webnovel

Jejak Masa Lalu

"Jika kau ingin memulai hidup yang baru, lupakan bayangan masa lalumu!" Ya, kata itu memang sangat mudah diucapkan oleh semua orang termasuk diriku sendiri ketika menyadari untuk memulai kehidupan baru di masa depan. Tapi nyatanya...

Michella91 · Masa Muda
Peringkat tidak cukup
287 Chs

Berkata Mesum

Hubunganku dengan Choco masih berjalan seperti biasanya meski aku mulai canggung setiap kali berbicara dengannya dan itu semua karena aku terus memikirkan ucapan ibu.

Hari berganti hari, ucapan dan setiap perkataan Choco mulai tidak nyaman kudengar. Dia mulai cetus dan berbicara semaunya.

"Rose, Sayangku. Kapan kamu bisa datang kemari, ke rumahku?"

Aku tersentak mendengar pertanyaan itu via telepon darinya. Tentu saja, aneh bagiku. Kupikir dia akan mengerti keadaanku.

"Choco, kau tahu aku tidak mungkin datang kesana. Aku tidak pernah ke kota selama ini," sahutku menerangkan.

"Akh, kau norak sekali!" sahutnya mulai mencerca.

Ada apa dengannya malam ini? Bahkan nada bicaranya seperti orang mabuk saja.

"Kau, kau bilang aku norak?"

"Hahaha, aku hanya bercanda, sayang. Emmuach..."

Kembali aku terhenyak akan jawabannya yang kemudian di susul oleh kegenitannya itu.

"Rose..." panggilnya lagi.

"Hem?" jawabku singkat, sambil mencubit dan mengucek-ucek seprai bantal di pangkuanku.

"Kenapa kau menolakku saat ingin menyentuh bagian dadamu, padahal aku sangat ingin memainkannya."

Degh!

Sekujur darahku berdesir hebat mendengarnya.

"Choco, sepertinya kau sedang mabuk! Aku akan tutup teleponnya," jawabku dengan disertai bibir yang gemetar. Entah rasanya begitu sangat tidak nyaman, ada rasa ingin marah dan kesal ketika mendengar Choco bertanya demikian.

"Tidak, Rose! Jangan di matikan teleponnya, atau aku... Aku akan melakukan hal yang tidak akan pernah kau duga."

"Choco, kamu mabuk ya?" tanyaku sedikit lantang. Beruntung ini di kamar, suaraku tidak akan menembus tembok kamar.

"Ya, aku mabuk karena cintamu, mabuk karena merindukanmu, ah... Aku terus membayangkan ukuran dadamu sejak saat itu, aku ingin menyentuhnya."

Darahku kian semakin mendidih mendengarnya, ini sungguh menjijikkan. Aku tidak suka membicarakan hal ini, bahkan aku pun selalu menolak membicarakan hal ini dengan teman-temanku di sekolah, tapi Choco, kini...

"Rose, bolehkah aku meminta sesuatu padamu?" tanya Choco sebelum aku menjawab dengan tegas perkataannya tadi.

"A-apa?" tanyaku kian gemetaran hingga meremat ponselku yang menempel di telinga.

"Bisakah kau mere*** nya untukku, dan keluarkan suara manja layaknya mendesah, kau paham kan?"

Sungguh, aku tidak tahan lagi mendengar Choco yang berkata mesum demikian padaku.

Klik!

Aku mematikan segera panggilan telepon itu. Detak jantungku berdebar begitu kencang hingga deru napasku memburu diriku sendiri, membuatku terengah-engah.

Aku ingin mengumpatnya, aku ingin mencercanya, aku ingin... Aku ingin...

Akh, air mataku akhirnya tumpah yang sejak tadi membumbung.

Sungguh, aku seperti merasa apa yang dikatakan ibu adalah benar. Choco bukan laki-laki yang baik, bagaimana bisa, kami yang baru saja bertemu lantas berbicara mesum begitu. Dia begitu baik, tapi...

Drrrttt... Drrrttt...

Aku tersentak begitu ponselku kembali bergetar dan kulihat Choco mengirim pesan singkat padaku.

'Rose, maafkan aku. Aku hanya bercanda, apa kau marah? Please, jangan marah!'

Aku hanya membacanya dengan tangan gemetaran. Aku tak ingin membalas pesan itu, biarkan saja. Huh!

