webnovel

#1 Ren & Allita

Day 1

Hatiku berdegup kencang.

Apa yang terjadi? Aku tidak mengingatnya sama sekali.

"Ia ada di sini."

Suara apa itu? Aku tidak bisa mendengar jelas.

"Kumohon tolonglah dia!"

"Pindahkan dia segera!"

"Tidak, Larilah!"

"Tunggu!" Sebuah suara memanggil dari atas, orang itu berlari-lari  menapaki tanah yang bergetar.

Aku tidak bisa membuka mataku sekencang apapun kuberusaha. Tapi, suara-suara diatasku memacu detak jantungku dan akhirnya aku bisa membuka mataku.

Setengah sadar, aku melihat langit-langit basement rumahku. Aku ingat karena dulu ini adalah tempatku bermain. Aku sudah sangat mengenal setiap jengkal basement ini dan setiap sudutnya.

'Tunggu sebentar, kenapa aku berbaring disini. Tadi aku bersama ibu dan ayah menuju..."

"Tidak! Tidak!.... Yang terjadi selanjutnya...."

Dengan cepat aku bangun dan berlari menaiki tangga basementku yang terbuat dari kayu.

Aku bergegas keluar dan melihat dari jendela rumahku di sudut sebelah kiri. Jendela itu tertuju menuju rumah-rumah bergaya tradisional lainnya, Setidaknya itu yang pernah kuingat.

Pemandangan yang kuingat pernah menjadi rumah-rumah sekarang hanya menjadi puing-puing. Bahkan aku tidak sadar, rumahku juga sudah berubah menjadi puing-puing ledakan.

Refleks dan degup jantung langsung membuatku keluar dan lari. Aku melihat sebelah kiri dan kananku.

Rumah-rumah yang kuingat telah hancur semua. Ada beberapa orang yang ikut berlari denganku. Tidak tahu mau kemana dan tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku mendengar orang-orang meminta tolong dari dalam reruntuhan. Ada yang terjebak dan ada yang membantu mereka. Tapi kami yang berlari tanpa tujuan merasa lebih gentar melihat  pecahan komet mengarah pada kami. Bukan satu, tapi ada lima yang mengarah pada kami.

Satu per satu, orang-orang yang tadi berlari mulai memelan dan berhenti. Ketika aku berbalik melihat, beberapa orang bersujud putus asa, ada yang berdoa, ada juga beberapa keluarga berpamitan untuk terakhir kalinya seperti mengucapkan kata-kata perpisahan "Kita kan berjumpa kembali di surga."

Dalam lima detik, aku merasakan sunyinya dunia.Waktu terasa sangat pelan. Kami merasa seperti semut dibawah hujan, tidak berdaya sama sekali melawan percikan air menghantam tanah.

Sesaat sebelum komet itu menghantam, aku terjatuh didalam sebuah mimpi. Seperti sedang melihat kilasan-kilasan balik dalam hidupku. Aku benar-benar tenggelam dalam mimpi itu, nyaris sampai matahari bersinar kembali.

•••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

"....ta... Alleta."

Kali ini seseorang memanggil namaku. Ini suara seorang laki-laki....Ayah?

"Alleta, Alleta."

Aku terbangun dari mimpi tiada akhir. Jantungku tidak berhenti berdegup kencang, keringat bercucur di sekujur tubuhku. Masih dalam keadaan panik aku menatap sekelilingku. Aku terbangun di tengah-tengah hutan belantara.

"Komet... Komet itu...."

"Sudah berakhir..... Sudah berakhir....."

Suaranya terdengar tulus, penuh permohonan, seolah-olah ia mau menangis. Sebuah suara yang terdengar gemetaran oleh rasa kesendirian, seperti cahaya redup milik bintang yang begitu jauh dalam kegelapan malam hari.

"Syukurlah..." Sekali lagi, suaranya seperti sedang menangis. Aku pun menoleh kecil dan melihatnya. Tidak kusangka orang yang selama ini menghilang dari hidupku datang kembali di hadapanku. Dialah satu-satunya teman yang menemani masa kecilku. Orang yang penuh humoris dan canda tawa selalu mengubah hari-hari biasa menjadi hari berkesan. Ren Wither, laki-laki yang selama ini menemaniku datang dengan wajah duka.

