webnovel

21. Bolehkah?

Guin fokus membaca buku. Bukan buku pelajaran yang seharusnya tapi buku tentang rumah tangga.

"Hmmm... Cara Istri membuat Suami jatuh cinta."

Brakkk...

Guin menutup buku dan langsung menoleh setelah suara lirih tepat ditelinganya. Suara yang mengeja judul buku yang sedang dibaca olehnya.

"Gavin!"

"Guin baca buku apa?"

"Gavin untuk apa di sini?" tanya Guin mengalihkan pembicaraan.

"Jemput Guin."

"Tap--tapi..."

"Aku belum makan dari pagi."

"Kenapa belum makan? Gavin bolos dari sekolah? Atau bolos dari les?" cerocos Guin.

"Gak."

Gavin duduk di sebelah Guin. Memperlihatkan betapa manjanya dia tanpa melihat situasi.

Semua mata melihat, tapi Guin tidak memiliki rasa malu. Dia menukar buku tentang rumah tangga dengan buku miliknya yang ada di atas meja.

"Guin, lapar!" ujar Gavin lirih.

Gavin menyandarkan kepalanya dipundak Guin. Guin lalu mengusap lembut kepala Gavin.

"Ya sudah, kita susul Eve di caffe seberang ya."

"He'em!" jawab Gavin sembari mengangguk.

'Dia menggandeng tanganku, mengusap rambutku, tidak mengusirku saat aku manja. Dia menunjukkan pada publik tentang pernikahannya denganku. Aku tidak akan mengecewakanmu, Guin,' batin Gavin.

"Gavin mau makan apa?" tanya Guin.

Gavin diam-diam sangat romantis. Dia membawakan tas dan buku milik Guin. Dia tidak ingin Guin membawa beban berat.

"Apa saja!"

"Ralio mana?"

Gavin langsung berhenti. Dia menunjukkan ekspresi marah pada Guin.

"Eh, Gavin kenapa?" tanya Guin.

"Jangan tanya soal Ralio lagi," kesalnya.

"Eh, kenapa? Aku khawatir sama Gavin. Kalau tidak didampingi Ralio, Gavin bisa nyasar. Kalau Gavin kenapa-kenapa, aku bagaimana?"

"Guin!" Guin menoleh.

"Senior!" sahut Guin.

"Eh, dia siapa? Nanti malam sibuk? Soal design yang dosen minta, bagaimana?"

"Dia..."

"Suami Guin!" sahut Gavin tanpa menunggu ucapan Guin selesai.

'Apa kalau anak-anak sedang marah, mereka seperti Gavin?' batin Guin.

"Ini kisi-kisinya. Sampai bertemu besok, Guin. Bye..."

"Bye!"

Gavin membuang pandangannya ke arah lain. Dia benar-benar seperti anak kecil yang sedang merajuk.

"Gavin!" Guin memegang lengan Gavin lalu berekspresi seimut mungkin.

"Aku lapar!" Gavin menepis tangan Guin dan berjalan meninggalkannya.

"Oh, marah? Ya sudah, aku sama senior saja."

Guin menghitung detik yang terlewati. Gavin akhirnya menoleh.

"Guin!" panggil Gavin.

Guin terbelalak. Dia hanya iseng saja menggoda Gavin yang sedang merajuk tapi ketika Gavin berbalik, mata Gavin sudah berkaca-kaca.

"Eh, jangan menangis," ucap Guin lirih.

"Guin tidak suka padaku karena rambutku pendek? Guin suka pria yang gondrong?"

"Bu--bukan."

'Bagaimana menjelaskannya?' batin Guin.

***

"Ralio, jadilah pacarku!"

Tap... Tap... Tap...

Ralio jalan mendekati Eve. Dia melambaikan tangannya ke wajah Eve. Mata Eve tidak berkedip.

"Nona!" Akhirnya Eve tersadar setelah Ralio menggoncangkan pundaknya.

"Ah, iya. Maaf, aku melamun," ucap Eve.

'Apa yang baru saja aku pikirkan? Bagaimana bisa aku membayangkan mengajak Ralio pacaran? Untung saja cuma bayangan,' batin Eve.

"Nona mau membeli makanan di caffe itu?" tanya Ralio sembari menunjuk.

"Iya, benar sekali," jawab Eve.

"Saya tidak tenang meninggalkan Nona dalam keadaan sering melamun. Saya akan temani Nona," kata Ralio.

Ralio sudah berjalan tapi Eve masih terpaku ditempat.

"Nona, ayo!"

"Aku segera menyusul!" Eve berlari ke arah Ralio. "Kyaaaaa!" Eve tersandung.

"Hati-hati!"

Lagi-lagi, Ralio yang menangkapnya. Kali ini Eve jatuh memeluk Ralio.

"Ma--maaf!"

