webnovel

Jebakan Terindah

"Kalian mikir! Dia itu orang kaya. Kalau mau begituan sama aku, masa iya dia milih di kebon orang." Seorang Gadis berteriak pada warga yang ada di depannya. "Intinya, dia ndak akan menikahi aku. Aku sendiri yang akan membayar denda, jang—" "Aku akan menikahi kamu." Laki-laki itu memotong. Sontak saja Si Gadis langsung menoleh. "Eh, Si Kampret. Otakmu kelelep apa?" bisiknya. Cakra, 35 tahun. seorang anak dari pengusaha restoran sukses dituntut oleh kedua orang tuanya agar segera membawakan mereka seorang menantu. Karena tuntutan tersebut Cakra pun pergi ke salah satu kota di Jawa Timur untuk mencari seorang istri sekaligus mengembangkan bisnis restoran di daerah tersebut. Setelah sampai di daerah tersebut, banyak kejadian lucu yang terjadi hingga mendekatkan dirinya dengan seorang gadis bernama Asta. Mereka berdua sering berseteru bahkan berkelahi, hingga takdir membuat mereka harus menikah karena fitnah dari mantan calon suami Asta. Dan ketika Asta merasa insecure karena harus ke Jakarta untuk bertemu dengan sang mertua, ternyata banyak hal tak terduga tentang keluarga Cakra yang membuat dirinya sempat menggeleng tak percaya. Setelah melewati berbagai hal, akhirnya kebahagian pun mulai datang. Namun semua kebahagiaan tersebut kembali terusik ketika cinta pertama Sang Suami datang bahkan masuk ke dalam kehidupan pernikahan mereka. Mampukah Asta mempertahankan rumah tangganya? Bisakah Cakra menyadari jika kebaikan hatinya adalah malapetaka untuk kisah cintanya sendiri? #ketika kebaikan hati harus mempunyai batas.

Si_Mendhut · perkotaan
Peringkat tidak cukup
15 Chs

Saran Dari Sahabat

"Ini Pak," ucap pelayan tadi sembari menurunkan secangkir kopi yang Cakra inginkan.

"Terima kasih," sahut Cakra sambil menatap ke arah pelayan tersebut.

"Jangan lupa nasi gorengnya." Dimas menimpali.

Lalu pelayan tersebut langsung menoleh pada Dimas dan mengangguk. "Iya Pak sedang dibuatkan, mohon tunggu sebentar," ujarnya dengan sopan kemudian dengan cepat kembali meninggalkan meja tersebut.

"Jadi, tante mengancam apa?" tanya Dimas sembari kembali menoleh ke arah sahabatnya tersebut.

"Mereka akan ke Sinar Harapan," jawab Cakra lalu mengangkat cangkir kopi miliknya.

Dimas pun langsung mengerutkan keningnya. "Sinar Harapan? Maksud kamu sinar harapan yang panti jompo itu?"

Cakra pun mengangguk pelan lalu menempelkan cangkir kopi tersebut ke bibir tipisnya, ia menyesap kopi tersebut selama beberapa detik dengan tenang.

"Lalu?" tanya Dimas lagi.

"Berikan aku saran," sahut Cakra sambil meletakkan cangkir tersebut ke tatakannya lagi.

Dimas pun langsung menghela napas panjang, lalu menyenderkan punggungnya di kursi yang didudukinya saat ini. "Apalagi saranku jika bukan menyuruh kamu menikah," tandasnya sembari terus menatap ke arah sahabatnya tersebut.

"Aku juga ingin seperti itu, tapi …," Cakra terdegar ragu saat ingin melanjutkan kalimatnya.

Kemudian Dimas pun kembali menegakkan tubuhnya. "Baiklah, biar aku bantu kamu. Katakan kriteria istri idaman kamu, selain harus seorang wanita dan cantik."

"Cantik itu relatif. Bagiku, gadis itu paling tidak harus punya bentuk tubuh asli bukan operasi, juga seseorang yang sederhana dan menikah denganku bukan karena uang," beber Cakra dengan santai.

