webnovel

Hug Me, Idiot !

Pertama kali jatuh cinta. Pertama kali mencintai dan dicintai. Couple ini sama-sama bodoh dan masih belajar untuk lebih saling mengerti. Saling terpesona satu sama lain.

elle_nuna · Televisi
Peringkat tidak cukup
4 Chs

Be Friend (2)

.

.

.

Saat ini, Tin sedang fokus menyetir mobilnya sementara Can duduk diam di sebelahnya. Sesekali Can melirik Tin. Ia ingin mengatakan sesuatu tapi tidak tahu harus mengatakan apa.

Sejak mobil Tin meninggalkan lingkungan sekolah dan kini mereka dalam perjalanan menuju rumah Can, Tin sama sekali belum mengatakan apapun selain "cepat masuk".

Can merasa sangat canggung sejak ia masuk ke dalam mobil Tin. Bahkan ketika Tin tanpa aba-aba, bergerak mendekati Can dan memasangkan sabuk pengamannya, Can tidak tahu harus mengatakan apa dan melihat ke mana. Tubuh Can malah menegang penuh kecanggungan dan salah tingkah. Ia bahkan tidak sadar kalau saat itu ia menahan nafasnya dan wajahnya sudah mulai memerah.

Butuh waktu sekitar 20 menit dari sekolah untuk sampai ke rumah Can. Tapi entah kenapa Can merasa waktu berlalu sangat lambat. Dilihatnya ke luar jendela, kendaraan di jalanan memang cukup padat tapi bahkan meskipun agak macet, biasanya tidak akan memakan waktu sampai lebih dari 30 menit. Tapi lagi-lagi waktu terasa berjalan sangat lambat di dalam mobil Tin.

Setelah hampir 10 menit berada dalam keheningan yang canggung, akhirnya Tin mengatakan sesuatu.

"apa kau lapar?" tanya Tin pada Can.

"Aku.." belum selesai Can menjawab Tin sudah memotong lebih dulu, "kalau lapar, tidak perlu ditahan. Kita akan mampir makan dulu."

Can bingung dan ragu ingi bicara tapi akhirnya ia berkata, "tapi... mau makan apa?"

Tin melirik Can sekilas.

"kau mau makan apa. Katakan saja. aku bukan orang yang pemilih." Jawab Tin singkat.

"aku..." belum selesai Can menjawab, lagi-lagi Tin memotong, "karena kau lambat, kita akan makan hot pot saja."

Mata Can membelalak dan ia menoleh ke arah Tin. Sikapnya menunjukkan pertanda antusias tapi Can berusaha mengendalikan dirinya.

Tin lagi-lagi melirik Can sekilas. Reaksi singkat Can tidak lepas dari perhatiannya. Saat Tin menunjukkan sekilas senyum yang sangat tipis itu di bibirnya, Can sudah kembali menoleh ke arah lain dan sibuk dengan pikirannya sendiri.

Can memang antusias setelah mendengar Tin mengatakan kalau mereka akan mampir untuk makan hot pot.

Dalam hati, Can berpikir, "bagaimana mungkin dia mengajakku makan hot pot? Apa mungkin dia tahu kalau aku sangat suka hot pot? Tapi..." Can menggelengkan kepalanya beberapa kali.

"tidak.. apa yang kupikirkan. Itu benar-benar sebuah kemustahilan. Hmm.. ooyyy Can..." 

Can yang tadinya antusias kini malah menunjukkan sedikit ekspresi rasa kecewa tapi ia tidak menunjukkannya di depan Tin karena ia sudah lebih dulu mengalihkan wajahnya ke arah jendela mobil.

Tin sebenarnya memperhatikan gerak-gerik Can ketika menggeleng-gelengkan kepalanya seperti menolak memikirkan sesuatu tapi Tin tidak mengatakan apapun dan berusaha kembali fokus menyetir.

Mobil sudah tiba di parkiran. Sementara Can masih mengagumi restoran hot pot yang kini ada di hadapannya, Tin sudah turun dan membuka pintu mobil untuk Can.

Can tentu saja terkejut menyadari perlakuan baik Tin yang tiba-tiba ini. Tapi ia sama sekali tidak berani berkomentar apalagi protes.

Tin menunggu Can turun dari mobil lalu menutup kembali pintu mobilnya. 

Selama beberapa detik, Tin dan Can berdiri diam di samping mobil Tin.

Can diam karena menunggu Tin yang masih diam saja. 

Sesaat kemudian, Can lagi-lagi kembali dikejutkan dengan tindakan Tin yang kini memegang pergelangan tangannya dan membawanya masuk ke dalam restoran. Can menelan ludahnya pelan dan pandangannya kini hanya tertuju ke arah Tin. Ia lagi-lagi tidak menyadari wajahnya yang kini kembali mulai memerah. Untuk beberapa waktu, Can tidak dapat mengendalikan debaran di hatinya.

