"Saya enggak biasa dandan Madam, apalagi harus membuka kerudung. Saya malu," ucap Sarah pada Madam Lia pemilik tempat prostitusi di kawasan Jakarta Selatan yang sudah terkenal di kalangan para lelaki hidung belang yang ingin menghabiskan uang mereka untuk bermalam.
Banyak di antaranya para koruptor yang menambah cacat jabatannya karena mempermainkan amanah, tidak jarang juga para pengusaha yang dirundung rasa bosan dan stress dengan pekerjaannya juga datang sebagai individu yang siap membayar mahal pesanannya, dan beberapa pesanan level rendah juga dilayani di sini, baik itu para supir yang tak pulang dan lebih memilih simpang, lelaki yang bosan di rumah maupun juga beberapa kaum muda yang begitu liar ingin mencoba melubangi daging mentah.
Di sini, di tempat siapa saja tidak dianggap pantas jika identitas mereka terpampang di bajunya dan masuk ke lingkungan yang menolak adanya perzinahan.
"Kamu harus belajar Sarah, perempuan itu akan dihargai jika ada daya jual dalam dirinya. Apa kamu mau direndahkan lagi? Suamimu berselingkuh karena kamu tidak bisa merawat diri hingga mereka lebih memilih bermalam di rumah perempuan lain. Kalau kamu masih mau diinjak-injak oleh lelaki seperti dulu, Madam enggak akan bantu kamu. Silakan hidup lagi dengan penderitaan dan dianggap lemah oleh lelaki yang kamu cintai itu!" Madam Lia marah, dia mengomel tanpa memikirkan apa Sarah sakit hati atau tidak. Baginya, ketegasan adalah nomor satu jika ingin dididik olehnya untuk sukses di sini.
Dia tidak suka jika kaumnya selaku perempuan dengan senang hati menjadi bahan injakkan kaki oleh kaum lelaki.
Luka lamanya menjadikan dia sekarang bangkit dan ingin setiap perempuan juga bisa terbebas dari kungkungan sistem kasta yang selalu di nomor duakan setelah kaum Adam. Sistem Patriarki.
Perempuan selalu menjadi objek, dan Madam Lia ingin menepis anggapan tersebut.
Dia ingin membuktikan bahwa kaum lelaki itu lemah, lebih lemah dari kaum perempuan, mereka sangat gila nafsu dan sesungguhnyalah mereka budak dari kaum Hawa.
Di tempat inilah Madam Lia sangat puas melihat lelaki yang dengan rendahnya memohon-mohon untuk disegerakan pesanan kamar dan berani membayar mahal sedang yang gratisan di rumahnya mereka abaikan.
Di tempat ini juga Madam Lia mampu menyatakan bahwa tidak semua orang suka dengan yang gratisan, yang sudah mereka halalkan dan bisa dinikmati kapan saja.
Beberapa orang, bahkan rata-rata lebih memilih bertukar harta untuk mendapatkan kenikmatan yang hanya mereka rasakan tidak lebih dari satu jam.
15 menit saja bisa membuat mereka mabuk kepayang dan tak tahan untuk melanjutkan.
Dengan rokok yang di hisap rasa manisnya dan keluar asap yang dia hembuskan dari mulutnya, wanita yang genap berusia 40 tahun itu membuka pemikiran Sarah untuk jadi perempuan yang lebih kuat dari sebelumnya.
"Lihatlah Sarah! Di sini … lelaki takluk padamu. Mereka meraung-raung ingin menikmati tubuhmu dan ketagihan setelah itu. Kamu tidak perlu duduk manis di rumah dan meminta-minta pada suamimu sedang mereka yang hanya memberimu uang yang pas itu bisa-bisanya menguasa atas dirimu lebih dari siapa pun. Rugi sekali bukan? Percayakan padaku, aku bisa membuat mantan suamimu bertekuk lutut padamu hingga dia nanti hancur seperti pasir yang kau genggam dan akhirnya terbawa angin. Hilang ...." Madam Lia memberikan visualisasi dengan tangannya yang mengepal dan dibuka sangat cepat, seperti pesulap yang mengeluarkan ilusinya.