Sambil menangis, dia memelukku erat. Tubuhku terasa ditekan oleh seseorang yang sangat istimewa bagiku, begitu erat sampai-sampai tidak ada ruang diantara kami. Pelukan itu tentu saja mengundang kembali air mataku. Kami terikat satu sama lain, nyaris tidak bisa dipisahkan. seperti seorang bayi yang dibuai ibunya. Air mata sepenuhnya mengalir dan tersentuh oleh kegelisahan dan kesendirian mengalir ke wajahku dan terbenam di bahunya. Pelukan kami tidak menghasilkan satupun kata-kata manis. Hanya suara isak tangis antara kebahagiaan dan kesedihan.

Sebuah perasaan manis yang menggelitik, namun sangat indah memenuhi diriku. Dalam jangka waktu cukup lama itu, perasaan menyatu yang menyelimuti diriku beberapa saat sebelumnya menghilang tak bersisa, tak menyisakan sebuah jejak atau petunjuk. Tanpa ada gema. Begitu mendadak sampai-sampai, aku belum memiliki cukup waktu untuk menghentikan air mataku.

"Syukurlah kita bisa bertemu lagi." Suaranya masih menggema dalam kesedihan, melihat diriku masih belum bisa berhenti menangis.

Aku mengusap air mataku dengan kedua tanganku bagaikan anak yang baru saja menangis cengeng. Lalu aku menatapnya.  Sebuah tetesan kecil air di jari telunjukku. Tetesan perasaan dengan sebentar memenuhi mataku itu sudah menguap.

"Aku tidak ingat rambutmu itu sudah mencapai bahu." Sedikit ejekan dariku untuk memulai hari yang panjang.

"Maksudmu, aku terlihat seperti perempuan?"

"Tentu saja, kamu tidak terlihat keren berpenampilan seperti itu."

Ren tertawa kecil mendengar hinaan dariku. "Sikapmu masih sama seperti empat tahun yang lalu."

"Tentu saja tidak akan berubah secepat itu." gumamku sedikit kesal.

Untuk beberapa alasan kepentingan keluarga Ren,

Melalui hari yang panjang, kami tidak bertemu selama beberapa tahun, aku sekarang bisa melihat perubahan-perubahan pada dirinya. Mulai dari suaranya yang sudah mulai memberat dan tingginya sudah melebihiku, seperti seharusnya seorang laki-laki harus tumbuh lebih kuat dari perempuan. Alisnya masih tampak membosankan, memberikan kesan keras kepala, tetapi, sepasang mata dibawah mereka, yang sedikit di sisi yang besar, tampak seperti orang yang periang. Lekukan matanya sedikit lebih tajam dari yang biasanya, serta pupil hitam pekat bisa menelan siapapun yang menatapnya. Basuhan air mata telah memandikan perpaduan warna biru-keunguan khas pada iris matanya.

Walaupun aku merasa sekarang Ren telah berubah semakin keren, aku memang berharap dia akan memotong rambutnya. Sifatku muncul ke permukaan lagi dan akhirnya aku bisa katakan "Kau harus berjanji membiarkan aku memotong rambutmu itu."

"Ehhh... Kalau itu maumu." Dia membalasnya dengan senyuman.

"Tapi... Apakah aku boleh bertanya?"

Ren tidak menjawab apapun, tapi hanya mengiyakan pertanyaanku dengan anggukan kebawah.

"Ren, Bukankah beberapa saat yang lalu komet itu menimpa kota? Harusnya aku tidak sela....." belum selesai bicara, dia menutup bibirku dengan halus. Aku bisa merasakan dingin pada tangannya. Lebih dingin dari hembusan angin musim semi, akupun sadar melalui sentuhannya dia telah melewati beberapa hal mengerikan.

Aku tidak boleh membahasnya lagi. Kami telah kehilangan begitu banyak dari tragedi itu, aku hanya akan menyiksanya jika bertanya.

•••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

Musim semi ini awal kedatanganku dan awal pertemuanku lagi dengan dia, Alleta. Kelopak bunga mekar menari tanpa suara di udara. Udara terasa hangat, langit sore mulai tergambar, seolah ada kanvas besar yang dilapisi cat orange. Butiran-butiran debu halus berwarna hitam pekat masih melekat dibalik kanvas itu. "Sungguh pemandangan penuh juang dan tetesan kehidupan." pikirku.

