang ada di ruangan meeting menyaksikan video itu, serentak menoleh ke arah si staf. Mereka mengernyit seakan berpikir yang sama dengan Duta Besar.
"Istrinya Pak Prayoga itu menghubungi saya, menanyakan kabar si suami waktu badai tornado di San Jose tempatnya memanjat. Trus datang ke sini untuk melihat keadaannya. Ternyata, mungkin pas nyampe, kejebak sabotase di bandara itu," kata si staf menjelaskan.
"Kalo video ini, saya dan staf IT rekam sendiri dari siaran langsung pas kejadian. Saya juga minta rekamannya ke stasiun CN-En, karena mereka yang melakukan wawancara dengan Rodrigo. Waktu siaran langsung itulah, tak sengaja pula Pak Prayoga melihat ada istrinya di situ," katanya lagi melanjutkan.
Duta Besar tercengang mendengar kata-kata si staf. Ia mengangguk-anggukkan kepala, mencoba memahami. Kemudian, pandangannya beralih ke Atase Militer.
"Gimana kemungkinan keberhasilan operasi SWAT di bandara itu, Pak Atase Militer?" tanya Duta Besar.
Belum sempat menjawab, sebuah suara panggilan masuk ke telepon genggam si Duta Besar. Satu tangannya terangkat, saat dilihat siapa yang menghubungi. Lalu, si Duta Besar berjalan ke jendela dan menerima telepon di situ.
---
Bersambung
Terjemahan:
"OK! Regresamos a México, pero no liberaremos a los rehenes hasta que tengamos el helicopter,"
"Oke! Kita kembali ke Meksiko, tapi kita tidak akan melepaskan sandera sampai kita dapat helikopternya,"
"No estamos aquí para jugar! Pedimos demandas y deben cumplirse. De lo contrario, ¡los rehenes que retenemos serán asesinados!"
"Kami di sini bukan untuk bermain-main! Kami membuat tuntutan dan itu harus dipenuhi. Jika tidak, para sandera yang kami tahan akan dibunuh!"
"Suelten a Domingo el Blanco ahora, nos dan un helicóptero para regresar a México!"
"Lepaskan Domingo el Blanco sekarang, beri kami helikopter untuk kembali ke Meksiko!"
"Una vez más! ¡De lo contrario, los rehenes que tenemos serán asesinados! Como este, por ejemplo!"
"Sekali lagi! Kalau tidak, para sandera yang kita miliki akan terbunuh! Seperti yang ini, misalnya!"
"Rodrigo Nuno, stop killing the hostages! Put down your gun and talk without killing! We are preparing the helicopter you ask for. Domingo el Blanco is now transferred into the building! Stop killing the innocent people!"
"Rodrigo Nuno, stop membunuhi para sandera! Letakkan senjatamu dan bicaralah tanpa membunuh! Kami sedang mempersiapkan helikopter yang kamu minta. Domingo el Blanco sekarang sedang dipindahkan ke dalam gedung! Berhenti membunuh orang-orang yang tidak bersalah!"
"At this crucial moment, in a very terrific situation, De la Cochoya Cartel once again announce their intension. They press the Government of United States to release their leader, Domingo el Blanco. Now, they are going to execute the hostages ...."
"Pada saat yang genting ini, dalam situasi yang sangat mengerikan, Kartel De la Cochoya sekali lagi mengumumkan tuntutan mereka. Mereka menekan Pemerintah Amerika Serikat untuk membebaskan pemimpin mereka, Domingo el Blanco. Sekarang, mereka akan mengeksekusi para sandera ...."