webnovel

Senja (Pertemuan dengan Dia)

Namaku Senja Arkenza, dan kalian bisa memanggulku Senja. Tapi tolong jangan panggil aku Bodoh.

Usiaku sekarang menginjak 17 tahun, sayangnya aku tidak ingin bertambah menjadi orang dewasa.

Hobiku adalah membuat puisi, meskipun begitu kisah hidupku tidak seindah puisi yang ku rangkai.

Parasku tidak cantik, dan aku bukan gadis populer seperti cerita yang lain. Hanya seorang gadis dengan rambut yang di kuncir dua, berkacamata bulat dengan tas ransel berwarna pink yang selalu aku bawa. Tidak lupa aku juga selalu membawa cardigan berwarna pink, karena itu warna kesukaanku.

Orangtuaku memang kaya, tapi mereka tidak pernah ada untukku. Setiap anak orang kaya pasti seperti itu, orangtua mereka sibuk mencari uang saja.

Oh ya! Aku juga selalu di bully oleh satu geng yang berisikan gadis-gadis cantik dan modis. Rasanya memang sakit dan menyiksa, tapi itu sudah biasa meskipun setiap hari aku harus pergi ke psikolog.

Kisahku ini mungkin hambar, tapi ini adalah kisah yang aku tulis dengan ketikanku sendiri. Walaupun tangan dan hati ini bergetar jika membayangkan nya kembali.

Dan semuanya akan di mulai saat aku duduk di bangku sekolah dasar.

*

"Aku menemukan Langit, namun aku kehilangan dia. Tapi Senja pasti akan menemukan Langit kembali."

*

Dilihat dari kejauhan seorang gadis kecil berkuncir dua tengah berlarian kecil di sebuah taman.

Perlahan gadis kecil itu terdiam ketika dia melihat sebuah layangan terbang di langit yang tinggi.

Dia hendak berlari mengejar layangan itu, namun kakinya tersandung dan dia terjatuh.

Tepat sekali di hadapannya, ada seorang anak lelaki yang melihatnya dengan aneh karena gadis itu terjatuh di atas tumpukan lumpur.

Benar, itu adalah aku Senja. Aku tersenyum kearahnya sambil mengatakan "Kamu tampan."

Anak lelaki seusiaku itu hanya menatapku sekilas, kemudian dia duduk di sampingku padahal dia tahu bahwa tempat itu penuh dengan lumpur.

"Kamu kodok ya?" tanya nya, dan aku hanya bisa melihatnya dengan aneh.

"Aku?" tanya diriku.

"Iya, kenapa kamu bermain lumpur?" tanya nya. Jelas sekali dia tahu bahwa aku terjatuh karena mengejar layangan yang dia mainkan.

"Mengejar layanganmu, apa tidak boleh?" tanyaku, dan kemudian aku beranjak duduk di sampingnya sambil membenarkan kacamata yang menghimpit hidungku.

"Kamu lucu," ujarnya tertawa ketika melihat wajahku yang penuh dengan lumpur. Sedangkan aku hanya bisa melihat diriku yang kacau ini dari cermin yang dia berikan.

Aku langsung menghapusnya, dia malah sengaja menempelkan lebih banyak lumpur yang menggumpal tepat di wajahku.

Awalnya hal itu terasa canggung, namun lama-kelamaan sepertinya aku menyukai dia.

"Aku Langit, kamu?" tanya nya sambil menjulurkan tangan kanannya kearahku.

"Senja," ujarku sambil menjabat tangannya.

"Kita bertemankan?"

"Iya."

Dan mulai saat itu kami berteman sangat dekat, sampai setiap hari kami bisa menghabiskan waktu bersama.

Aku dan Langit ternyata bersekolah di sekolah yang sama. Dia selalu baik padaku setiap saat sudah seperti kakak yang menjaga adiknya. Langit selalu menolak bermin dengan temannya, padahal dia punya banyak teman yang mengajak dia bermain, tapi Langit hanya ingin bermain bersamaku saja.

Hingga suatu ketika Langit tidak lagi mencariku, bermain, atau menyapaku kembali. Wajahnya selalu saja datar, seperti tidak mengenalku padahal kita sudah lama berteman.

Sampai suatu ketika aku mengetahui bahwa Langit sudah pindah sekolah. Betapa hancurnya diri ini ketika menerima kenyataan bahwa teman yang selama ini aku miliki sudah tidak bisa berjumpa lagi.

