webnovel

Rumah (Bukan tempat pulang)

*

"Aku kira rumah adalah tempat pulang, ternyata hanya tempat untuk berteduh."

*

Setelah memakan banyak pie keju yang enak, aku memutuskan untuk pulang karena supirku sudah menjemput.

Kadang aku iri ketika melihat anak-anak seusiaku di jemput oleh orangtua mereka, sedangkan aku? Hanya supir. Tapi tidak apa-apa, selama kedua orangtuaku masih menyayangiku.

Sesampainya di rumah, aku memanggil kedua orangtuaku. Tidak ada sautan dari mereka, hanya ada Bi Imas- pembantuku yang menghampiriku sambil memelukku.

"Non, mau makan sekarang?" tanya Bi Imas kepadaku. Tapi aku menggeleng, yang aku inginkan bukan makanan ketika pulang sekolah, tapi kehadiran kedua orangtuaku.

"Mama sama Papa kemana, Bi?" tanyaku. Meskipun aku tahu jawabannya sama, entah kenapa aku hanya ingin Bi Imas menjawab berbeda dari sebelumnya.

"Masih di kantor, Non."

Aku menghela napas gusarku "Yasudah Bi, aku mau pergi ke kamar saja."

Bi Imas kadang kasihan denganku, mungkin karena setiap hari aku selalu saja di acuhkan karena kedua orangtuaku adalah pengusaha dna masing-masing di antara mereka menjalankan usaha mereka sendiri.

Kebiasaanku setelah pulang sekolah adalah membuat puisi pendek, itu semua aku lakukan hanya untuk menenangkan hatiku yang gundah-gulana.

Aku mulai membuka buku diary yang tergeletak di atas meja, tanpa mengganti seragam aku langsung mencurahkan isi hatiku di sana.

Rumah

Aku tahu kau hanya tempatku singgah

Beristirahat setelah seharian lelah

Namun apakah aku boleh berharap?

Baru saja aku menulis puisiku sampai tiga baris. Ketukan pintu membuatku terlonjak.

"Non, segera makan siang ke bawah ya?!" ujar Bi Imas.

"Iya Bi!"

Dengan segera aku mengganti pakaianku dan berlarian menuju lantai bawah.

Aku duduk di meja makan, disana sudah banyak hidangan lezat yang bisa aku pilih. Namun aku tidak menyukainya, karena rasanya hampa. Makanan lezat atau yang lainnya tidak berarti untukku, yang aku inginkan hanyalah kehangatan keluarga.

"Kenapa hanya di lihat saja Non?" tanya Bi Imas.

Aku tidak enak jika harus menolak dia, maka aku makan saja apa yang ada di depanku. Tahu dan tempe.

Bi Imas menatapku, mungkin aneh saja kalau aku hanya makan itu. Sedangkan masih banyak makanan lain yang memiki warna menarik.

"Kenapa Bi?"

"Tidak Non."

Sekilas Bi Imas terus memperhatikan aku, terlihat lebih inci ketika dia melihat ada bekas pukulan di tangan yang aku usahan untuk menutupinya.

"Kenapa Bi?"

"Non, kenapa tangannya bisa sampai biru gitu?" tanya Bi Imas meraih tanganku.

Aku hanya terdiam, lalu tersenyum sambil mengelak."Tidak apa-apa kok Bi, tadi di sekolah ku jatuh."

"Beneran?"

"Iya, aku baik-baik saja." ujarku. Terpaksa aku harus berbohong, karena kalau tidak Bi Imas pasti akan mengadu pada orangtuaku, dan itu akan berakibat panjang.

"Kenapa Bi? Makan saja denganku Bi."

"Tidak Non, silahkan di lanjut."

Aku tersenyum, mungkin Bi Imas lapar tapi tidak mau mengganggu aku makan. Dari karena itu aku mengambil piring dan ku isi nasi serta lauk yang banyak.

"Jangan sungkan Bi, lagian siapa yang bakalan habisin ini semua?" tanyaku.

"Bukannya orangtua Non bakalan pulang ya? Ini hari kamis kan?" tanya Bi Imas.

Mendengar itu aku hanya terdiam,"Bibi lupa ya? Hari-hari kamis yang lalu saja mereka tidak menepati janjinya."

Bi Imas mengelus puncak kepalaku, mungkin untuk menenangkan diirku agar tidak bersedih.