Sarah yang tadinya ragu pun sekarang mulai mantap meneguhkan dirinya untuk melepas jilbab dan bersedia didandani malam ini untuk melayani pelanggan pertamanya.
"Saya siap Madam, pokoknya saya ingin mantan suami saya nyesel ninggalin saya," ucap Sarah dengan penuh keyakinan dan membuka jilbabnya sambil menatap dirinya sendiri di cermin.
Sarah seperti menemukan dirinya yang baru, yang tidak ingin ditindas oleh kaum lelaki. Sarah ingin membuktikan kalau dirinya juga bisa lebih cantik dari selingkuhan suaminya dan hidup mapan dengan hasil pelayanannya pada para tamu yang selalu siap memberikan uang lebih dari yang didapatkannya dulu.
Keterikatan hanya membuat Sarah sengsara dan menjadi budak dari suaminya yang tidak bertanggung jawab itu.
***
Sepuluh tahun berlalu, Sarah akhirnya sudah terbiasa menjalani hidupnya sebagai seorang pekerja seks komersial yang penghasilannya sudah menyaingi para seniornya.
Bahkan, dia sempat bertemu suaminya saat Sarah bertransaksi dengan pelanggannya di sebuah cafe. Sang suami yang saat itu sedang bertemu klien melihat mantan istrinya --Sarah yang sudah tampil beda.
Lebih cantik dan menggoda, bukan Sarah yang dulu tidak bisa mengurus diri dan selalu menunduk patuh.
Begitu direndahkannya dirinya ketika suaminya membawa istri kedua dari perselingkuhannya ke rumah mereka dan hanya bisa pergi mengalah daripada harus dimadu dan menerima perlakuan tidak adil.
"Sarah, apa ini benar-benar kamu?" tanya mantan suami Sarah saat itu ketika Sarah meminta izin pada pelanggannya untuk pergi ke kamar mandi dan sang mantan suami membuntutinya dan menunggu di belokan setelah kamar mandi perempuan, tempat Sarah membuang pipisnya.
"Kenapa? Iya ini aku Sarah versi terbaru, bukan Sarah yang lemah dulu, yang dengan bodohnya bersedia hidup dengan lelaki seperti kamu," balas Sarah dengan penuh percaya diri.
Sang mantan suami malu mendapat cibiran dari mantannya yang sekarang berubah tiga ratus enam puluh derajat lebih cantik dari istrinya sekarang, yang dulu menjadi selingkuhannya dan dinikahi secara sah.
"Sarah maafkan aku. Aku dulu –" ucap sang mantan suami tidak diberi sempat untuk menjelaskan keinginannya ingin rujuk.
"Susssttt, aku tidak butuh penjelasan," Sarah melarangnya untuk berdrama. "Gimana keadaan anakku? Apa ibu tirinya tidak menjahati dia?" tanya Sarah menyindir istri baru sang mantan suami yang sudah dapat Sarah tebak tidak akan menjadi seorang ibu yang baik.
Perempuan perebut suami orang itu tidaklah mungkin punya hati seorang ibu, yang ada di pikirannya hanya harta yang ingin ia keruk untuk kepuasannya sendiri.
Sarah sebenarnya tidak tega untuk meninggalkan anak laki-laki satu-satunya dari pernikahannya bersama sang mantan suami.
Tapi Sarah tidak ingin membawa anaknya saat itu.
Dia tidak ingin anak semata wayangnya hidup susah, dia juga tidak ingin anaknya tahu kehidupan Sarah yang baru. Sarah tahu, kehidupannya ini tidak akan diterima semua orang di luar sana.
Dia tidak ingin anaknya menanggung rasa malu.
"Dia baik-baik saja, kamu tenang saja Sarah. Jika kamu mau menemuinya, pintu rumah akan selalu terbuka untukmu. Apa nomor handphone-mu masih yang dulu?" tanya sang mantan suami dengan harapan sang mantan istrinya mau kembali lagi.
Melihat sang mantan istrinya jadi lebih cantik, membuatnya seakan sudah lupa bahwa dia pernah menyia-nyiakannya dulu. Sarah, yang dulu selalu bertekuk lutut.