Tidak ada orang lain disekitar sini, apalagi kami berada di pedalaman hutan tempat biasa kami bermain saat kanak-kanak. Hanya ditemani sedikit kelinci muda yang kehilangan induknya, sama seperti aku dan dia. Seakan itu hanya lukisan pemandangan musim semi tertentu. Betul. Paling tidak dalam ingatanku saat itu seperti lukisan. Bisa dibilang mereka hanya kumpulan gambar. Ketika aku mencoba mengumpulkan kenangan lama itu, aku merasa seolah-olah melihat luar bingkai pada jarak yang cukup dekat. Dia tidak berubah sama sekali. Aku bisa merasakan air matanya saat kami menyatukan perasaan dalam pelukan. "Ini Alleta, Ini Alleta." Hati kecilku sangat gembira.

Aku bahkan bisa mengenalinya dari belakang. Rambut merah muda cerah terurai di punggungnya, Rambut itu hampir saja mencapai pinggang dan menutupi sebagian dirinya. Walaupun sedikit kusut karena tidur dan mencuat dimana-mana. Wajah yang kecil, bulat memiliki mata yang besar, dan memiliki warna yang sama dengan bola mataku. Bibir yang terlihat halus dan kelihatan samar-samar terpana diatas leher yang kurus. Bahkan kelinci-kelinci tidak merasa takut berdiam diri disampingnya. Mungkin itu karena aroma parfum buatan ibunya. Aroma lavender selalu dia gunakan dalam kegiatan sehari-harinya. Menurutku itu karena aroma lavender sudah menjelaskan sifat-sifat uniknya. Walaupun Alleta lahir dari keluarga berkecukupan biasa, Dia berperilaku seperti putri-putri bangsawan. Gadis ekspresif yang senang berperilaku sopan bahkan pada orang yang tidak dikenal. Kota itu juga sudah menganggap Alleta sebagai 'Gadis Lavender' karena keanggunan dan kebaikan hatinya.

Tentu saja, aku sudah mengenalnya sejak aku dan Alleta berumur 5 tahun. Orang tua kami sudah bersikap seperti keluarga seutuhnya. Jadi, tidak heran aku dan dia sudah sangat dekat bagaikan adik dan kakak.

Aku mewarisi bakat ayah sebagai seorang pelukis jenius, sedangkan Ayah Alleta berprofesi sebagai penulis juga menularkan bakat dan potensinya kepada Alleta. Walaupun potensi kami tidak sama, aku dan Alleta bisa membawa perbedaan itu menjadi sebuah cerita penuh fantasi.

Seringkali, aku melukis pemandangan-pemandangan indah dan Alleta mengubah setiap goresan warna menjadi sebuah paragraf cerita. Lukisan tidak akan pernah bisa berbicara dan mendengar, namun, bisa mengekspresikan banyak emosi melalui kata-kata ekspresif. Prinsip ini sudah menjadi cita-cita kami sejak dulu. Kami akan membuat suatu cerita dari gambar dan lukisan, Kami ingin mengenalkan pada orang-orang biasa yang tidak mengerti makna dari lukisan yang tidak bisa berbicara.

Lukisan memendam banyak sekali makna tersirat, tersembunyi sekali, sampai orang-orang hanya bisa memuji "Lukisan itu sangat indah." Padahal setiap pelukis ingin mereka menyampaikan apa yang mereka lukiskan itu bukan sekadar menunjukkan indah atau bagusnya sebuah lukisan, melainkan ada sebuah pesan dan amanat membungkus seluruh keindahan itu.

Itulah yang aku dan dia percaya akan terjadi. Sampai, sebuah takdir memisahkan kami selama empat tahun.

Empat tahun yang lalu. Ayah mendapati pekerjaan diluar kota yang tempatnya sangat jauh. Bakat ayahku sebagai pelukis sudah diakui oleh dunia. Lukisan ayahku dikenal sangat istimewa dan unik. Lukisan-lukisan itu menyimpan berbagai perasaan dibawah lantunan indahnya melodi. Pemandangan hati dan jiwa yang penuh makna, sebuah gambaran penuh pengharapan akan membuat siapapun tersedot ke dunianya. Akibatnya, aku harus mengucapkan salam perpisahan pada Alleta.

Empat tahun bukanlah waktu yang singkat dan butuh banyak adaptasi. Aku dan kedua orangtuaku pindah ke lingkungan yang lebih luas dan mewah. Kota itu sudah berdiri selama berabad-abad dibawah kepimpinan yang kuat.

