webnovel

I’LL STAY (tamat)

"I'll have been falling in love with you today, tomorrow, and forever." Menerima perasaan yang sama dari orang yang disukai apalagi dia orang terkenal adalah suatu yang mustahil, tapi Kirana mendapatkan semua itu dalam sekejap. Tapi saat itu terjadi Kirana menyadari bahwa hatinya sudah dicuri oleh laki-laki yang sama sekali tidak dia harapkan.

Rufina_Dian · Masa Muda
Peringkat tidak cukup
21 Chs

TIGA

Kirana melambaikan tangan dengan wajah yang begitu sumringah. Selama hidupnya ia tidak akan pernah menyangka diantar pulang oleh bintang besar seperti Alva, bahkan di dalam mimpi pun tidak pernah.

"Sampai ketemu besok!" serunya. Dengan berlari kecil ia segera menuju apartemennya. Ia merogoh tasnya yang cukup besar untuk mengambil kunci, sesekali diiringi nyanyian dengan suara kecil dari bibirnya.

"Kamu baru pulang?"

Pertanyaan itu sontak membuatnya terperanjat−Kirana menghembuskan nafas lega ketika tahu tetangganya yang bertanya. Kirana melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul satu malam. "Tante belum tidur?"

Wanita itu tersenyum. "Lagi nonton tivi, gimana kerjaan jadi asistern?"

"Menyenangkan, melelahkan, merepotkan, seru, tapi aku suka banget!" jelasnya. Kirana begitu senang menceritakan segala sesuatunya kepada tetangganya. Elisa, wanita empat puluhan yang hidup seorang diri, tidak memiliki keluarga dan dia selalu baik pada Kirana. "Tapi tante jangan bilang pada siapapun ya, ini rahasia kita berdua," bisiknya.

Elisa mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum dan tiba-tiba matanya terbelalak seperti teringat sesuatu, lalu buru-buru masuk ke dalam apartemennya dan cukup membuat Kirana bingung. Setelah beberapa saat, Elisa kembali dengan sebuah bungkusan di tangannya. "Ini buat kamu, tadinya mau tante kasih sore, tapi kamu belum pulang."

Kirana mengintip isinya dan Elisa langsung menjelaskan. Sebenarnya tidak heran, ini bukan pertama kalinya tante Elisa memberinya kue. Dia sering kali mendapat banyak bingkisan dari orang tua murid, karena banyak orang tua murid yang senang dengan caranya mengajar; sabar, lemah lembut, dan cepat membuat anak-anak mengerti. "Terima kasih."

——

Kirana memadamkan lampu kamar dan merebahkan tubuhnya yang lelah sambil menatap langit-langit kamarnya yang penuh dengan stiker bintang yang bisa menyala dalam gelap. Kirana tersenyum pada dirinya sendiri, merasa tidak sia-sia menempel semua stiker itu sendirian. Ia mengangkat tangannya−membayangkan meraih stiker-stiker bintang tersebut sambil berbaring. Hari keberuntungan, gue diantar Alva pulang. Besok?

Sesekali Kirana mengintip dari balik panggung. Para tamu undangan sudah mulai berdatangan dan menempati bangku-bangku yang sudah disediakan. Tidak ada syuting video klip maupun wawancara televisi, begitu juga dirinya. Tidak banyak pekerjaan  yang harus ia lakukan kecuali duduk tenang dan tidak mengganggu jalannya acara. Kirana hanya siap siaga sebagai asisten dua laki-laki paling terkenal saat ini. Kali ini mereka diundang sebagai tamu dalam acara tahunan Jakarta Fashion Week. Ia tidak terlalu terkejut dengan dunia modeling seperti ini. Dandanan wajah yang penuh warna dan tatanan rambut yang berbeda dari biasanya, semua ia pernah alami saat masih sekolah kecantikan, tapi kini semuanya ia tinggalkan demi menjadi asisten artis. Mungkin ia sedikit gila, mengharapkan hal yang tidak mungkin.

