webnovel

Luka

Hari ini aku mencoba menatap luasnya dunia, banyak gedung-gedung menjulang tinggi tapi mengecil jika dilihat diposisiku saat ini. Angin tak bisa kurasakan, ia seperti memusuhiku dengan diam. Dada ini pedih, luka ini sakit. Seperti seseorang telah menancapkan seratus buah pedang yang sangat tajam ke dadaku dengan sadisnya.

Hatiku menjerit meminta pertolongan, Namun, aku tak sanggup mengungkapkannya. Tidak tahu siapa yang telah membocorkan benteng pertahanan air mata ini. Ia tidak mau berhenti, semakin ditahan semakin mengucur. Terduduk lemah di pinggiran jembatan kota. Persetan dengan semua orang yang berlalu lalang melihatku penuh selidik

Aku melihat ke bawah. Banyak yang menjalankan laju mobilnya kencang. Aku takut ketinggian, badanku lemas, bergetar, keringat dingin bercucuran. Tolonglah, bisakah kau sedikit berani sedikit saja?

Setan dalam hati seperti memberi semangat untuk bunuh diri 'bunuh diri saja, hidupmu akan tenang disini' Sayangnya, aku masih waras. Ada sedikitnya lima persen kewarasan dalam jiwaku dan menahanku untuk bunuh diri

'jika kamu bunuh diri, hidupmu memang akan terbebas dari urusan dunia. Namun, tidak terbebas dari urusan akhirat. Bunuh diri saja jika kamu sudah capek. Tetapi jangan menyesal di kemudian hari dan memohon untuk kembali pada keluargamu. Itu diluar nalar dan tidak mungkin bisa terwujud.' Ah, ada bisikan apa itu. Darimana asalnya. Siapa dia?

Tangisku semakin pecah, pikiranku berkecamuk. Jika aku mati, aku akan terbebas dari urusan dunia. Tapi konsekuensiku bunuh diri tak sebanding dengan rasa sakit sementara ini. Keluargaku akan lebih menderita, lebih terpuruk. Pasalnya aku adalah harapan mereka semua, mungkin.

Sebagian besar orang yang membaca kisah ini akan menyangka bahwa ini kisah tentang seorang anak yang dikucilkan keluarga, disiksa orangtua atau, bahkan, kisah tentang percintaan gila dan aku terobsesi padanya.

Ini adalah kisah tentangku dan keluarga, kita bersama memanggul beban yang begitu berat. Tidak ada sosok seorang ayah di dalam keluargaku. Ah, tidak. Ada, ia seorang ayah tiri yang sama sekali tidak pantas ku bilang 'AYAH'

Hari ini aku seakan di hujam oleh ratusan pedang dengan sadis. Sakit sekali. Ibuku menangis, menatap kosong jendela rumah, nenekku melamun menatap bilik rumahku yang hampir saja bolong.

Jangan menyangka aku dari keluarga kaya dan tentram hidupku. Rumahku kecil tapi aku memiliki keluarga yang begitu hangat kecuali dia. Tawa selalu ada di rumahku, beban selalu ku panggul bersama, masalah selalu ku lewati bersama. Tapi tidak dengan ini.

***

"Hallo mpi"

[Bi ena katanya minjem uang ke si Susan?]

"Engga, mpi. Ga mungkin minjem uang."

[Katanya bi ena minjem uang ke si Susan. Bapak mpi juga ngelarang ke mpi buat Nerima telpon dari bi ena. Katanya takut minjem uang]

Aku mendengar pembicaraan itu, lantaran volumenya ku keraskan. Karna semua suka sekali mengobrol dan akan ada tawa di pembicaraan ini. Nyatanya tidak, kabar buruk. Itu yang tepat aku ucapkan untuk situasiku saat ini.

Mata ibuku mulai berkaca-kaca, Nene mulai menunduk malu, hanya adikku saja yang senang dan tetap bermain boneka usang bekasku dulu.

Aku termangu. Sesekali menatap mereka secara bergantian, hatiku tak percaya dengan ini semua. Ini semua bohong. BOHONG ku bilang ini semua BOHONG

Ibuku berdebat di telepon sembari menangis sesenggukan, kadang sekali-kali ia berucap sumpah. Kata yang jarang sekali ibuku ucapkan.

"Mpi lebih percaya ke ke siapa, bi ena ga akan mungkin lakuin itu!"

Telepon tertutup. Semua ucapan Kakak sepupuku begitu menusuk hati. Bukan aku saja yang merasakan sakit tapi ibu beserta nenekku juga.

Iya, dia adalah putri dari kakak ibuku. Namanya Silpi atau biasa dipanggil dengan sebutan 'mpi'. Dia orang yang sangat baik, selalu menolong keluargaku. Entah bagaimana kronologisnya aku tidak tahu, mengapa bisa, keluarga kakak ibuku menuduh seperti itu.

***

Urung niatku untuk bunuh diri. Jiwaku masih ingin hidup bersama keluarga kecilku yang penuh bahagia. Bahagia tapi terluka. Miris

Aku berjalan menyusuri trotoar jalan. Banyak lalu lalang mobil. Jika ini sinetron, mungkin ada backsound yang menjadi pendukung agar suasana lebih menyedihkan. Atau, bisa saja ada hujan deras yang tiba-tiba mengguyur tubuh

Tetapi ini kebalikannya, cuaca hari ini nampak cerah. Matahari seakan tersenyum indah. Tidak perduli seberapa pedih hidupku. Aku hanya berharap, semoga aku bisa berpapasan dengan pria kaya dan menikahinya. Mungkin, hidupku tak akan sepedih ini. Ah, halusinasiku terlalu jauh.

Tak berapa lama aku berjalan, tibalah aku disebuah rumah panggung atau lebih tepatnya gubuk kecil yang aku sebut rumah. Rumah penuh dengan kenangan, candaan, suasana hangat dan penuh kebahagiaan.

Aku memasuki rumah. Melihat ibuku sedang terduduk lemas dan tepat dipipinya dipenuhi air mata. Sesekali mamaku berbicara 'ampun, hidupku sudah susah. Jangan ditambah lagi dengan fitnah'

Mendengar jeritan kecil dari ibuku, hatiku semakin terpuruk. Mendekat dan coba ku peluk ibuku. Menenangkan tanpa sepatah kata, hanya mengelus pundak dengan lembut.

Aku melirik ke arah kanan. Nenekku sedang mengusap air mata. Sungguh, ini pemandangan yang sangat tidak aku sukai. Aku benci situasi ini, mengapa dia bisa seperti itu. Aku, harus mempercayai siapa? Mamaku atau saudara dari keluarga kakak ibuku? Rumit.