Mataku membuka perlahan. Aku mengerang pelan sambil meregangkan setiap bagian tubuhku. Mentari pagi yang masuk melalui ventilasi menyinari ruang tengah dengan cahayanya yang lembut.
Hidungku terpikat pada sebuah aroma. Aroma yang terasa lezat dan menggugah perut. Suara-suara yang terasa khas pun ikut terdengar.
Kuikuti suara dan aroma itu perlahan. Mencari-cari dari mana ia berasal.
Di hadapanku, sebuah sosok. Sosok yang membelakangiku. Sebuah celemek tampak terikat dengan kencang di punggungnya. Lelaki itu sibuk dengan apa yang ia lakukan.
Ia terlihat sangat keren, seperti seseorang yang bisa diandalkan. Pikirku.
"Oh! Kau sudah bangun?" Ujar laki-laki itu menoleh ke arahku. "Duduklah. Sarapannya sebentar lagi siap."
"Silahkan dinikmati selagi panas."
Ia menaruh nasi goreng buatannya di piringku. Masakannya terlihat lezat. Aku dapat melihat asap mengepul di berbagai bagian, menandakan nasi yang masih hangat dan dalam kondisi terbaik untuk disantap.
"Baiklah, selamat makan!" Kataku bersemangat. Tak sabar untuk merasakan betapa lezatnya masakan Ryan.
Sampai akhirnya aku menyesalinya.
"Bagaimana? Apakah rasanya enak?"
"Ya! Tentu. Ini enak sekali kok. Kau sangat hebat memasak." Kataku mengada-ada.
"Kalau begitu makanlah yang banyak. Kau akan menempuh perjalanan yang cukup panjang, kau harus mengisi perutmu." Ujarnya.
"Ya tentu." Kataku sambil berusaha tampak makan dengan lahap.
Ryan tersenyum melihatku makan. Membuatku semakin tak ingin mengkhianati senyumannya.
"Sudahlah, Hina. Tak perlu berbohong begitu." Sela Ryan. Raut wajahnya langsung berubah.
"Aku tahu masakanku tidak enak. Aku tahu itu. Tapi, berapa banyak pun kursus memasak yang kuikuti hasilnya selalu saja sama. Aku tidak pernah bisa memasak makanan yang enak."
Ryan menyandarkan kepalanya ke meja makan. Tangan kanannya menjulur ke depan sedang tangan kirinya menopang kedua dagunya.
"Ahh sepertinya masak memang bukan bidang yang bisa kukuasai." Keluhnya.
"Buang saja masakanku ke tong sampah di sana. Lalu di atas lemari bagian kanan ada roti dan selai." Ryan menunjuk-nunjuk.
"Buat saja roti panggang atau apapun yang kau mau. Aku ingin ke kamarku dulu."
Ryan melepas celemek yang ia kenakan dan mulai berjalan pergi.
"Ryan, tunggu!" Teriakku.
Ryan berhenti dan menoleh.
"Apa kau masih punya bahan masakan yang tersisa?"
"Ya, kau cek saja di kulkas."
"Boleh kugunakan dapurnya?"
"Pakai saja sesukamu." Ucap Ryan tak peduli. Ia kembali berjalan pergi.
"Hey tunggu duluuu!"
"Ehh ehh apa yang kau lakukan."
"Duduk di sini dan tunggu!" Kataku bercanda dengan nada memarahi.
"Apa yang mau kau lakukan?" Tanya Ryan.
"Apa-apaan pertanyaanmu itu. Tentu saja memasak sarapan." Kataku percaya diri.
"Kau bisa memasak?"
"Tentu saja. Sudah seharusnya seorang gadis itu pintar memasak kan." Kataku mulai beraksi.
"Aku hanya tinggal berdua dengan ibuku. Ia selalu sibuk bekerja dari pagi hingga menjelang malam. Ia tak akan sempat memasak apapun untukku." Aku mulai bercerita panjang lebar.
"Jadi aku harus bisa masak. Agar aku bisa membuatkan sarapan, makan siang hingga makan malam untuk kami berdua. Untuknya. Untuk ibuku. Yang selalu bekerja keras demi kami berdua."
"Kau sangat menyayangi ibumu ya." Ucap Ryan.
"Ya, tentu saja." Kataku mengusap mataku yang sedikit berkaca tanpa terlihat oleh Ryan.
