webnovel

Terbongkar

Adnan kembali ke rumah yang ia bersama Naura setelah beberapa hari memilih menginap di hotel.

"Aku kira kamu lupa jalan pulang," sindir Naura.

"Jangan memancingku, Nau."

"Kamu mau makan malam?" Naura mencoba berbaik hati menawarkan suaminya makan.

"Ya."

"Baiklah, akan segera aku siapkan." Naura menuju dapur untuk membuatkan Adnan makanan.

Setelah makanan siap, ia memanggil Adnan untuk makan malam bersamanya.

"Aku tak tahu kamu bisa memasak. Terima kasih."

Adnan sepertinya mulai melunak, sebaiknya Naura tak memancing amarahnya lagi jika ingin rencananya malam ini berhasil.

"Silahkan dicicipi."

Naura memasak ayam teriyaki dan tumisan sayur serta menyiapkan jus jeruk untuk suaminya itu.

"Hm ... enak," puji Adnan setelah mulai mengunyah masakan Naura.

Makanan habis dan Adnan meminum jus buatan Naura. Hal itu membuat Naura tersenyum menang.

Lima belas menit kemudian, Adnan merasa ada yang aneh pada tubuhnya. "Gerah sekali, Naura. Apa AC nya tidak nyala?"

"Nyala kok," jawab Naura singkat. Dia mendekat dan berbisik pada Adnan. "Aku tunggu di kamar ya."

Adnan merasa merinding dibisiki oleh Naura sedekat itu. Dia bangkit dan segera menyusuli istrinya ke kamar.

Tanpa aba-aba Adnan menyerang Naura hingga terjatuh di ranjang. Tubuhnya terasa panas dan menuntut hasratnya segera tuntas.

Naura tentu sudah menduga hal ini dan tak melakukan perlawanan sama sekali. Ia memang menaruh obat perangsang pada minuman suaminya.

Tak ada cara lain. Jika bukan dengan ini, Adnan tak pernah mau menyentuhnya dan dia tak bisa segera hamil. Naura ingin kehamilannya membuat Adnan terus tinggal disisinya.

Baik Adnan dan Naura tertidur karena kelelahan. Sampai dini hari Adnan terbangun dengan kepala yang terasa berat. Dia melihat bercak darah di sprei.

"Nau, Naura. Bangun!" Adnan menggoyang-goyangkan tubuh Naura.

"Ada apa sih, Ad? Aku masih mengantuk." Naura mengerang malas.

"Darah ... ada darah, Nau!" Adnan menunjuk pada bercak darah yang ada di sprei.

Mata Naura membulat seketika, ia pun menggigit bibirnya gugup.

Adnan ingat ia melakukannya dengan Naura beberapa jam yang lalu. Tapi bukankah Naura mengatakan waktu itu mereka melakukannya hingga Naura hamil?

"Ka-kamu ... bukannya kamu hamil? Lalu apa ini?!" desak Adnan.

Naura sudah terpojok, dia tidak mengantisipasi hal ini. Ia masih diam tak berani menjawab Adnan.

"Jawab Naura!" bentak Adnan.

"A-aku ... aku ...." Mata Naura sudah mengabur sekarang karena air memenuhi matanya. "Maafkan aku, Ad."

"Jelaskan sekarang, Naura!" Adnan benar-benar sudah habis kesabarannya.

"Malam itu sebenarnya tidak terjadi apapun. Aku hanya ingin memilikimu makanya aku menjebakmu. Aku mencintaimu, Ad! Aku tidak rela kamu menikah dengan Fatimah," ucap Naura terbata-bata karena takut, ia bahkan tak berani menatap Adnan.

"Astaghfirullah, Naura. Kamu menjebakku?!"

"Tapi kita benar-benar sudah melakukannya sekarang, Ad. Aku sudah memberikan hal yang paling berharga yang aku miliki padamu! Kamu tidak akan menceraikan aku kan?" Naura akhirnya menatap Adnan dengan berlinangan air mata.

Adnan benar-benar tak menyangka Naura menjebaknya agar menikah dengannya dengan cara seperti ini. Naura tidak hamil, bahkan belum pernah tersentuh sebelum malam ini.

"Naura, aku benar-benar tak habis pikir. Kamu menghancurkan impianku menikah dengan wanita yang aku cintai!" ujar Adnan frustasi. "Pantas saja aku tak bisa mengingat apapun malam itu!"

Adnan dilema. Dia senang Naura ternyata tak hamil, namun dia juga sudah melakukan hubungan suami-istri dengan Naura. Sah-sah saja karena memang mereka suami-istri yang sah di mata agama dan negara. Tapi Adnan tak mungkin menceraikan Naura begitu saja setelah ia mengambil kehormatan wanita itu.

"Jangan ceraikan aku, Adnan," pinta Naura lirih.

