webnovel

Curhat Pada Ibu

Fatimah mencari dimana keberadaan Putri, hingga mengelilingi seluruh kampus yang luasnya tidak terkira itu. Tapi sayangnya ia tidak juga menemukan siluet yang ia cari, hati Fatimah pun terasa sesak.

'Ya Allah, kenapa jadi seperti ini? Pertemananku dan Putri sudah berjalan hampir 4 tahun, tapi kenapa semudah ini ikatan kami hancur? Hatiku benar-benar tidak bisa menerimanya, rasanya sangat sakit sekali Ya Allah.' batin Fatimah mencurahkan perasaannya.

Merasa tidak ada gunanya tetap di sana, Fatimah pun melangkah keluar dari area kampus dan kembali ke rumahnya. Sesampainya di rumah, Fatimah di sambut oleh sang ibu yang sedang melipat pakaian.

"Assalamualaikum." Salam Fatimah.

"Waalaikum sallam, sudah pulang? Tumben cepat." Jawab sang ibu pada Fatimah.

"Iya bu, hanya satu mata kuliah saja jadi pulang lebih awal." Balas Fatimah menjelaskan.

"Oh begitu, ya sudah makan dulu sana! Kamu pasti lapar kan?" Titah bu Ira pada putri semata wayangnya.

"Nanti saja bu, belum lapar." Jawab Fatimah tidak semangat.

Bu Ira menatap Fatimah dengan heran, tidak biasanya putrinya itu terlihat lesu seperti itu.

"Sepertinya kamu sedang ada masalah, mau cerita?" Tawar bu Ira pada Fatimah.

Fatimah menatap sang ibu ragu, lalu ia menunduk dan menghela nafas panjang.

"Ima ada masalah sama Putri bu, Putri tidak mau lagi berteman dengan Ima." Jawab Fatimah dengan sedih.

"Kenapa begitu? Kamu berbuat salah?" Tanya Ira dengan tenang.

Fatimah menggeleng pelan, lalu ia pun menjelaskan akar masalahnya dengan Putri.

"Ima tidak tau salah atau tidak, tapi yang pasti semua ini karna senior laki-laki di kampus. Jadi Putri itu menyukai salah satu senior yang bernama Ali, dan rasa sukanya itu sudah sejak awal kita datang ke kampus bu. Tapi ternyata kak Ali tidak menyukai Putri, dan malah menyatakan perasaannya pada Ima. Saat itu Ima benar-benar shock dan tidak menjawab apapun, di sisi lain ternyata Putri melihat dan mendengar semua pernyataan kak Ali pada Ima. Dan Putri pun marah, lalu dia memutuskan hubungan pertemanan kita karna hal itu. Sebenarnya Ima salah atau tidak ya bu? Ima benar-benar merasa bersalah pada Putri, karna kesannya Ima seperti mengkhianati Putri bu." Jelas Fatimah dengan bingung pada bu Ira.

Bu Ira pun tersenyum geli melihat ekspresi Fatimah itu, benar-benar anak polos yang belum tau apa arti cinta dan sakit hati yang sebenarnya. Sedangkan Fatimah malah menekuk wajahnya saat tau sang ibu menertawakan dirinya, sangat menyebalkan menurutnya.

"Ibu, Ima serius." Protes Fatimah pada sang ibu.

"Iya, iya, maaf ya? Habisnya ibu gemas saja sama kamu, terlalu polos tentang hal seperti ini. Makanya banyak-banyak belajar, tapi ya jangan kelewatan juga." Jawab bu Ira mengingatkan.

Mendengar perkataan sang ibu, Fatimah langsung menatap bingung.

"Maksud ibu?" Tanya Fatimah dengan wajah polosnya.

"Sayang, menyukai seseorang itu tidak salah. Selama kamu bisa menjaga diri untuk tidak berbuat zina, perasaan itu boleh saja ada. Dan memang, masalah hati ini tidak mudah di selesaikan. Tapi nak, kamu jangan menyalahkan siapapun akan hal ini. Perasaan seseorang itu tidak bisa di tentukan oleh dirinya sendiri, semua itu takdir yang mengalir seiring berjalannya waktu. Kamu mengerti?" Jelas bu Ira pada Fatimah.