"Hari ini lebih santai dari biasanya kan?" manajer Koh duduk disebelah Kirana, mereka duduk di sudut ruangan backstage yang tidak terlalu besar, karena suasana saat itu cukup ricuh. Dengan banyaknya model yang mondar-mandir bertukar pakaian. Kirana tidak berani kemana-mana takut kalau Dylan dan Alva membutuhkan sesuatu. Kirana memperhatikan manajer Koh, raut wajahnya terlihat lelah, mungkin karena pusing mengatur jadwal dua artis yang begitu padat. Terlebih dia harus mengatur Dylan yang keras kepala. "Setelah ini ada wawancara radio, kamu bebas kok setelah itu."

Kirana menganggukkan kepalanya, ia mengatupkan bibirnya dengan ragu-ragu mencoba bertanya, "Manajer, Dylan sepertinya nggak suka sama aku."

Manajer Koh tertawa, "Kata siapa? Dia cuma dimulut saja seperti itu, sebenarnya Dylan lebih perhatian. Jangan terlalu dipikirkan, oke?"

"Apa dia lebih suka menyendiri?"

"Dia itu sudah cukup kesepian, mana mungkin dia memilih menyendiri," manajer Koh mencoba menghentikan omongannya sendiri yang berlebihan. "Oh ya, kamu punya paspor?"

Kirana menggelengkan kepalanya dan mengernyitkan alisnya, "Kenapa?"

Manajer Koh mengusap dagunya yang bulan dan menghela nafas dengan cepat. "Kamu harus buat secepatnya, besok serahkan semua dokumen yang diperlukan ke saya."

"Nggak perlu cepat-cepat kan? Toh, aku juga nggak ada rencara pergi ke luar negeri."

"Bulan depan kita terbang ke London," Kirana mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia tidak percaya dengan apa yang barusan ia dengar, bahkan Negara tetangga saja yang dekat tidak pernah ia injak. "Ada syuting video klip."

"Gue haus!" seru Dylan yang tiba-tiba muncul. Wajahnya sangat pucat dan berkeringat cukup banyak, mungkin karena kelelahan berlenggak-lenggok di atas catwalk. Laki-laki itu tertunduk lesu di sebelah Kirana.

"Kamu mau minum apa?"

"Air mineral aja."

"Alva kamu juga mau?" tanya Kirana pada Alva yang baru bergabung.

"Boleh. Mau aku temani?"

Kirana mengibaskan tangannya, "Nggak perlu, aku bisa sendiri."

"Cepat dikit dong kelinci, gue haus banget ini," ucap Dylan ketus. Ia terlihat tidak begitu senang melihat Alva berlari mengikuti langkah Kirana yang sudah mulai menjauh.

Dylan mencoba mengatur nafasnya yang sedikit sesak dan memandang sekeliling backstage. Semua masih terlihat begitu sibuk, padahal acara sudah selesai.

"Dylan, kalau ada masalah atau sesuatu yang mengganjal kamu bisa cerita." Ucap manajer Koh, dan Dylan hanya menggeleng cepat. "Kamu nggak suka sama Kirana? Nggak cocok sama dia? Mau dicarikan asisten yang baru?"

"Nggak," jawabnya singkat. Ia mengorek-ngorek tas slempang milik Kirana dan mengambil tabung plastik berisi pil.

Manajer Koh mengernyitkan alisnya, "Vitamin?"

"Mm-hmm," ia menenggak pil tersebut tanpa air. "Gimana persiapan ke London?"

"Sudah diatur."

"Aku mau ambil waktu beberapa hari untuk liburan sebentar waktu disana," Dylan melirik manajer Koh. "Si kelinci gimana?"

     "Kelinci?" manajer Koh mengikuti arah pandang mata Dylan dan ia sudah melihat Kirana berlari kecil ke arah mereka dengan tangan penuh sekantong minuman.

"Lama banget," gerutu Dylan. Dengan cepat ia menenggak minuman tersebut dan hanya dalam hitungan detik minuman itu hampir kosong.

"Maaf, tadi antri," tanpa berlama-lama menunggu reaksi Dylan, Kirana sudah menyingkir dari hadapan laki-laki itu dan menuju koper kecil−mengeluarkan dua buah kotak kardus kecil berisi sandal. Dengan cepat ia menyerahkannya pada Alva dan Dylan untuk mengganti sepatu mereka.