Adnan segera turun dari tempat tidur dan mengenakan pakaiannya.

"Ad, kamu mau kemana?" tanya Naura panik.

"Aku mau tidur di kamar lain." Tanpa menoleh Adnan melanjutkan langkahnya meninggalkan kamar.

"Bodoh!" rutuk Naura pada dirinya sendiri.

Harusnya dia tahu dan bangun sebelum Adnan sadar untuk membersihkan atau menutupi noda di sprei.

"Semoga dengan hubungan kami malam ini, aku benar-benar bisa hamil."

Naura tidak tahu lagi harus bagaimana jika ternyata dia tak hamil, maka Adnan mungkin benar-benar akan segera menceraikannya dan kembali pada Fatimah.

***

[Adnan : Fatimah ... Naura menjebakku.]

[Adnan : Aku dan Naura tidak melakukan apapun malam itu. Dia juga sebenarnya tidak hamil.]

[Adnan : Aku akan segera menceraikannya, kembalilah padaku.]

[Adnan : Kamu tidak benar-benar ada hubungan dengan Radinka, kan?]

Fatimah membaca pesan yang Adnan kirimkan dan menutup wajahnya dengan satu tangannya.

Tiba-tiba ponsel yang ia genggam di satu tangannya yang lain direbut seseorang.

"Radinka! Kembalikan!" Fatimah panik dan langsung berjinjit mencoba merebut ponselnya pada Radinka.

Tentu saja Fatimah tak dapat meraihnya karena Radinka mengangkat tangannya tinggi, dan tinggi badan Fatimah tak dapat mengimbanginya.

"Kamu membaca pesan siapa sampai terlihat frustasi seperti tadi?"

Fatimah menggigit bibirnya. "Bukan pesan penting."

"Oh ... coba kita lihat pesan tidak penting itu." Radinka hendak melihat ponsel Fatimah.

"Jangan, Radinka! Kembalikan ponselku!" larang Fatimah dan meminta ponselnya dikembalikan.

"Kamu menyembunyikan sesuatu dariku?" tuduh Radinka.

"Tidak, bukan ... maksudku ...." Fatimah seperti tertangkap basah masih berhubungan dengan mantannya oleh kekasihnya.

Radinka tak sabar menunggu jawaban Fatimah dan membaca pesan di ponsel pacarnya itu. Senyum miring tercetak di bibir Radinka. Tanpa sadar tangannya menggenggam ponsel kuat-kuat karena kesal.

"Kamu tidak memblokir Adnan?" tanya Radinka menyelidik.

"Tidak ada alasan aku memblokirnya."

"Ada banyak, Fat. Kamu disakiti olehnya, kamu ingin melupakannya, dan kamu sudah punya kekasih sekarang. Untuk apa masih berhubungan dengan mantan?"

"Memangnya jika mantan tak bisa berteman?"

"Bagiku tidak bisa."

"Kenapa? Apa kamu tidak berteman dengan mantan kekasihmu?"

"Aku tidak punya mantan."

Pernyataan Radinka membuat Fatimah melongo tak percaya. "Benarkah?"

"Kamu tidak percaya padaku?"

"Melihat tampangmu aku ragu kamu belum pernah berpacaran."

"Tanya saja Jonathan jika kamu tidak percaya."

"Ehem." Tak diduga yang disebut namanya ada di belakang Fatimah dan Radinka. "Ada apa nih sebut-sebut namaku?"

"Panjang umur," cetus Radinka. "Fatimah tak percaya bahwa aku belum pernah pacaran, Jo."

"Fat, temanku ini memang tak pernah pacaran." Jonathan menjeda. "Tapi dia suka membuat hubungan tanpa status."

"Jo!" Radinka sudah dilambung tinggi, kini malah dijatuhkan.

Fatimah terkekeh mendengar penjelasan Jonathan. "Pasti banyak wanita yang mengejarnya bukan?"

"Ya. Jika kamu tak sanggup dengannya, denganku saja bagaimana? Tak banyak wanita yang mengejatku, bahkan sepertinya tidak ada. Karena Radinka memborong semuanya!" Jonathan melirik jengkel pada Radinka, karena semua wanita yang ia incar akhirnya malah menyukai temannya itu.

"Salahmu sendiri kenapa tidak tampan sepertiku, Jo!" balas Radinka tak terima.

Radinka bangkit dari duduknya dan hendak berjalan menuju kelasnya. "Fat, aku ke kelas dulu."

"Fatimah, aku sarankan kamu berhati-hati dengan Radinka," bisik Jonathan pada Fatimah, kemudian ia menyusul Radinka yang berjalan menjauh.

Fatimah mengerenyitkan kening tak mengerti apa maksud bisikan Jonathan. Namun bertanya pun tak bisa karena Radinka dan Jonathan sudah menjauh.