webnovel

Bab 4 - Keseharian (2)

Pagi yang baru menyingsing. Aku bersiap untuk berangkat kerja. kuambil kunci motorku yang tergantung dan bergegas keluar rumah.

Pintu yang kubuka menghadapkanku pada sebuah figur. Figur yang sedang tertidur di teras tepat di depan pintu depan rumah. Seseorang yang seharusnya sudah pergi jauh.

"Hina! Kenapa kau masih ada di sini?"

Hina terbangun dan mengelap matanya yang masih mengantuk. Ia tidur dengan tubuh setengah duduk dan bersandar ke dinding samping teras depan.

"Hei Hina! Bangunlah."

Hina yang terkejut langsung refleks memberdirikan tubuhnya.

"Bukankah kau seharusnya sudah di kereta dan sampai ke rumah kemarin?"

"Anu sebenarnya kemarin aku berjalan-jalan sebentar. Aku bosan menunggu dan pergi berjalan-jalan. Lalu setelah cukup lama berjalan aku malah tersesat dan tidak tahu lagi ke mana arah kembali ke stasiun." Hina menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya.

"Ah apa yang kau lakukan kenapa kau sampai seceroboh itu."

Aku melihat ke jam di ponsel. Pukul setengah tujuh pagi.

"Tunggu di sini sebentar."

Aku bergegas kembali masuk ke dalam rumah.

"Ambil ini dan naik ke motorku. Aku akan mengantarmu lagi ke stasiun."

Hina mengambil 2 keping roti yang sudah diolesi selai dari tanganku. Ia langsung bergegas naik ke motorku setelahnya.

Kukendarai motorku dengan cepat untuk sampai ke stasiun. Jalanan pagi itu

lancar. Jarang-jarang sekali tidak terjadi kemacetan, khususnya di hari kerja seperti ini. Syukurlah, pikirku.

"Maaf Hina aku hanya bisa mengantarmu sampai di sini, jam kerjaku akan masuk sebentar lagi."

Hina turun dan langsung bergegas masuk ke area stasiun.

"Hati-Hatilah! Jangan sampai tersesat lagi." Teriakku.

Hina membalas dengan mengacungkan jempolnya sembari terus berjalan masuk.

Ah sudah jam segini, semoga saja aku tidak terlambat. Pikirku.

Pagi itu tokoh utama kita, Ryan, langsung menuju tempat kerjanya saat ini. Ia bekerja dengan sangat giat, berusaha menikmati setiap waktu yang ia lalui.

Sedangkan di suatu tempat, sang gadis. Tersesat di antara reruntuhan dunia kecilnya. Dunia kecilnya yang telah hancur, begitu pula sekelilingnya, tak peduli kemana pun ia pergi. Jauh di dalam dirinya ia sendirian, menangis dan ketakutan. Membutuhkan pertolongan.

Hari berlalu begitu saja. Matahari mulai bergerak turun ke arah barat. Warna jingga mewarnai langit sore itu. Sinar oranye matahari sore seakan menyinari dunia dengan lembut.

Ryan telah selesai dengan pekerjaannya. Ia pulang dan beristirahat. Menikmati waktu-wakti bersantainya. Sesekali ia juga melakukan upaya-upaya bunuh diri, yang tentu saja hanya sia-sia. Kira-kira begitulah kesehariannya. Keseharian yang akan terus berulang, atau tidak.

...

Pagi kembali datang. Ryan bersiap untuk pergi bekerja, seperti kesehariannya yang biasa.

Namun, tidak pada hari itu. Di hari yang ia anggap sama seperti kesehariannya yang terus berulang. Tanpa mengetahui hari itu mungkin saja menjadi awal mula keajaiban yang mengubah seluruh hidupnya.

Ryan membuka pintu depan rumahnya. Membawanya pada sesuatu yang tidak dapat ia percaya, untuk kedua kalinya.

"Hina!" Ryan terkejut. Wajahnya memperlihatkan raut bingung dan heran.

Untuk kedua kalinya, Hina, terduduk di dinding bagian samping teras depan rumah. Gadis itu menoleh ke arah Ryan dan tersenyum layu.

"Hina! Apa yang kau lakukan di sini?"

"Aku tidak percaya kau masih ada di sini. Apa yang sebenarnya kau lakukan? Aku ingat dengan jelas kemarin aku sudah memgantarmu ke stasiun."

"A-a-aku..."

"Jangan beralasan lagi Hina! Ini sudah yang kedua kalinya." Ryan memotong dan memarahi Hina.

Hina hanya diam tak berdaya di hadapan Ryan.

"Ahh apa yang sebenarnya kau lakukan sih." Ryan tidak habis pikir melihat Hina yang masih ada di sini. Amarah, bingung dan keterkejutan bercampur aduk di kepalanya.

"Halo Selamat pagi, pak. Mohon maaf apakah saya boleh izin terlambat sebentar untuk hari ini. Iya, iya maafkan saya. Bapak bisa memotong gaji saya nanti, tapi tolong berikan saya izin untuk datang terlambat hari ini. Tidak, tidak, saya tidak perlu cuti, saya hanya perlu waktu sebentar hari ini." Ryan mengambil ponselnya dan berbicara.

"Baik pak, terima kasih banyak. Saya akan segera datang secepat yang saya bisa."