"Iya, maksud aku Kirana gimana? Dia ikut sama kita kan?"

"Sesuai pembicaraan waktu itu, iya dia bakal ikut sama kita." Mendengar jawaban manajernya, Dylan menganggukkan kepalanya mengerti. "Oke, setelah disana kamu bisa ambil libur beberapa hari."

Dylan tidak terlalu mempedulikan perkataan manajer-nya, matanya mengikuti gerakan gadis itu yang terlihat begitu sibuk membereskan barang bersama-sama dengan Alva. Dylan bisa melihat gadis itu bicara dengan Alva sambil tertawa. Kelinci bodoh!

——

"Biar aku bantu," Alva langsung mengambil koper tersebut dan membantu membawanya.

"Terima kasih," jawab Kirana sambil tersenyum malu-malu. Tapi senyumnya memudar saat melihat Dylan lewat di sebelahnya dengan wajah murung. Kirana mengerutkan dahinya, merasa heran pada laki-laki itu, dia begitu berbeda saat tampil di atas panggung dan di belakang panggung, begitu juga saat di depan kamera. Aktingnya terlalu hebat, ia tidak tahu mana yang benar-benar sifat asli laki-laki itu.

"Dylan orangnya nggak seperti yang kamu pikirkan kok," ucap Alva seolah-olah bisa membaca pikiran gadis itu.

"Maksudnya?"

"Nanti kamu juga ngerti," Alva tersenyum lebar sambil memasukkan koper tersebut ke dalam mobil. Senyumnya sungguh menawan, jelas saja Kirana begitu jatuh hati pada laki-laki itu. "Sampai jumpa besok!"

"Loh, kamu nggak ikut kita?" tanya manajer Koh.

Alva hanya melambaikan tangannya sambil berlalu dan menghilang dari pandangan Kirana begitu cepat.

"Kelinci! Tutup pintunya dong, sampai kapan lo mau lihat Alva?"

Kirana memicingkan matanya. "Aku punya nama."

Dylan yang duduk di bangku penumpang mendekati Kirana dari belakang dan berbisik, "Kelinci..." dan gadis itu hanya melotot.

——

Kirana mengikat rambutnya dan bergegas mengunci apartemennya, dengan koper besar bersamanya ia menunggu di loby apartemen. Sesekali ia berjalan ke luar untuk memastikan jemputannya sudah datang.

"Kirana, mereka belum datang?" Elisa mendekati Kirana sambil mengikuti arah pandang gadis itu dan Kirana hanya menggeleng. Ia tahu kalau hari ini adalah waktunya untuk belanja bulanan tetangganya.

"Nanti aku beliin tante oleh-oleh,"

"Iya, jangan lupa foto-foto yang banyak."

"Pasti!" Kirana memiringkan kepalanya, matanya tertuju pada sebuah foto yang tergeletak tepat di sebelah kaki kanan bibi Elisa dan memungutnya. "Dylan?"

"Eh, jatuh ya dari kantong? Nggak berasa," kata tante Elisa sambil tertawa. "Iya kamu kan tahu kalau tante penggemar beratnya, sengaja nih mau kasih ke kamu. Tolong mintain tanda tangan Dylan ya?"

Kirana tersenyum melihat tingkah tetangganya yang begitu menggemari penyanyi jaman sekarang seperti ini. Padahal umurnya sudah tidak muda lagi, tapi memang jika diingat, apartemen tetangganya itu hampir semua kamar dan dapurnya, maupun dipintu kulkasnya penuh dengan poster Alva dan Dylan. Jika diperhatikan lebih saksama, tante Elisa lebih banyak memiliki poster Dylan, wajar ia memilih tanda tangan Dylan. "Oke, nanti akan aku mintain khusus buat tante."

Obrolan mereka terhenti karena klakson taksi yang begitu mengganggu dan ternyata Dylan muncul dari jendela mobil tersebut. "Kelinci, ayo!"