Aku kembali meletakkan ponsel lebih jauh dariku, rasanya sekujur tubuhku bergidik. Membayangkan apa yang Choco tadi katakan, aku akui. Aku memang sedikit kampungan dan gaya pacaranku, bukan seperti itu, bahkan ini pertama kalinya aku memiliki pacar yang benar-benar aku akui dengan hati.

Memang, sebelumnya aku sudah pernah berpacaran dengan banyak laki-laki. Dan hubunganku dengan beberapa diantara mereka tidak pernah berujung dengan baik. Dan kau tahu apa alasannya? Karena dia selalu berusaha menyentuhku lebih dari sekedar kecupan manis di keningku.

Tapi Choco, aku telah jatuh cinta padanya. Karena dia begitu lembut dan santun serta untuk menyentuh tanganku dia meminta izin, bukankah itu sangat manis?

Choco kembali menelpon, seakan tidak mau menyerah untuk terus meminta maaf padaku akan sikapnya tadi. Tapi aku masih belum siap kembali berbicara dengannya, aku sungguh takut.

~

Pagi pun tiba, aku sengaja membiarkan ponselku hingga mati karena kehabisan daya batrainya. Usai mandi dan mengenakan seragam sekolahku, aku bergegas keluar kamar.

"Rose, sarapan dulu!" sapa ibu begitu melihatku keluar dari kamar. Ibu baru saja dari ruang tengah menuju ruang dapur.

Aku hanya mengangguk tanpa menjawab dengan kata menanggapinya.

Ibu menyendok sepiring nasi goreng buatannya untuk sarapanku sebelum pergi ke sekolah pagi ini, dan tentu dengan segelas orange jus.

"Rose, semalam..."

"Bu, nasi gorengnya hari ini sedikit gosong kurasa." aku menyela perkataan ibu segera. Aku tahu apa yang akan ibu katakan, hari ini aku tidak mau mendengar ibu membahas perihal tentang Choco.

"Hei, kau ini. Ibu belum selesai bicara tapi kau sudah menyelanya," sahut ibu dengan kesal sambil menyendok nasi goreng ke mulutnya.

"Ah, iya. Ini nasi goreng kenapa rasanya sedikit gosong?" ucap ibu kebingungan.

"Apa aku bilang?" jawabku kembali menyela.

"Tapi tadi ayahmu bilang enak, bahkan dia menghabiskan satu piring nasi goreng buatan ibu."

"Mana berani ayah mengatakan tidak enak atau gosong, yang ada ibu akan mengomelinya," balasku sambil menyeruput segelas air putih di depanku.

"Kau ini..."

"Bu, aku berangkat ke sekolah." aku beranjak sebelum ibu kembali mengomel kepadaku.

"Eeeh, tunggu! Habiskan dulu jeruk hangatnya," sahut ibu sambil meraih segelas orange jus di atas meja makan dan menyodorkannya padaku.

Aku meraihnya segera dan benar-benar meminumnya. Ibu selalu menyebutnya jeruk hangat, tapi bagiku itu jus orange. Terkadang aku sulit membedakannya ketika selalu berdebat dengan ibu, tapi kali ini aku tidak akan berdebat dengannya.

"Aku berangkat ke sekolah dulu, Bu!" pamitku seraya menyalami tangan ibu dengan penuh hormat.

Aku berjalan menuju halte bus untuk menuju sekolahku. Perjalanan menuju halte bus dari rumahku memakan waktu 10 menit perjalanan, maka itu aku selalu bangun lebih pagi agar tidak terlambat ke sekolah.

Aku melangkah dengan sedikit cepat, dan di tengah perjalanan kulihat dari jauh kak Janet datang dari arah berlawanan mengendarai sepeda mininya.

"Pagi, Kak Janet!" sapaku padanya seperti biasa. Namun, dia cuek padaku bahkan tidak menjawabnya.

Ada apa? Tidak seperti biasanya, apakah Choco mengatakan sesuatu pada kak Janet tentang semalam? Sampai hari ini pun aku terpaksa tidak membawa ponselku ke sekolah karena masih kulakukan pengisian daya di kamarku.

Kulihat dari belakang, kuhentikan sejenak langkahku menatapnya yang terus mengayuh sepedanya tanpa menoleh sedikitpun lagi padaku.

Ya, aku tahu. Choco pasti sudah menceritakan semuanya padanya, sehingga dia juga marah padaku. Tapi itu bukan salahku, Choco berkata mesum padaku semalam.

Ini tidak adil!