"Naik lah cepat," suruh Ryan kesal, "aku akan mengantarmu langsung hingga masuk kereta sekarang. Jangan coba-coba untuk kabur lagi."

Gadis itu hanya bisa pasrah dan mengikuti suruhan Ryan.

Ryan melaju motornya dengan kencang. di belakangnya, Hina, memeluknya dengan erat, lebih erat dari biasanya. Kepalanya bersandar pada punggung Ryan pasrah. Hina memeluk Ryan seakan menyandarkan seluruh kegelisahan yang ia miliki pada lelaki itu.

Ryan menyadarinya, menyadari sesuatu yang aneh. Instingnya menyadari hal itu namun ia memilih untuk tidak peduli. Dibalik itu, dia terus melaju motornya secepat yang ia bisa.

"Ayo cepat." Ucap Ryan. Ia menarik pergelangan tangan Hina dan bergegas masuk ke area stasiun. Hina mengikuti ke mana Ryan menariknya seperti sebuah boneka.

"Tolong satu tiket menuju Laptown."

"Anda ingin tiket pada jam berapa?" Tanya wanita penjaga loket.

"Apakah masih ada tiket untuk keberangkatan pagi ini?"

"Ya, masih."

"Tolong satu."

"Ini tiket anda silahkan menunggu di peron nomor dua, terima kasih."

"Ayo Hina." Ryan mengambil tiket dan kembali menarik tangan Hina,

Kereta menuju Laptown akan datang dalam kurun waktu sekitar sepuluh menit. Ryan dan Hina duduk di kursi tunggu. Ryan tidak melepaskan genggamannya dari hina sejak tadi, tak ingin membiarkannya kabur. Sementara itu Hina sudah tidak memiliki niatan untuk kabur. Gadis itu hanya pasrah dengan apa yang akan menimpa dirinya.

"Perhatian kepada seluruh calon penumpang di peron 2. Kereta dengan destinasi Baggrow, Icebil, Vireville, Maryland, Darrylake, dan Laptown akan segera tiba. Harap perhatikan barang bawaan anda dan jangan sampai ketinggalan. Sekali lagi..." Ucap seseorang di pengeras suara.

Ryan berdiri dan menarik Hina tepat ke hadapan area pintu kereta, tepat di belakang tanda kuning jarak minimal dari kereta.

Jantung gadis itu berdegup kencang dan semakin kencang bersamaan dengan kereta yang semakin mendekat. Tak kuasa membayangkan hal yang menunggunya.

Kereta sampai. Gerbong membuka tepat di hadapan Ryan. Lelaki itu menarik tangan Hina masuk ke kereta. Sebelum ia menyadari suatu hal.

"Hi-na..?"

Kedua tangan Hina mengenggam erat tangan Ryan, meremasnya sekuat tenaga. Wajahnya menunduk murung. Ryan dapat melihat air mata menetes di pipinya. Raut wajahnya tampak seperti ketakutan. Ia tak bisa berkata-kata.

"Hi-Hina... ada apa?" Ucap Ryan pelan.

"Hina... keretanya sudah datang loh."

Hina yang mendengar jelas ucapan Ryan perlahan melepaskan genggamannya dari tangan lelaki itu. Gadis itu menegarkan dirinya.

"Terima kasih untuk semuanya." Ucap Hina pelan saat melewati Ryan.

Ia berjalan perlahan menuju gerbong kereta yang sejak tadi terbuka. Dengan wajah yang terus tertunduk, ia pergi.

"Kau tidak perlu pergi kalau kau tidak menginginkannya!" Teriak seorang lelaki.

Ryan menerjang dari belakang dan memeluk Hina, tepat sebelum gadis itu melangkahkan kakinya memasuki kereta, mencegahnya pergi. Kedua lengan lelaki itu menyilang diantara leher Hina dan menyandarkan kepala gadis itu pada dadanya.

"Tetaplah di sini. Kau tidak perlu pergi." Ucap Ryan sambil terus memeluk gadis itu.

Hina kembali meneteskan air mata. Ia menangis sejadi-jadinya dalam pelukan lelaki itu.

"Sudah lebih baik sekarang? Kau bisa terus menangis kalau kau mau, aku akan terus berada di sini." Ucap Ryan lembut, mencoba menenangkan gadis dalam pelukannya.

Hina mengelap air matanya. "Tidak. Aku sudah baik-baik saja. Terima kasih banyak."

"Hina, berjanjilah kau akan menceritakannya semua padaku nanti. Jika itu bisa membuatmu lebih baik." Ryan memegang kedua pundak Hina dan menatap langsung padanya lembut.

"Tapi sebelum itu." Sela Ryan. "Tidak masalah jika harus menunggu sampai sore kan?"

Hina tersenyum dan mengangguk. "Tentu!"

"Hina... maaf karena tadi aku marah-marah dan berbuat kasar padamu." Ucap Ryan sambil terus melaju motornya.

"Tidak apa-apa. Hal yang kau lakukan itu wajar." Teriak Hina dengan suara yang beradu dengan angin. "Lagipula aku juga pasti akan berbuat hal yang sama."

Mereka tertawa kecil.

"Hina, syukurlah kau sudah kembali ceria." Ucap Ryan dalam hati.

Ryan terus melaju menuju tempat kerjanya. Di belakangnya, Hina, memeluknya erat dengan nyaman.

.

.

.

Bersambung - Bab 4 Keseharian (3)