webnovel

Istri Kecil Presdir

Keluarga Grissham memiliki 2 penerus. Hanya saja, lahir dari wanita yang berbeda. Gavin Grissham, penerus pertama dan tentu saja dari Istri pertama, seharusnya menjadi kebanggaan. Namun semua itu hanyalah sebuah mimpi. Davin Grissham terlahir tidak sempurna sehingga hanya tubuhnya saja yang berkembang pesat tapi otaknya memiliki IQ rendah dan membuat Gavin bersikap seperti anak yang berumur 5 tahun. Siapa yang sudi menikah dengan pria tidak normal? Sedangkan, menikah adalah syarat utama dari Tuan Grissham untuk mendapatkan hak waris. Guinnevere, Putri angkat Tuan Grissham harus menelan kepahitan itu karena dipaksa menggantikan Agatha menikah dengan Tuan muda Gavin. Bisakah Guin menerima Tuan muda Gavin?

Sabrina_Angelitta · Masa Muda
Peringkat tidak cukup
304 Chs

22. Couple

"Kakiku sakit, bodoh!" bisik Gavin.

"Aku membantumu supaya aktingmu yang buruk itu seperti real," balas Ralio.

"Emmmm... Anu... Gavin, ci--ciumnya di rumah saja," ucap Guin malu-malu.

"Aku akan membantumu tapi kau juga harus membantuku. Bagaimana?" bisik Ralio.

"Deal!"

"Nyonya, Tuan muda menangisnya sekarang, jadi kalau ciumannya nanti, bukankah dramanya tidak akan selesai?" seru Ralio.

"Ta--tapi..." Guin menjadi gugup.

Ralio mendekati Eve. Dia bersikap sok akrab dengan merangkulkan tangannya melingkari pundak Eve.

"Hanya cium saja, untuk apa malu, Nyonya?" kata Ralio lagi.

"Gavin, ak--aku..."

"Biar aku beri contoh!" kata Ralio dengan gayanya yang unik.

Tangan Ralio memegang dagu Eve, lalu bibirnya mendarat. Eve terbelalak. Dia seperti kesurupan setan tanpa nyawa.

"Kalian..."

"Tidak. Ini hanya contoh," sahut Ralio.

"Sini!"

Eve menarik Ralio menjauh dari Gavin dan Guin. Bukan hanya wajahnya yang merona tapi merahnya sampai ke telinga.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Eve tanpa menatap Ralio.

"Saya? Saya melakukan apa?" Ralio mengembalikkan pertanyaan itu ke Eve.

"I-itu tadi, ci-cium," seru Eve dengan malu-malu.

Ralio menyentuh pinggir bibir Eve yang baru saja dia gunakan untuk mendaratkan bibirnya.

"Saya tidak menciumnya dibibir. Saya menutupi sedikit dengan tangan supaya mereka mengira kita ciuman."

"Tapi..."

"Nona ingin tepat mengenai bibir?" goda Ralio.

"Kau ini..."

Bukkk... Bukkk... Bukkk...

Eve memukul kepala Ralio. Ralio hanya berputar-putar, menghindari pukulan Eve.

Guin hanya bengong saja, melihat Ralio dan Eve seperti kucing liar yang siap memangsa tikus sebagai buruannya.

"Guin, kita ke mobil," ajak Gavin.

"Sudah ya, jangan menangis," Guin menghapus airmata Gavin.

'Cih... Mata terlalu sensitif dengan debu. Terkena sedikit saja langsung keluar airmata. Membuatku terlihat seperti pria lembek. Harga diriku sudah terinjak-injak oleh sebutir debu,' batin Gavin.

Mereka sudah sampai di mobil. Sayangnya, Gavin tidak bisa menunjukkan pada Guin kalau dirinya bisa mengemudi.

"Kita duduk dulu dalam mobil," ajak Gavin.

"Ini makanan untuk kita ya?" tanya Guin.

Sebelum melakukan aksinya, Ralio sudah menyerahkan makanan yang dia beli pada Gavin.

"Kita makan saja. Mungkin mereka akan lama. Apa mereka sedang latihan drama, sama seperti di sekolahku?" tanya Gavin.

'Mereka sedang bertengkar karena tindakan Ralio. Dijelaskan juga, apa Gavin akan mengerti?' batin Guin bimbang.

"Sudah, kita makan saja di kursi sana," ajak Guin.

***

Ralio memegang kedua tangan Eve. Nafasnya terengah-engah, dada Eve terlihat naik turun. Keringat mulai menetes.

"Jangan memukulku lagi. Nanti tanganmu bisa terluka," ujar Ralio.

"Kau yang memulainya!" sungut Eve.

Ralio menangkup pipi Eve menggunakan kedua tangannya. Matanya memandang mata Eve yang berwana hijau muda. Mata yang sangat indah.

Pandangan matanya semakin dalam. Wajahnya semakin dekat. Jarak bibir mereka tinggal 1 cm lagi tapi ada sebuah tangan yang menggoyang-goyangkan jas yang Ralio kenakan.

"Paman, tempat umum!"

Ralio menoleh ke kanan dan ke kiri tapi tidak menemukan siapa yang bicara.

"Mari kita lanjutkan," ucap Ralio.

"Hah?"

Lagi-lagi, jasnya kembali ditarik-tarik. Ralio menoleh lagi tapi tidak ada siapa pun.

