webnovel

Jejak Masa Lalu

"Jika kau ingin memulai hidup yang baru, lupakan bayangan masa lalumu!" Ya, kata itu memang sangat mudah diucapkan oleh semua orang termasuk diriku sendiri ketika menyadari untuk memulai kehidupan baru di masa depan. Tapi nyatanya...

Michella91 · Teen
Not enough ratings
287 Chs

Ini tidak adil!

Sampai di sekolah, aku masih tetap memikirkan sikap kak Janet yang mengacuhkanku tadi.

"Rose, ada apa denganmu?" tanya salah satu temanku yang datang menghampiriku ketika aku sedang duduk melamun di kelas.

Aku memilih diam di kelas meski jam istirahat sedang berlangsung.

"Ameli, katakan padaku. Apakah aku salah jika marah pada Choco atas apa yang dia katakan padaku semalam di telepon?"

Temanku Ameli tampak mengerutkan keningnya menatapku heran.

"Semalam, Choco menelponku dan dia berbicara mesum padaku layaknya orang mabuk, dia memintaku mere*** dadaku, dan memintaku mengeluarkan suara desahan. Itu sangat gila!" jawabku menceritakannya pada temanku itu, tanpa rasa canggung sedikitpun.

"Pfffttt... Hahaha, hahaha..." sontak saja temanku itu tertawa geli bahkan berulang kali dia menghentikan tawanya namun tetap saja tidak bisa.

"Ameli, apakah itu lucu bagimu?" tanyaku kesal.

"Hahaha, ups... Maafkan aku, Rose! Aku tidak bisa menghentikan tawaku karena ini sungguh lucu, oh Tuhan. Kau sangat lugu, Rose. Aku tidak tahu kalau kan akan selugu ini, mengapa kau marah pacarmu berbicara mesum? Bukankah itu wajar? Lagi pula sudah kubilang, Choco anak kota. Tentu pergaulannya bebas, maka itu dia berbicara begitu."

Aku tertegun. Aku bahkan tidak tahu harus mengatakan apa lagi pada Ameli. Mengapa terkesan aku yang bodoh disini? Dia bilang itu wajar, ah tidak! Itu tidak bagiku!

"Tidak, Ameli. Aku tidak suka laki-laki yang berkata mesum begitu, aku jijik."

"Ayolah, Rose. Jangan norak, kita sudah dewasa, hello... Suatu saat kau juga akan melakukannya, ada baiknya sebelum kau menikah nanti kau harus mencobanya, hihihi..." Ameli semakin menggodaku saja.

"Ameli, kau menyebalkan!" aku memelototinya, sungguh. Lagi-lagi aku gemetaran, membayangkannya saja dadaku hampir saja meledak.

"Rose, cobalah mengerti. Aku rasa pacarmu itu hanya sekedar... Ehm, sedang masa pubertas, hihihi..."

"Berhenti menggodaku!" cetusku kian kesal.

Siang pun berlalu, aku sudah sampai di rumah dan duduk termenung di jendela kamarku. Sejak tadi aku hanya membolak balik ponselku yang sengaja belum aku aktifkan.

Sepintas aku kembali mengingat sikap kak Janet tadi. Sebaiknya aku berpura-pura lewat di depan rumahnya, semoga keberuntungan berpihak padaku sore ini. Aku bisa bertemu kak Janet dan berbicara padanya.

Aku bergegas ke luar kamar, kebetulan tak jauh dari arah rumah kak Janet ada sebuah toko khusus snack ringan. Aku akan berpura-pura belanja disana.

Dan benar saja, sebelum langkahku sampai di sebuah toko yang tadinya inginku hampiri, kulihat kak Janet duduk santai di depan rumahnya. Tampak dia sedang bermain dengan kucing peliharaannya, dia belum memiliki sorang anak meski sudah lama menikah.

Dengan berani aku segera menghampirinya, aku harus berani mengajaknya bicara sama halnya seperti waktu kemarin jauh sebelum aku mengenal Choco.

"Kak Janet..." panggilku setelah tiba di halaman rumahnya.

Dia menoleh, namun kembali menundukkan kepalanya bermain dengan kucing.

Yah, kali ini aku yakin dia sedang marah padaku.