Kirana langsung meraih gagang kopernya, ia hendak berpamitan dengan tante Elisa, tapi wanita itu malah bergegas kembali ke pintu lift. "Loh, bukannya tante mau pergi?"

"Daftar belanjaan tante ketinggalan."

"Oh, aku pergi tan!"

"Hati-hati," Jawab Elisa tanpa menoleh, sepertinya ia benar-benar lupa dengan daftar belanjaannya.

Tanpa bantuan, Kirana mengangkat kopernya yang cukup besar dan berat menuruni anak tangga lobby. Ia tidak mempedulikan celotehan Dylan yang menyuruhnya untuk berjalan lebih cepat. "Manajer Koh sama Alva?" mata Kirana celingukan mengintip dari luar mobil.

"Mereka pergi bareng terus gue kesini jemput lo," Kirana menghela nafas dengan berat. "Kenapa? Lo berharap Alva yang jemput?" Dylan tersenyum sinis. "Sekarang kita putar balik ke apartemen gue."

"Mau ngapain?"

"Mendadak disuruh ngambil gitar," mendengar jawaban laki-laki itu membuatnya sebal. Tidak butuh waktu lama mereka sudah tiba di depan gedung bertingkat dan terlihat mewah.

Dylan menyerahkan sebuah kunci apartemennya yang berupa kartu dan Kirana mengambilnya dengan kasar. Apartemen itu memiliki lift pribadi jadi tidak perlu repot menunggu giliran. Tidak lama ia sudah berada di apartemen Dylan yang rapi, bersih, serta teratur. Tidak seperti yang ia gambarkan dalam pikirannya. Di ruangan keluarga hanya terdapat piano besar berwarna hitam, tapi sepertinya jarang ia mainkan. Kirana tidak terlalu peduli dan langsung menuju kamar utama yang disulap menjadi sebuah ruang musik. Lebih tepatnya ruang kerja; organ kecil mengisi sudut ruangan, meja tulis berisi beberapa tumpukan kertas yang penuh dengan coret-coretan dan berantakan−sepertinya lirik lagu yang baru ditulis; selain tumpukan kertas juga terdapat miniatur-miniatur lucu alat-alat musik, mereka berderet rapi. Kirana tersenyum dan matanya tertuju pada sebuah pigura yang menarik perhatiannya. Dalam figura tersebut terdapat sebuah foto Dylan bersama seorang laki-laki berumur yang berwajah serius, tapi ia tidak terlalu peduli. Tujuannya saat ini untuk mengambil gitar.

Dengan cepat ia mengambil ponsel dari dalam sakunya. "Dylan, ada tiga gitar. Aku harus ambil yang mana? Yang ukuran sedang atau besar?" Kirana kembali menatap dua gitar besar di hadapannya.

"Besar, warna hitam dengan ukiran putih. Masukkan ke dalam tasnya pelan-pelan," jelas Dylan diujung telepon tanpa mendapat jawaban dari Kirana.

          

Manajer Koh dari kejauhan sudah berkacak pinggang saat melihat Dylan dan Kirana muncul. "Aku pikir kali ini kamu nggak bakalan datang dan kabur entah kemana."

Dylan tersenyum. "Memangnya aku pernah kabur?" jawabnya santai.

Kirana duduk bersebelahan dengan Alva, matanya menyusuri ruang tunggu bandara. Pertama kali dalam hidurpnya ia naik pesawat dan langsung ke Eropa. Luar biasa. Ia mengerjapkan matanya dan segera mengambil ponsel untuk mengirim pesan.

"Kirim ke siapa?" tanya Alva karena heran melihat Kirana begitu senang saat mengirim pesan singkat tersebut.

"Tante Elisa tetanggaku," jawab Kirana dan menyunggikan senyumnya. Kirana mengeluarkan sebuah tabung kaleng kecil berisi permen buah favoritnya. "Mau?"

"Maaf Kirana, aku−"

"—Dia nggak suka yang manis-manis," celetuk Dylan. Tanpa ijin, Dylan sudah menyambar permen tersebut dari tangan Kirana. "Enak, aku suka ini.

Kirana melirik laki-laki itu sambil bergumam tidak senang.