"Ya kalau ada wanita seperti itu memang sangat bagus, tapi cari wanita seperti itu di zaman sekarang … sulit. Apalagi di sini," komentar Dimas sembari menggeleng pelan.

Cakra pun mengerutkan keningnya mendengar ucapan sahabatnya tersebut.

"Jangan heran," sahut Dimas lagi. "Jika dia itu orang Jakarta dan termasuk gadis-gadis dari golongan orang-orang menengah ke atas, mereka pasti kenal dengan kamu."

"Maka dari itu aku berfikir ingin mencari gadis dari kota lain, atau dari golongan biasa," sahut Cakra dengan ringan.

"Kamu yakin?"

"Aku rasa kedua orang tua itu tidak akan mempermasalahkan ini," ucap Cakra sembari mengaduk kopinya dengan santai.

"Iya juga. Tante dan paman, mereka itu orang yang baik dan bisa bergaul dengan siapa saja," sahut Dimas setuju. "Baiklah karena masalah orang tuamu sudah beres, sekarang tinggal di mana kamu akan mencari wanita itu?"

"Itulah yang jadi masalah besarnya," sahut Cakra lalu menghela napas kasar.

"Ah dasar kamu ribet," tandas laki-laki di depan Cakra tersebut. "Banyak yang mau tapi kamunya ogah. Sekarang saat ditanya di mana mau cari wanitanya, kamu bilang ini masalah besar."

"Ck!" Sebuah decakan kesal pun langsung muncul dari bibir Cakra ketika mendengar perkataan sahabatnya yang bukannya memberi solusi tapi membuatnya makin pusing.

Kemudian laki-laki di dekat Cakra itu pun menyesap kopinya kembali. "Kalau di Jakarta sih cari cewek begitu sulit, harusnya dari desa seperti istriku," ucap Dimas kembali setelah selesai menyesap kopinya.

Mendengar hal itu Cakra pun diam selama beberapa saat, jari-jarinya terus mengetuk-ngetuk meja di depannya seolah sedang mempertimbangkan sesuatu.

Sedangkan Dimas saat ini hanya melirik ke arah sahabatnya itu, membiarkannya berpikir dengan tenang.

Kemudian ….

"Istrimu orang mana?" tanya Cakra tiba-tiba.

"Malang," jawab Dimas dengan santai.

"Hem …," gumam Cakra sembari terus berpikir.

Dimas pun diam kembali ketika sahabatnya itu mengetuk-ngetukkan jarinya seperti tadi.

'Apa yang sedang dia pikirkan,' batin Dimas yang kini terus menatap ke arah Cakra dengan rasa penasaran.

Tiba-tiba sebuah senyum pun muncul di wajah Cakra.

Dimas yang melihat hal itu pun langsung mengerutkan dahinya. 'Apa dia menemukan sesuatu,' pikirnya yang makin penasaran.

"Kamu benar Dim," ucap Cakra tiba-tiba sembari menepuk pundak sahabatnya itu.

"Benar apa?" tanya Dimas langsung.

Sesaat kemudian Cakra pun bangun dari kursi yang didudukinya sembari menatap ke arah Dimas. "Terima kasih atas sarannya, aku akan segera ke sana," ujarnya lalu melangkah meninggalkan meja tersebut.

"Hei, saran apa?" teriak Dimas bertanya pada Cakra yang kini sudah semakin jauh dari tempatnya saat ini.

Namun Cakra tak menoleh sedikit pun dan terus berjalan menjauh hingga terlihat meninggalkan pintu masuk restoran tersebut.

"Astaga apa-apaan sih anak itu," gumam Dimas sembari terus menatap ke arah pintu masuk restoran tersebut, lalu menggeleng pelan.

Sesaat kemudian terlihat salah satu pelayan restoran tersebut datang kembali ke meja tersebut sembari membawa dua piring nasi goreng. Namun ketika akan menurunkan nasi goreng tersebut, pelayan itu pun langsung celingukan.

"Mencari Pak Cakra?" tanya Dimas sembari menatap pelayan tersebut yang terlihat kebingungan.

"Iya Pak," sahut pelayan tersebut sambil mengangguk dengan cepat.

