webnovel

Pedih

Kemarin aku telah menyaksikan hal terburuk yang pernah aku lihat selama ini. Ibu dan nenekku sama-sama menangis. Aku tidak ingin berbicara sepatah kata pun, aku masih bingung dengan semua ini.

Langit seperti menertawakan keadaanku saat ini. Sama sekali tidak mendung sedikitpun, ia sangat cerah seperti sedang memenangkan lotre seratus milyar.

Aku di sini menatap kosong ke arah pintu usang. Dalam hati, aku menjerit meminta pertolongan. Namun, di sini aku harus merasa tegar. Jika aku sama-sama menangis, siapa yang akan menguatkan?

Hari ini tak biasanya kita tidak berkumpul. Ibuku di kamar sedang menangis, nenekku sedang menjahit baju robek miliknya sembari melamun, adikku tertidur sambil memegang sepotong sosis ecer harga seribu di warung.

Pedih, hatiku tergores. Dimana kebahagiaan dulu, dimana tawa yang selalu menghiasi rumah kami?

Semua seakan sirna, hanya karena sebuah perkataan yang sebenarnya belum menemukan apa itu benar atau hanya kebohongan semata.

Ingin aku mengumpat dalam hati, merutuki hidup. Tapi untuk apa? Aku melihat sebuah pisau di dapur, inginku praktekkan. Memotong nadiku. Sayang, lagi-lagi hati nurani ku memohon untuk tidak melakukannya.

Terbersit dalam pikirku 'jika aku memotong nadi, apa aku akan mati? Syukur jika ya. Jika tidak? Ibuku semakin pusing memikirkan biaya rumah sakit yang tidak sedikit' itu hanya hal bodoh, jangan menuruti nafsu setan yang terus menerus menghasutku.

Ditengah lamunanku, terdengar suara terisak tangis yang begitu pilu. Itu suara ibuku. Tolonglah, jangan buat aku begini. Ingin rasanya aku menyumpal telingaku dan tidak mendengar tangis ibu.

Aku penasaran, ibuku sedang apa. Aku mengintip di balik bilik kamar ibuku. Susah payah aku melihatnya, namun, sungguh pemandangan yang tidak mengenakan. Wajah ibuku memerah, matanya sembab, bibirnya bergetar, pipinya basah dengan air mata. Aku tidak suka melihat ini.

Tanpa kusadari, ternyata ibuku memegang sebuah foto. Foto siapa itu? Aku tidak tahu.

"Maafkan mama, jika seandainya mama tidak egois. Maaf telah memberi bebanmu begitu banyak. Berjanjilah esok hari, kau akan membungkam omongan semua orang yang meremehkan kita." Ucap ibuku, lirih.

Ini situasi yang benar-benar menyakitkan.

Selalu terngiang obrolan ibuku dan Kaka sepupu.

[Bi ena katanya minjem uang ke si Susan?]

"Engga, mpi. Ga mungkin minjem uang."

[Katanya bi ena minjem uang ke si Susan. Bapak mpi juga ngelarang ke mpi buat Nerima telpon dari bi ena. Katanya takut minjem uang]

Seperti seseorang dengan jahilnya memasang layar tancap diotakku. Memainkannya dengan tawa yang menggema, berniat menyiksaku. Sungguh, kini aku berharap aku bisa menikahi lelaki kaya.

Meski aku masih berumur enam belas tahun, masih menginjak kelas sebelas SMK. Namun, jika ada yang ingin menikahiku, tak apa, aku ikhlas.

***

Pagi ini aku berniat untuk melupakan kejadian kemarin-kemarin. Aku ingin bangkit dan mengembalikan rasa kebahagian ibuku.

Dengan berat aku melangkahkan kaki ke kamar mandi untuk mandi dan pergi ke sekolah. Masih ada sedikit pertanyaan dalam diriku. Siapa yang benar dan siapa yang salah?

Selesai mandi. Aku pergi menghampiri ibu dan nenekku yang sedang menata kembali hidup. Mencoba kembali ceria di setiap hari dan detik langkahnya.

"Ma, aku pergi sekolah dulu ya." Ucapku. Hanya itu yang sanggup aku lontarkan, samar-samar aku melihat mata penuh kesedihan. Tapi dengan lihainya ibuku menyembunyikan rasa sakit itu.

"Ati-ati, Nak. Semoga hari ini penuh dengan rasa bahagia." Ucap bahagia ibuku. Dari nada bicaranya bisa aku rasakan ia memaksa untuk bahagia. Mengubur dalam-dalam rasa sakit.

Aku menyalami tangan ibu dan nenekku. Dengan berat aku meninggalkan mereka di tengah rasa sakit melanda. Jika aku tidak bersekolah, aku akan menghancurkan harapan mereka.