Sesampainya di dalam, Tin menarik kursi untuk diduduki oleh Can.

Can pun langsung duduk dan masih tidak tahu harus mengatakan apa tahu bereaksi bagaimana.

Tin memanggil pelayan yang kemudian memberikan buku menu kepadanya.

Tin memberikan buku menu kepada Can lebih dulu. "pilihlah" katanya singkat.

Can mengecek isi buku menu yang ada di tangannya. Matanya perlahan membelalak dan ia secara tidak sadar menjilat bibirnya seolah ia benar-benar ingin memakan makanan enak yang ada di dalam buku menu.

Tin yang sejak tadi memperhatikan, sedikit menyipitkan matanya dan lagi-lagi sekilas senyum tipis muncul di bibirnya. Dan Can tentu saja tidak menyadari senyum yang sangat singkat itu.

Setelah beberapa waktu, Can mengatakan pesanannya kepada pelayan dan Tin juga begitu.

Tadinya, Can sempat ragu ingin memesan ketika ia melihat harga yang ada di buku menu tapi Tin yang sigap dan teliti memperhatikan Can sejak tadi, memahami hal ini. Ia pun berkata, "pesan apa saja. karena kau menyedihkan, aku akan mentraktirmu malam ini."

Can sebenarnya sedikit kesal ketika mendengar ucapan Tin, tapi begitu mendengar kata "traktir" rasa kesalnya itu segera ia singkirkan dan diganti dengan perasaan senang.

Dalam hati, Can berpikir, "baiklah. Karena kau bersedia mentraktirku, aku tidak akan menolak dan akan memanfaatkanmu untuk hari ini. Dasar..." Memikirkan hal ini, Can berusaha keras menahan senyumnya.

Can tidak menyadari kalau dari tadi Tin memperhatikan dirinya dan bahkan menangkap sekilas senyum yang terkesan jahil yang muncul dari bibir Can.

Menu yang dipesan akhirnya tiba. Tin dengan sigap mulai mencampur bahan hot pot satu persatu sambil memasukkannya ke dalam panci panas yang ada di hadapan mereka. 

Can memperhatikan setiap bahan yang dicampur oleh Tin. Dalam hati, Can merasa sangat senang karena campuran bahan yang dibuat oleh Tin sangat sesuai dengan seleranya. Tin bahkan memesan dua porsi daging tambahan untuk menu hot pot mereka.

Tin sangat menyadari kalau Can sudah tidak sabar ingin menyantap menu yang mereka pesan ini. Setelah bahan-bahan di panci dinilai matang, Tin segera mengambil mangkuk Can dan mengisinya dengan banyak daging dan kuah secukupnya. 

Can yang sudah lupa diri, langsung saja menerima mangkuk berisi daging yang diletakkan oleh Tin di hadapannya. Can bahkan sudah tidak terlalu memperhatikan ketika Tin mengatakan, "makanlah dengan santai."

Tin agak khawatir ketika melihat Can yang makan secara terburu-buru tanpa benar-benar menunggu makanannya sedikit mendingin. Tapi Tin tidak mengatakan apapun. Ia hanya menggelengkan kepalanya tidak habis pikir.

Tin lalu mengambil mangkuk satu lagi dan menuangkan isi yang sama seperti yang ia berikan kepada Can. Tin lalu meletakkan mangkuk itu di dekat Can. Ia sengaja menyiapkan sajian itu agar sempat agak mendingin lebih dulu sebelum disantap oleh Can.

Setelah habis tiga mangkuk dan kini sedang menyantap mangkuk yang ke empat, Can berhenti menyendok makanannya. Ia melihat ke arah Tin. Can baru sadar kalau sedari tadi Tin belum memakan apapun dan hanya sibuk membuat campuran bahan hot pot.

Meskipun sempat ragu, akhirnya Can mengatakan sesuatu, "mengapa kau tidak makan apapun?"

Tin agak terkejut menyadari kalau ternyata saat sedang sibuk-sibuknya makan, Can masih sempat memperhatikannya.

"aku tidak makan sebanyak dirimu" jawab Tin singkat.

Can sebenarnya merasa agak kesal dan tersinggung tapi ia mengabaikan perasaannya itu. Can merasa cukup tahu diri setelah ditraktir oleh Tin.

"makanlah sesuatu. Kalau memang tidak makan banyak. Setidaknya makanlah sedikit." Can berbicara sambil menyiapkan semangkuk makanan lalu memberikannya kepada Tin.

Tin menerima makanan itu. tapi tidak mengatakan apa-apa dan tidak langsung mulai memakannya. Tin  hanya memandang Can penuh arti.

"ini sangat enak. Sungguh. Makanlah. Kau membuatku merasa menjadi orang yang tidak tahu terima kasih." Ucap Can berusaha meyakinkan Tin agar segera makan.