Nama kota ini adalah Liestal, pusat kepemimpinan dan salah satu kota terbesar pada zamannya. Kota ini ialah kota pertama yang menciptakan sebuah sumber daya bernama 'Listrik'

Listrik ini mengubah seluruh peradaban manual menjadi awal mulanya peradaban teknologi berdaya listrik. Dari gerbang utama saja sudah terlihat balon udara bertenaga listrik, sebuah alat bernama 'Mesin' menggantikan banyak kegunaan manusia dalam hal bekerja.

Sebelum kesini, aku sempat berpikir kota kami sudah sangat maju hanya bermodalkan sumber daya alam dan tenaga manusia. Tapi, kebersamaan itulah yang menyatukan orang-orang sehingga jarang sekali  ada yang mengeluh.

Namun, hanya memikirkan kotaku memiliki listrik saja, aku bisa membayangkan betapa banyaknya perubahan yang akan terjadi nantinya. Pasti itu akan menjadi sebuah lukisan yang indah. Aku dan Keluargaku dipindahkan ke sebuah rumah jauh dari kota dan berdekatan dengan Pegunungan serta rumah pemimpin kota Liestal. Ayah pun dikontrak oleh pemimpin kota Liestal selama 5 tahun untuk mengubah semua hari dan pemandangan ke dalam sebuah kain kanvas. Tetap berharap dan tidak putus asa, aku ikutan melukis semua pemandangan-pemandangan itu, berharap suatu hari nanti Alleta mengubahnya menjadi sebuah cerita. Mulai dari kesibukan kota Liestal, Kehidupan orang didalam kafe dan anak-anak yang bermain saat fajar. Terhitung sudah ada sekitar 20 suasana dan perasaan yang telah kulukiskan.

•••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

Kesibukan-kesibukan itu kulalui selama empat tahun sampai pada akhirnya dikabarkan akan ada sebuah benda luar angkasa mendekati bumi. Ingin mengabadikan pengalaman sangat langka ini. Banyak perjuangan dan perdebatan sudah dibicarakan ayah dan pemimpin Liestal. Awalnya, Jendral itu tidak menyetujui ayah melukis disana. Entah apa alasannya aku tidak terlalu peduli. Yang aku pedulikan hanya ingin bertemu dengan Alleta kembali. Perjuangan demi perjuangan sudah dilakukan, Kami berangkat selama 3 hari 2 malam. Sebagian lukisan-lukisan sudah kujaga, terbungkus dalam sebuah koper rahasia milikku. Bahkan aku sendiri sama sekali tidak memperlihatkan pada Ayah.

Dalam perjalanan, Komet itu terlihat sangat jelas dari sini. Sangat berbeda dari fenomena-fenomena alam biasanya. Pada kepalanya, terbentuk suatu cahaya putih dibalut biru dan hijau tosca membentang sampai ke bagian badan komet. Perpaduan warna merah kehitaman di ekornya turut meramaikan langit pagi dan malam. Perpaduan unik itu memberikan kesan "Andaikan aku bisa melihat ini setiap hari."

Perjalanan kami usai setelah melewati perbatasan. Aroma musim semi bernostalgia kembali, menjelajah setiap kepingan kenangan manis di tempat ini. Benar-benar tenggelam dalam itu.

Situasi itu juga disambut baik oleh burung yang berkicau riang. Beberapa alunan melodi muncul entah berasal darimana. Pemandangan alam masih terlihat sama seperti dulu, itu karena kebiasaan kami yang menjaga alan seperti semestinya.

Di dunia yang tertata rapi, aku akhirnya menutup halaman terakhir buku karya L. Conningward.  Lembaran kisah ini telah kubaca terus-menerus, tanpa rasa lelah dan letih karena memang itu adalah kisah yang menarik.

"Dia masih hidup. Dan, sementara pada saat itu, dia berjuang untuk menghilang. Itu bukan doa memulai hari dan juga bukan doa untuk menutup hari. Kisah selalu diawali senyuman dan diakhiri oleh duka mendalam." Kira-kira itulah pesan yang kudapat.