"Pak, apa Langit sudah pindah?" tanyaku, dan semua orang menjawab hal yang serupa.

Aku terdiam sejenak, membayangkan kembali kenangan bersama Langit. Bukankah dia terlalu tega jika harus membiarkanku seorang diri seperti itu? Dan perpisahan antara kami sangat tidak bermakna.

"Langit, aku akan menemukanmu kembali." ujarku bertekad untuk bisa menemukan Langit kembali. Karena Senja tanpa Langit, tidak akan sempurna.

Semenjak Langit pindah, lama-kelamaan aku merasakan yang namanya bullying. Aku selalu saja di ejek, di jahili, dan yang lainnya sampai rasanya terlalu sesak untuk berada di dalam kelas.

Aku tidak marah kepada mereka, karena aku tahu mereka tidak berniat seperti itu.

Mungkin mereka hanya ingin bermain saja?

Bukankah hal yang wajar untuk anak kecil?

Namun kewajaran itu ternyata tidak bisa aku toleransi lagi. Sudah banyak sekali hal buruk yang mereka lakukan kepadaku. Kadang mereka mengatakan kalau aku penyebab Langit pindah. Dan mereka juga selalu saja mengatakan kalau aku bodoh karena memakai kacamata di usiaku yang terbilang dini.

Setiap hari aku hadapi kata-kata kasar mereka dengan senyuman. Jika mereka memintaku membeli sesuatu aku akan menurutinya, karena kalau tidak mereka pasti akan membawaku ke kamar mandi dan memukulku.

Bukannya aku tidak bisa melawan, aku hanya tidak mau melukai orang lain dengan tanganku. Karena aku punya tekad sendiri, lebih baik di sakiti dari pada menyakiti orang lain.

"Bodoh! Bisa kamu kerjakan PR ku?!" tanya seorang gadis yang aku panggil dengan Zeana. Dia adalah orang pertama yang membully-ku.

"Kenapa harus aku yang kerjakan Zea?" tanyaku sambil membenarkan kacamata yang menghimpit hidungku.

"Karena kamu pintar!" ujarnya dengan tegas. Bahkan buku yang dia genggam di lempar tepat kearah wajahku dengan kasar.

"Kenapa kamu lakukan ini?" tanyaku, karena aku tidak punya salah pada dia.

"Karena aku hanya ingin kamu tersiksa, kerjakan!" ujarnya.

Inilah alasan kenapa aku tidak mau pintar. Aku tidak mau di jadikan sebagai alat oleh seseorang yang ingin memanfaatkan kepintaranku. Cukup, mulai dari hari ini dan seterusnya aku tidak mau jadi pintar lagi, jadi orang biasa saja agar aku bisa di bully oleh mereka.

Kali ini aku tengah makan di dalam kelas, banyak juga anak lain yang tengah memakan bekalnya. Namun aku selalu saja di kerjai, bekal yang aku bawa ternyata sudah di berikan kepada anjing oleh Zeana.

Zeana memang memiliki wajah sangar dan kelakuannya juga begitu, tidak terlalu pintar tapi ingin menang dalam segala hal hingga dia melakukan segala cara untuk melakukannya termasuk dengan membuat aku tidak berdaya dan mundur dari perlombaan yang akan dia ikuti.

"Zeana, apakah kamu tidak punya perasaan?" tanyaku pada Zeana ketika dia tertawa melihatku tidak bisa makan karena kelakuannya.

"Apa yang aku inginkan harus terjadi!" tegas Zeana sambil mendorong tubuhku hingga terjatuh.

Zeana selalu melakukan hal itu kepadaku, aku juga sering bertanya kenapa dia seperti itu? Tapi dia selalu menjawab hal yang sama 'melihatku tersiksa'.

"Kenapa dia jahat sekali?" tanyaku menangis tersedu-sedu.

Sepulang sekolah aku tidak pulang ke rumah. Aku pergi ke salah satu toko di samping sekolah yang menjual banyak kue kesukaanku.

"Kenapa denganmu Senja?" tanya Bibi pemilik toko kue tersebut.

Karena aku sudah sering kesana, maka dia sudah kenal denganku dan sebaliknya.

"Bibi, apa yang paling enak hari ini?" tanyaku yang masih polos.

"Aku membuatkan pie keju kesukaanmu, apakah kamu ingin mencicipinya?" tanya Bibi itu. Tentu saja aku mau.