"Nah, silahkan dinikmati!"
"Enak!" Ujar Ryan. Wajahnya terkejut dengan senang. "Ini enak Hina. Kau hebat sekali dalam memasak."
Aku tersenyum melihatnya makan dengan lahap. Rasanya menyenangkan saat seseorang memakan masakanmu dengan sangat lahap.
"Oh ya Hina. Aku senang karena kau tadi akhirnya mau menceritakan sedikit tentang dirimu." Ucap Ryan.
"Kau juga makanlah Hina. Kau harus makan banyak agar tidak kelaparan nanti."
"Ya!"
Kami makan dengan lahap. Ryan tampak sangat senang dengan masakanku, begitu pula diriku.
...
"Kau sudah selesai Hina?" Tanya Ryan.
"Iya, aku sudah selesai." Hina selesai mengenakan sepatunya dan berlari kecil ke arah lelaki itu.
"Sebelum itu, terimalah ini."
"Eh tapi jumlahnya terlalu banyak." Tolak Hina.
"Tidak apa-apa. Anggap saja pengganti biaya yang kau keluarkan untuk ke sini. Juga berbagai masalah yang telah kau alami karena aku."
"Omong-omong telunjukmu sudah baikan?"
"Ya, sudah jauh lebih baik." Jawabnya.
"Syukurlah."
Mereka meninggalkan rumah Ryan dan mulai melakukan perjalanan ke stasiun kereta. Ryan mengendarai motornya dengan laju, agar tidak terlambat untuk kereta selanjutnya. Hina yang dibonceng di belakang memeluk ke tubuh Ryan erat.
"Sekarang jam 10.13 dan kereta selanjutnya. Coba kita lihat." Kata Ryan memeriksa jam di ponsel. Pandangannya kemudian mencari-cari jadwal keberangkatan kereta. "10.35, ya."
"Masih ada sekitar dua puluh dua menit sebelum kereta selanjutnya."
Hina hanya diam mendengarkan Ryan yang terus berbicara. Sedangkan di dalam kepalanya penuh dengan pikiran-pikiran.
"Anu Hina, ada sesuatu yang harus kulakukan sekarang jadi aku harus pergi. Kau bisa sendiri kan?"
"Ya." Jawab Hina mengangguk.
"Kalau begitu aku pergi sekarang. Ingatlah untuk tidak melakukan bunuh diri lagi. Hidupmu itu berharga. Ingatlah bahwa kau juga memiliki seseorang yang kau cintai, yang menunggumu pulang."
"Aku pergi ya, dadah." Ucap Ryan mengendarai motornya pergi.
Hina melambaikan tangannya hingga Ryan pergi cukup jauh. Meninggalkan Hina sendirian.
Kini Ryan telah sampai di rumahnya. Ia sebenarnya berbohong pada Hina. Ia tidak memiliki kegiatan hari ini. Lelaki itu langsung pulang ke rumahnya setelah mengantar Hina.
"Sekarang pukul sebelas tepat. Seharusnya dia sudah di kereta dalam perjalanan ke rumahnya." Ucap Ryan saat melihat jam di dinding ruangan depan.
Hari itu Ryan hanya bermalas-malasan di rumahnya. Ia pergi belanja kebutuhan mingguannya.
Ryan juga tak lupa menyuci pakaian yang telah dipakai seminggu terakhir, atau lebih tepatnya beberapa baju yang masih layak pakai. Ryan harus sering menyediakan stok baju karena percobaan bunuh diri yang ia lakukan selalu saja merusak pakaiannya.
Malam tiba menggantikan siang. Warna gelap yang dihiasi oleh bulan dan taburan bintang terlukis di langit.
Tokoh utama kita, Ryan, sedang bersiap untuk tidur. Untuk menjalani hari-hari lain dalam kehidupan tak berujungnya. Hari esok yang terus berulang selama ratusan tahun. Hari esok yang merupakan hari biasa lainnya.
Setidaknya itulah yang dia pikirkan, sebelum mengetahui apa yang sedang menunggunya.
"Hina! Kenapa kau ada di sini!"
.
Halo semua, terima kasih telah membaca Help Me Kill Me. Dukung author terus ya!
Jangan lupa masukkan ke koleksi dan beri powerstone jika kalian suka ceritanya.
Nantikan terus kisah Ryan dan Hina hanya di Help Me Kill Me