Tiba-tiba saja, suara festival mulai terdengar dari kejauhan. Di belokan ini, aku akan berpapasan dengan jalan penuh hutan dan jalan setapak. Jalan setapak ini akan menuntun ke gerbang utama kota. Ciri khas kota ini terletak pada ekspedisi pelayarannya, sehingga dari gerbang akan terlihat kapal-kapal terbentang membentuk barisan armada. Dari gerbang terlihat rumah tersebar disepanjang kota dan membentuk barisan atap kayu yang beraneka ragam, dari ukuran hanya satu lantai hingga tiga lantai. Pemandangan ini salah satu spot favorit ayahku jika merasakan titik jenuh.

Aku menoleh ke ayah sambil membahas sedikit tentang seluk beluk kota ini.

Topik itu tidak berlangsung lama, karena pada akhirnya terlihat jelas sebuah kilatan cahaya membekukan mataku. Saat itu, Waktu terasa sangat lambat seakan-akan telah berhenti begitu saja. Keheningan itu terhenti begitu saja yang memunculkan suatu suara ledakan besar.

"DDUARR!!!!!!" Efek ledakan itu hampir meratakan hutan yang berada di samping kiri kota. Saat itu juga aku sadar, situasi akan sangat berbeda dengan yang kuharapkan. Kereta kuda kami terhempaskan begitu saja setelah timbul getaran kuat pada tanah.

"Ren!!" Ayahku berteriak sembari memelukku sangat erat tepat sebelum kereta terhempas. Aku memegang tangan ibu kuat-kuat sampai pada akhirnya kereta kuda kami berguling dan terjatuh menuju hutan dibawah kami.

Aku menjerit kesakitan saat sadar kaki kananku terjepit beberapa kayu dari kereta. Ayah dan Ibu berusaha mengangkat beban kayu.

"Ayah, Ibu... Arghhhh!!" Aku hanya bisa berteriak sekuat tenaga untuk melawan rasa sakit itu.

"Bertahanlah sebentar lagi!"

"Tidak!! Kayu ini tidak bisa digerakkan!" Ibu mengerahkan seluruh tenaganya, begitu pula dengan Ayah.

Berhenti sebentar, Ayah terlihat seperti mencari sesuatu. "Kayu, Kayu, Kayu...." berlarian mondar mandir sambil mengumpulkan beberapa kayu lagi. Aku merasa sangat pasrah, ibuku sujud menangis dan memegang tanganku kuat-kuat. "Ibu tidak akan melepaskan tanganmu Ren."

Akhirnya setelah ayah selesai mengumpulkan beberapa kayu besar dan menumpukan beberapa kayu itu dan mendongkrak beban dari kereta itu.

"Nyrettt" Aku bisa merasakan ada sedikit ruang di kakiku dan itu menjadi celah satu-satunya untuk membebaskan kakiku. Kebebasan itu, walau sebentar, aku langsung memeluk ibu dan ayah. Tubuhku tidak bisa bergetar ketakukan, air mata menetes keluar dengan sendirinya. Begitu pula ayah dan ibu.

"Ayo lari, cepat lari!!" Ayah berteriak kembali. Aku digendong oleh ayah dan berlari secepat mungkin.

"Tidak! sebentar!"

"Aku melupakan koperku...."

Kataku tergesa-gesa.

"Maafkan aku Ren.... Kita harus lari terlebih dahulu."

Aku mengerti kondisi ini dan mengiyakan kata-kata ayah.

Setelah berlarian dari dalam hutan. Sampailah kami diluar hutan, terbentang luas padang rumput milik peternak-peternak. Seketika hatiku sangat bising dan rasanya mataku akan meledak. Ayah berjalan mundur selangkah.

Di tempat itu, kami melihat kehancuran, Komet yang awalnya sangat indah membagi-bagi menjadi ratus hingga ribuan pecahan. Pecahan-pecahan itu sudah siap memborbardir seluruh langit. Langit biru sudah dipoles menjadi langit merah gelap, bahkan, sinar matahari tidak dapat terlihat.

Pemandangan itu membuat kami sadar, lari tidak akan menyelamatkan apa-apa. 

"Ya tuhan!" Ibuku terjatuh ke tanah dan berteriak, Saat itu tubuh kami tidak dapat berhenti bergetar ketakutan. Ayah hampir menangis, tersentak sedikit dan mulutnya membentuk suatu senyuman.

--Aku menyayangi kalian.

"Tunggu aku..." Itu adalah pelukan terakhir kami ditempat ini.

Diselimuti suara ledakan-ledakan, aku sudah sangat siap sekarang.

"Nyingggggg"

"DDUARR" "DDUARR"

•••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••