Fatimah terdiam, apa yang sang ibu katakan nyatanya bertolak belakang dengan yang ia pikirkan. Setelah masalah perdebatan dengan Putri kemarin, Fatimah selalu berpikir jika Ali lah penyebab dari semuanya dan ia mempercayai hal itu hingga saat ini. Tapi mendengar perkataan ibunya, Fatimah jadi ragu dengan pemikirannya itu. Karna benar juga, perasaan seseorang kan tidak di tentukan dirinya sendiri. Melainkan takdir, yang meyakinkan seiring berjalannya waktu.

"Sepertinya Ima sudah salah paham akhir-akhir ini, Ima selalu berpikir jika kak Ali lah yang menjadi sebab semua masalah Ima dan Putri." Ungkap Fatimah sambil menunduk bersalah.

"Nah, kamu jadi suudzon tuh sama senior kamu. Dengar ya nak, kamu harus mengerti jika perasaan itu adalah anugrah indah yang tuhan berikan untuk umat manusia. Kamu tidak boleh menyalahkan seseorang karna perasaannya, justru kamu harus menghargai perasaan mereka selama mereka tidak melebihi batasan yang di tentukan syariat. Jadi ibu harap kamu tidak lagi menyalahkan siapapun, kalaupun Putri memilih menjauh karna hal itu kamu hargai keputusannya. Karna melupakan perasaan yang tidak sampai itu memang sulit, jadi biarkan dia menerima kenyataan dan tidak lagi mengharapkan orang itu." Balas bu Ira menekankan.

"Iya bu, Ima paham." Jawab Fatimah dengan anggukannya.

"Bagus kalau begitu, sudah sana kamu makan dulu. Ibu tau kamu sudah lapar, jangan lupa habis itu bersih-bersih terus solat ya?" Titah bu Ira pada Fatimah.

Fatimah mengangguk setuju, karna memang perutnya juga tiba-tiba jadi sangat lapar. Padahal sebelumnya ia merasa kenyang, tapi saat bercerita dengan sang ibu perutnya malah menjadi kosong seketika. Entah apa yang sebenarnya terjadi, tapi yang pasti Fatimah langsung melakukan apa yang ibunya perintahkan.

Sebelum makan, Fatimah lebih dulu membersihkan diri lalu sholat dan berganti pakaian. Setelah selesai baru ia melangkah ke ruang makan, di sana sang ibu sudah menunggu dan mempersiapkan peralatan makan untuk mereka semua.

"Sudah sholatnya?" Tanya bu Ira pada Fatimah.

"Sudah bu." Jawab Fatimah langsung.

"Ya sudah, sini duduk! Kita makan siang bersama, ibu juga sudah lapar." Titah bu Ira.

"Iya bu." Jawab Fatimah menurut.

Fatimah pun duduk di salah satu kursi makan, di susul bu Ira setelahnya. Lalu mereka mengambil porsi makannya masing-masing, setelah itu menyantapnya bersamaan.

"Wah, masakan ibu memang yang terbaik deh." Puji Fatimah pada bu Ira.

"Alhamdulillah kalau begitu, ayo habiskan." Balas bu Ira dengan senyumnya.

Fatimah mengangguk paham, lalu ia melanjutkan makan siangnya dengan lahap. Hingga akhirnya beberapa saat kemudian, semua lauk pauk di meja itu habis.

"Alhamdulillah Ya Allah." Ucap Fatimah dan bu Ira.

Setelah selesai makan, Fatimah langsung merapikan meja makan itu dan mengumpulkan piring-piring kotor menjadi satu tumpukan. Lalu Fatimah membawa piring-piring itu ke wastafel dan mencucinya, selesai dengan itu ia kembali menemui sang ibu di ruang tengah.

"Oh iya nak, ada yang mau ibu katakan. Sini duduk, kita bicara dulu." Pinta bu Ira pada Fatimah.

Fatimah mengangguk paham, lalu ia menurut dan duduk di sofa sederhana dekat sang ibu.

"Mulai besok ibu akan berhenti mengambil pakaian tetangga untuk di cuci dan di setrika, karna ibu sudah mendapatkan pekerjaan di sebuah perumahan. Gajinya sangat lumayan, dan kerjaannya juga bantu-bantu seperti biasa. Jadi kamu harus terbiasa mandiri ya? Selama ibu di sana, bisa kan?" Jelas bu Ira pada Fatimah.