"kalau sudah makan, nanti naik ke atas ya, buat tidur."

"Iya Bi."

Sebelum aku naik ke lantai atas, mataku selalu saja menerawang kearah pintu utama. Aku hanya berharap kedua orangtuaku pulang dan tersenyum kearahku, lalu memelukku.

"Aku kira ini rumah," gumamku dengan sedih.

Kalau anak kecil pasti akan menangis jika dia bersedih, tapi aku harus tetap kuat meskipun rasanya sakit.

Bukan hanya itu, aku juga membuka pintu kamar kedua orangtuaku. Rapi sekali, seperti tidak ada yang menempatinya saking jarang pulangnya.

Di rumahku banyak pelayan, mereka yang selalu mengurusku. Tapi aku lebih dekat dengan Bi Imas karena dia sudah lama ikut dengan keluargaku, mungkin saat bayi pun dia sudah ada.

Dari pada banyak berangan lebih baik aku kembali ke kamar dan mengerjakan PR ku.

Di dalam kamar, aku melihat fotoku yang berada di atas nakas. Di sisiku ada Mama dan Papa yang aku sengaja tempel karena kami belum punya foto keluarga.

Di setiap dinding rumah, hanya ada piagam dan sartifikat saja yang terpasang. Tidak ada foto keluarga, bahkan foto waktu aku kecil pun tidak ada. Album foto? Aku juga tidak punya.

"Non, kenapa hanya diam saja?" tanya Bi Imas yang baru masuk kedalam kamarku.

Aku meletakkan foto yang aku lihat itu.

"Sudah, tidur siang yuk."

Bi Imas memang lembut sekali, dia bahkan lebih baik dari Mama ku, mungkin.

Aku memutuskan untuk tidur siang, agar Bi Imas bisa tenang. Padahal aku tengah membaca dongeng agar perasaanku bisa lebih baik.

Tidak sadar ternyata waktu sudah hampir malam, aku bergegas membersihkan tubuhku dan kembali menuju lantai bawah.

"Bi, apa Mama sudah pulang?" tanyaku, karena samar-samar aku mendengar suara mobil nya.

"Udah pergi lagi Non."

Aku menghela nafas gusarku, pergi lagi dan lagi. Begitulah mereka, tidak peduli padaku. Mereka juga tidak tahu kesulitan yang aku alami, padahal anaknya ini selalu saja di bully.

"Kenapa Non?" tanya Bi Imas, karena aku masih disini.

"Tidak Bi, aku akan main ke taman disana, bolehkan?"

"Jangan Non, udah mau malam. Non Senja main di taman belakang saja."

Aku menggeleng, tidak ada yang indah selain taman di sana.

"Kalau begitu biar Bibi temani ya?"

"Tidak usah, aku hanya ingin sendiri Bi."

"Tapi Non."

"Bi, bolehkan?"

"Non, harus kesana dengan pelayan. Jangan sendirian, Bibi tidak tenang."

"Baik kalau begitu."

Mau bagaimana lagi, kalau tidak mau lagi bisa-bisa aku harus terus di rumah ini. Rumah yang nyatanya hanya tempat singgah saja.

Sesampainya di taman, aku tidak berlarian seperti sebelumnya. Rasanya letih saja, karena sebagian tenagaku di bawa pergi oleh Langit. Aku hanya bisa duduk termenung sambil menatap langit yang berwarna jingga.

"Non, sudah saatnya pulang." ujar pelayan yang berada cukup jauh dariku.

Aku tidak menggubrisnya, melihat senja seketika bisa mengobati luka hatiku. Karena di sana aku melihat senja dan langit yang bersama. Apakah aku dan Langit akan seperti itu?

"Langit, aku merindukanmu." ujarku, tanganku hendak menggapai senja itu, tapi aku sadar bahwa aku tidak mampu.

Mengapa senja di langit sangat indah sekali?

Tapi kebapa Senja yang duduk di taman tidak indah?

Ah, aku bukan Senja yang di harapkan oleh semua orang. Bahkan kehadiranku hanya menbuat semua orang merasa terganggu, tapi jujur bahwa aku tidak berharap di inginkan oleh seseorang. Karena yang Senja butuhkan hanyalah Langit sebagai perantara kebahagiaan yang di harapkan oleh semua orang.

Benar bukan apa yang aku katakan ini?