"Kak, aku mau bicara," ujarku lagi dengan terbata-bata. Sejujurnya ini sulit, aku justru merasa ketakutan setelah tiba di dekatnya.

Sayangnya, kak Janet masih mengacuhkanku. Ini sungguh sedikit menyingguku.

"Kak, apa kakak marah padaku? Tapi apa salahku? Kenapa kakak tiba-tiba mendiamiku begitu?" tanyaku kembali. Kali ini aku sedikit menaikkan nada bicaraku.

Begitu mendengar banyak pertanyaan dariku, kak Janet akhirnya pun berdiri dan menatapku dengan kesal.

"Kau masih bertanya apa salahmu?" tanya kak Janet menghardikku.

"I-iya, aku..." rasanya ingin menangis dia menatapku dengan marah begitu.

"Apa yang sudah kau lakukan pada adikku Choco, hah? Hampir semalaman dia tidak tidur dia terus menelpoku, memintaku mendatangi rumahmu tengah malam tadi, dia bahkan sampai menangis karena takut kamu marah padanya. Apa itu masih belum kau sadari?"

Aku tersentak bukan main, apakah Choco benar-benar melakukannya, hanya untukku? Apakah aku sungguh membuatnya sesedih itu?

"Kak, aku hanya... Aku hanya sedikit kesal semalam padanya, dia berbicara melantur seperti orang mabuk," jawabku sekenanya.

"Ooh, jadi sekarang kau menuduh adikku pemabuk? Begitu? Rose, lihat dirimu! Di kota sana, terutama di sekolah Choco, dia adalah laki-laki yang popular. Dia banyak di gandrungi para wanita cantik di kota, harusnya kau berhati-hati dalam menjaganya. Atau kau tidak takut sama sekali dia meninggalkanmu dan memilih wanita-wanita di kota sana? Heh? Apa kau tidak akan menyesal?"

Kembali aku tertegun mendengar jawaban kak Janet. Mengapa dia tega mengatakan itu padaku tanpa tahu apa masalah yang sebenarnya.

"Kak, kau salah paham! Yang terjadi bukan seperti itu, tapi..." aku menjeda bicaraku, aku tidak mungkin mengatakan kalau Choco telah berbicara mesum padaku.

"Tapi apa, Rose?"

"Emh, maafkan aku, Kak. Aku akan berbicara pada Choco, aku akan meminta maaf atas sikapku semalam padanya."

"Kalian bahkan baru memulai hubungan jarak jauh kembali, tapi kau sudah meragukannya. Tolong, Rose! Choco itu laki-laki baik, jangan kau sia-siakan dia. Kau mengerti?"

Dengan menarik napas dalam-dalam, aku mengangguk mengiyakan ucapan kak Janet meski ini tidak adil bagiku.

Setelah itu, tanpa berkata apapun lagi aku beranjak pergi dari rumah kak Janet, aku segera pulang kembali ke rumah dan ingin meng-aktifkan kembali ponselku. Aku harus berbicara dengan Choco tentang masalah ini.

Begitu sampai di rumah, aku menuju kamar lalu meng-aktifkan ponselku yang sengaja kutinggalkan di atas kasur tadi.

Setelah menyala kembali, benar saja. Begitu banyak pesan yang Choco kirimkan untukku, dan di antara sekian pesan masuk darinya, satu yang menarik perhatianku hingga membelalakkan kedua mataku.

'Rose! Aku ini cowok kota, kau hanya wanita kampung yang kebetulan beruntung mendapatkanku. Disini banyak yang mengejarku, tapi aku memilihmu. Dan kau marah padaku hanya karena aku ingin menyentuh dadamu itu? Itu terdengar konyol. Bahkan disini banyak yang memintaku melakukannya demi cintanya padaku!'

Degh!

Sekujur tubuhku terasa tidak bertenaga lagi, rasanya sangat sakit. Sakit yang bukan main, sontak saja kedua kakiku melemah dan aku terjatuh ke sisi ranjang.

Napasku terasa terhenti begitu saja. Hawa panas dingin merasuk menerpa sekujur tubuhku, ada rasa mual, namun menggigil di dalam sana. Di dalam hatiku yang paling terdalam, rasanya begitu perih kurasa.