"Pffftttt... Itu!" Eve menunjuk ke bawah.

"Hah!" pekik Ralio.

Seorang anak kecil entah datang dari mana. Anak yang berusia sekitar 6 tahun. Tingginya bahkan tidak sampai pinggang Ralio.

"Pantas saja saya mencarinya tidak ada," gumam Ralio lirih. Wajahnya merona karena malu.

"Pfffftttt... Apa dia Putramu?" ejek Eve.

"Saya akan memiliki Putra bersamamu," rayu Ralio.

"Pfffffttttt..." Eve menahan tawanya yang menggelitik sampai perut.

"Hai, Adik manis. Di mana Ibumu?" tanya Ralio.

"Kepo!" jawabnya langsung pergi

Ralio yang berjongkok untuk menyapa, langsung berdiri dan menggaruk-garuk kepalanya.

'Apa ini yang namanya dipermalukan?' batin Ralio.

"Kau memiliki ketombe ya?" ejek Eve.

"Oh, ketombe ya... Nih, ketombe."

"Kyaaa... Hahaha..."

Ralio menyodorkan kepalanya ke arah Eve. Eve berlari dan Ralio menangkapnya.

"Mau pergi ke mana? Saya sudah menangkap Nona!" kata Ralio.

"Kita harus menyusul Guin."

"Ayo!"

Ralio menggandeng tangan Eve. Mereka berdua bersama-sama menyusul Gavin dan Guin.

Tap... Tap... Tap...

"Hah???" pekik Eve. Eve langsung bertatapan dengan Ralio.

"Tuan dan Nyonya kelaparan?" tanya Ralio sembari mencengkram pundak Gavin.

"Tidak!" jawab Guin sepolos mungkin.

"Lalu, porsi 4 orang, kalian habiskan berdua. Kalau bukan kelaparan, apa namanya?" tanya Ralio.

"Doyan!" jawab Guin.

"Pffftttt.… Uhuk... Uhuk... Uhuk..."

Gavin menahan tawa sampai tersedak. Guin langsung bertindak cepat, menyodorkan minuman untuk Gavin.

"Ini, minum dulu," kata Guin gugup.

Gavin langsung minum air yang Guin berikan. Dia langsung berdiri menjauh.

Hoek... Hoek... Hoek...

"Gavin kenapa?" tanya Guin yang semakin gugup.

"Pahit! Panas!" jawab Gavin memelas.

Guin langsung melihat tulisan yang tertera. Matanya terbelalak.

'Hmmmm kopi hitam panas?' batin Guin.

"Pffftttttt... Itulah, nyerobot makanan hak karyawan," celetuk Ralio.

Guin menoleh ke arah Ralio dengan mata yang masih terbelalak. Guin menunjuk kopi yang ada di tangannya, lalu menunjuk Ralio.

"Iya, Nyonya. Itu adalah milikku," kata Ralio.

"Haduh!" Guin menepuk keningnya sendiri.

Guin langsung menghampiri Gavin. Dia mengusap-usap rambut Gavin. Gavin menoleh dengan tatapan yang lebih sedih.

"Guin usap-usap kepalaku?" tanya Gavin.

"I--iya. Bukankah Gavin menyukainya?" Guin menjadi semakin gugup.

"Iya, suka. Ta--tapi..."

"Kenapa?" tanya Guin heran.

"Coba lihat tangan Guin," pinta Gavin.

Guin menunjukkan tangannya. Gavin langsung menunjuk telapak tangan Guin yang berminyak.

"Guin, rambutku jadi bau gorengan," sedihnya.

"Eh, anu... Ralio, bagaimana ini? Aku lupa belum cuci tangan," ucap Guin.

"Cium saja," bisik Ralio.

'Apa serius, dicium saja?' batin Guin.

"Kita ke toilet saja," ajak Guin.

"Pulang!"

"Ralio, ayo pulang. Eve, ikut saja ya. Nanti biar Ralio antar Eve. Rumahnya kan beda arah," ujar Guin.

Akhirnya setuju. Ralio membereskan bungkus makanan yang sudah kosong.

Guin juga membersihkan tangannya menggunakan tissu basah yang dia bawa setelah masuk ke dalam mobil.

"Kemarikan tanganmu!" kata Guin.

"Ini!" Guin membersihkan tangan Gavin. Dia juga membersihkan bibir Gavin.

"Bibirnya kurang bersih!" ucap Gavin.

"Sudah kok," jawab Guin.

"Belum. Bersihkan pakai ini," Gavin menunjuk bibir Guin.

Guin menoleh, Eve dan Ralio masih diluar. Guin hanya ingin mengecup bibirnya supaya Gavin tidak lagi merengek tapi Gavin menahannya.

Menahan Guin supaya tidak melepaskan bibirnya. Gavin melumatnya lembut. Rasa stroberry dari bibir Guin karena jus yang baru ditelannya, menjadi mendominasi.

Tangan Eve sudah siap membuka pintu mobil, tapi Ralio mencegahnya dan menutup mata Eve dengan tangannya.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Eve.

Ralio memutar tubuh Eve supaya mereka saling berhadapan.

"Kenapa terburu-buru untuk masuk?" tanya Ralio dengan rencana licik yang tersirat dari wajahnya.

"Karena memang kita mau pulang," jawab Eve.

"Sebelum pulang..."

"Iya, terus?"

"Bagaimana kalau kita lanjutkan niat kita yang tertunda?"