"Membiarkan Anda keluar sendiri, saya rasa itu sangat mengkhawatirkan. Anda jauh lebih teledor dari Gavin," omel Ralio.

"Aku sudah minta maaf," ucap Eve.

"Ayo! Jangan lepaskan tanganku karena keberuntungan tidak akan datang 3 x," jelas Ralio.

Dengan senang hati, Eve mengandeng tangan Ralio, menyebrang jalan dan memesan makanan bersama.

Semuanya indah dipandang mata. Seperti sebuah hubungan yang baru saja dibina.

"Anda benar-benar minum kopi no sugar?" tanya Eve.

"Nona pikir, saya sedang bercanda?"

"Tapi itu bukannya pahit?" tanya Eve lagi.

"Ada Nona, tentu saja semua menjadi manis," ucap Ralio lirih.

"Hmmmm? Katakan sekali lagi," pinta Eve penuh harap.

"Apa hanya ini yang dipesan?" Ralio berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Mau pesan apa lagi? Makanan ini sudah lebih dari cukup untuk 4 orang," jawab Eve.

Ralio membayarnya. Ralio juga yang membawa makanan dengan sebelah tangannya sedangkan satu tangan lagi di pakai untuk menggenggam tangan Eve.

Hati Eve yang dingin, lunak dalam waktu singkat hanya karena satu kata. Penyelamatan.

Satu nyawa yang selamat, dibayar dengan satu hati untuk seumur hidup.

"Nona Eve, tolong jangan melamun lagi," ucap Ralio.

"Ak--aku tidak melamun," elaknya dengan nada suara gugup.

"Nyonya Guin di mana? Kita harus menyusulnya," ajak Ralio.

"Biar aku saja. Anda bisa menunggu di dalam mobil."

"Apa Nona malu membawaku?"

"Hah? Bu--bukan begitu," elak Eve.

"Lalu?"

"Eh, itu Guin sama Gavin. Guin panik kenapa?" ujar Eve mengalihkan pembicaraan.

"Entahlah. Kita susul saja."

Eve hendak melepaskan tangannya dan melambaikan tangan pada Eve. Sayangnya, Ralio meraih tangannya kembali, memasukkan tangan Eve ke dalam sweater yang Ralio pakai.

"Eh, ini..."

"Biar hangat!"

'Apa virus Gavin menular padaku?' batin Ralio.

'Hmmmm... Kenapa Ralio merona?' batin Eve.

Wushhh...

Hembusan angin menerpa rambut Eve, menampakkan wajah Eve yang tertutup oleh rambut tebalnya. Ralio melihat, lalu memalingkan wajahnya kembali.

"Lain kali, lebih baik rambutnya diikat."

"Hmmmmm???"

"Wanita akan jauh lebih cantik kalau dia tidak menyembunyikan wajahnya."

Apa yang Ralio katakan? Apa Ralio sadar dengan apa yang baru dia ucapan?

Benih-benih mulai tertanam tanpa Ralio sadari. Dia juga semakin mengerti, kenapa Gavin tetap melanjutkan sandiwaranya. Tentu saja untuk menarik perhatian Guin. Sama halnya dengan Ralio, mencari berbagai alasan supaya tetap bersama Eve.

Ralio dan Eve mendekati posisi Gavin. Eve belum tahu kekurangan Gavin karena Guin belum menceritakannya.

Eve diam terpaku. Dia berfikir kalau Gavin terlalu mencintai Guin, sampai-sampai dia menangis dihadapan Guin tanpa rasa malu.

'Wahhhh... Moment seperti ini sangat indah,' batin Eve dengan mata yang berbinar.

"Tuan!" panggil Ralio.

"Tuan Ralio, bagaiaman ini? Gavin tidak berhenti menangis," kata Guin yang panik.

"Mungkin bisa tenang dengan sebuah ciuman," jawab Ralio.

"A--apa? Di sini?" pekik Guin.

Ralio mendekati Gavin. Dia menekan pundak Gavin, mendekatkan bibirnya di telinga Gavin.

"Berhentilah menangis. Cih... Kau kenapa menjadi begitu cengeng?" bisik Ralio lirih.

"Siapa yang menangis, bodoh?" balas Gavin.

"Airmatamu itu menjadi jawaban, sialan!" bisik Ralio lagi.

"Ini bukan airmata tangisan. Saat aku akan menyusulmu, debu masuk ke dalam mataku."

"Kau memanfaatkan debu yang masuk matamu untuk memikat Guin lagi?" tanya Ralio.

"Tidak. Bukan, maksudku tidak seperti itu."

"Nyonya, dia butuh ciuman untuk menenangkannya. Saya sudah berbisik menenangkannya tapi lihatlah, Tuan tetap menangis," kata Ralio.

'Bagaimana aku tidak menangis, kau menginjak kakiku dengan sangat kejam,' batin Gavin.

Next chapter