Mendengar Can, Tin tidak ingin merusak suasana dan langsung memakan makanan yang disiapkan oleh Can.

Selesai makan dan setelah membayar, keduanya kembali masuk ke dalam mobil.

Seperti ketika datang tadi, Tin lagi-lagi membukakan pintu mobil untuk Can dan setelah memastikan Can duduk dengan nyaman, ia menutup pintu mobilnya.

Sebelum mulai mengemudi, Tin juga tidak lupa memasangkan sabuk pengaman untuk Can.

Can yang tidak mau merasakan kecanggungan yang sama seperti sebelumnya, berusaha mencari sesuatu yang bisa dijadikan bahan pembicaraan.

Setelah beberapa waktu,

"terima kasih" kata Can.

Tin melirik Can.

"kau sudah membantu mengobati lukaku dan kau juga mentraktirku makan enak."

Lagi-lagi Tin hanya melirik sekilas.

"Hey.. katakan sesuatu, kau membuatku merasa aneh." Can mulai tidak sabar mengharapkan tanggapan dari Tin.

"sama-sama. tidak perlu merasa tidak enak." Jawab Tin singkat.

Tin kembali diam sesaat.

Ia meneliti ekspresi Can dengan teliti, kemudian melanjutkan ucapannya, "aku senang mentraktirmu."

Can yang tadinya hanya melihat ke arah jalanan di depannya, langsung menoleh ke arah Tin, "Hah... apa?" Can ingin memastikan apa yang baru saja ia dengar.

Diperhatikan oleh Can, membuat Tin jadi salah tingkah. Ia ingin menghindari tatapan Can tapi akhirnya ia menoleh ke arah Can dan mengatakan, "aku senang mentraktirmu..." Tin terdiam sesaat dan melanjutkan "temanku".

Tin langsung kembali fokus menyetir mobilnya. Ia kembali menghadap ke depan dengan canggung. Tapi terlihat ia sedikit mengernyitkan dahinya seolah ia merasa sedikit kesal tapi kemudian sekilas senyum tipis muncul di bibirnya.

Kali ini, senyuman tipis yang muncul di bibir Tin itu, tidak lepas dari perhatian Can.

Can kaget. Matanya perlahan membelalak dan ia merasa wajahnya memanas. Merasakan sesuatu yang aneh, segera membuat Can memalingkan wajahnya ke arah jendela mobil. Can berusaha keras menutupi wajahnya agar tidak terlihat oleh Tin.

Menghadap ke arah kaca jendela mobil, Can membekap kedua pipinya yang kini sudah jelas memerah karena perasaan hangat yang ada di hatinya.

Lagi-lagi, untuk kesekian kalinya, Can kembali mengingat senyum tampan yang ia lihat secara diam-diam. Senyum yang muncul di wajah Tin ketika ia tidak sengaja memergoki Tin yang sedang berada di kelasnya sendirian.

Tin tidak tahu apa yang kini sedang dipikirkan oleh Can.

Sesampainya di depan rumah Can, Tin kembali membukakan pintu mobil untuk Can.

Ketika hendak mengucapkan selamat tinggal, Tin menyadari kalau wajah Can kini memerah. Ia segera bertanya, "apa sakitnya semakin parah?"

"apa?" Can tidak mengerti maksud pertanyaan Tin.

"Wajahmu merah. Apa kau demam?" tanya Tin khawatir.

Mendengar ucapan Tin dan mengerti maksud pertanyaan Tin, Can segera menutupi wajahnya kedua pipinya dengan telapak tangannya.

"tidak. Aku...aku..." Can memikirkan alasannya, "aku baik-baik saja. ini karena udaranya dingin. Aku masuk sekarang." 

Can ingin segera berlari masuk ke rumahnya. 

Tapi ia menyadari sesuatu. 

Can yang sempat membalikkan badannya, kembali menoleh ke arah Tin, 

"sekali lagi terima kasih. Aku..." ucapan Can sempat terhenti tapi ia kembali melanjutkan, "aku...sangat senang. Hati-hati di jalan." 

Can mengucapkan semua yang ingin dia katakan dan setelah itu ia langsung berlari masuk ke dalam rumahnya. 

Ia tidak ingin Tin melihat ekspresi wajahnya yang menurutnya sekarang sangat memalukan.

Mendengar ucapan Can, Tin tertegun. Setelah beberapa waktu, ia menggaruk tungkai lehernya pelan dengan ekspresi salah tingkah, bingung tapi juga ada jejak perasaan senang di wajahnya.

Tin melihat ke arah jendela kamar Can yang kini lampunya sudah menyala, pertanda Can sudah sampai di kamarnya. Tin tersenyum, bukan hanya senyum tipis tapi kali ini ia benar-benar tersenyum.

Setelah beberapa waktu, Tin menaiki mobilnya dan pergi meninggalkan rumah Can.

.

.

.

01.33

08 November 2019

RE:23/10/2020/23:56