"Dia sudah pergi entah ke mana," sahut Dimas sembari menunjuk ke arah pintu masuk restoran tersebut.

Pelayan itu pun langsung menatap ke arah pintu masuk restoran yang saat ini sedang di tunjuk oleh sahabat Cakra tersebut. Setelah itu pelayan itu pun mengangguk-ngangguk sembari bergumam, lalu kembali menatap ke arah Dimas.

"Sudah kamu turunkan saja dua-duanya, kebetulan aku memang belum sarapan pagi ini," ujar Dimas sembari menatap dua porsi nasi goreng yang ada di atas nampan di tangan pelayan tersebut.

"Ba-baik Pak Dimas," sahut pelayan tersebut lalu melakukan seperti yang diperintahkan oleh Dimas.

Kemudian Dimas pun berkata kembali, "Setelah ini bawa ke sini bill-nya."

"Tidak-tidak, nasi goreng ini tidak perlu membayar," tandas pelayan tersebut dengan cepat karena semua karyawan di restoran tersebut tahu kalau Dimas adalah sahabat Cakra, bos mereka.

"Baguslah kalau begitu, hitung-hitung menghemat," sahut Dimas dengan santai.

Dua puluh menit berlalu, kini Dimas yang baru saja selesai menyantap dua piring nasi goreng tersebut pun langsung menyenderkan punggungnya di kursi yang didudukinya.

"Apa maksud anak tadi," gumamnya yang kembali mengingat Cakra sembari menatap ke arah langit-langit restoran tersebut.

Namun tiba-tiba terdengar ponsel di dalam saku celananya berdering.

"Ya," ujar Dimas dengan malas ketika mengangkat panggilan tersebut.

"Dim aku mau pergi. Kalau ada apa-apa di restoran, tolong kamu bantu mereka," ucap Cakra dari dalam panggilan tersebut.

Mendengar hal itu, Dimas pun langsung menegakkan tubuhnya.

"Hei kamu mau pergi kemana?"

Tut … tut … tut! Panggilan tersebut terputus begitu saja.

"Sialan!" ucap Dimas sambil menatap layar ponselnya.

\*\*

Satu hari berlalu, kini Cakra sudah sampai di depan sebuah showroom kecil di salah satu kota kecil di Jawa Timur.

"Ini," ucapnya sembari memberikan ongkos untuk taksi yang disewanya dari Bandara Juanda untuk sampai di kota tersebut.

"Tunggu Mas kembaliannya saya am—"

"Ambil saja kembalinya," potong Cakra dengan santai sembari turun dari taksi tersebut lalu membetulkan tas ransel yang digendongnya.

"Benar ini Mas?" tanya sopir tersebut sekali lagi untuk memastikan.

"Tentu," sahut Cakra dengan hangat.

Setelah berterima kasih, kemudian taksi itu pun segera meninggalkan tempat tersebut.

Sedangkan saat ini Cakra langsung masuk ke dalam Showroom tersebut dengan santai.

"Selamat datang Mas, cari apa?" tanya pegawai Showroom tersebut dengan ramah.

"Saya mencari … (bla-bla-bla)." Cakra memang berniat untuk mencari  kendaraan ketika ia sampai di kota tersebut, karena ia merasa akan cukup lama berada di sana.

Setelah lebih dari setengah jam memilih, akhirnya Cakra pun mengambil salah satu motor yang ada di sana dan langsung membayarnya kontan saat itu juga.

"Terima kasih Mas," ucap penjaga Showroom tersebut sebelum Cakra meninggalkan tempat itu.

Setelah itu Cakra pun dengan santai mengendarai motor tersebut sembari mendengarkan GPS di ponselnya yang sengaja ia tempelkan di depan motor tersebut untuk memberinya petunjuk mencari hotel di kota tersebut.

Namun ketika melewati sebuah jalanan yang terlihat sepi, tiba-tiba ….

"Kurang ajar kowe Mas! Raimu koyo asu!" teriak seorang gadis yang langsung menarik perhatian Cakra, karena gadis tersebut kini tengah berlari sembari mengangkat tinggi-tinggi sendal di tangannya.

BRAKKKK!

AKHH!

"Mati ora kowe!"