Tangisan di tengah hutan? Jujur saja rasa takut mulai datang menghampiri. Untungnya hari belum gelap, kalau tidak mungkin aku sudah berlari menjauh secepat mungkin dan mencari persembunyian di mana hanya diriku seorang yang dapat berada disitu. Namun, karena matahari masih dapat terlihat, aku berusaha mengusir rasa takut tersebut, mencari darimana asal suara tadi.
Tangisan tersebut kembali terdengar dan kali ini jauh lebih jelas. Kakiku melangkah lebih cepat, khawatir seandainya hal buruk terjadi pada anak kecil yang sementara membutuhkan pertolongan. Aku benar-benar tak akan memaafkan diriku sendiri seandainya tak menyelamatkan seorang anak kecil yang juga menjadi pertanyaanku saat masih berada di kota. Mengapa aku tak melihat seorang anak kecil? Hanya ada remaja berumur 18 tahun ke atas di sana. Mungkin ini akan terdengar kasar, namun aku bersyukur mereka tak ada, kalau tidak mungkin aku sudah kehilangan nyawa karena berusaha menyelamatkan mereka.
Begitu diriku memanjat ke atas sebuah batang pohon tumbang, barulah aku dapat melihat seorang gadis kecil, berumur sekitar 8 tahun, sementara terduduk di atas tanah, menangis sembari memegang kakinya. Tampak sebuah luka pada lutut gadis tersebut, kemungkinan besar karena terjatuh. Ia mengenakan sebuah gaun selutut berenda berwarna kuning terang beserta sebuah topi menggemaskan dengan warna yang sama. Dari pakaiannya itu, aku bisa menebak dia adalah anak dari seorang bangsawan, atau setidaknya dari keluarga berada. Yang jadi pertanyaan, mengapa seorang anak kecil sepertinya bisa berada di tengah hutan?
Aku melompat turun, membuat dia terkejut dan bergerak menjauh, waspada terhadap diriku yang tampak sedikit berantakan karena harus berarung melawan semak-semak tadinya. Aku reflek mengangkat kedua tangan, menunjukkan bahwa aku sama sekali tak berniat buruk dan kuharap dia mengerti.
Perlahan kudatang mendekat, semakin membungkukkan tubuh hingga akhirnya berlutut di depannya dalam jarak 2 meter agar dirinya merasa aman "Aku mohon maaf sudah membuatmu merasa takut tuan putri, boleh aku bertanya mengapa tuan putri dapat berada di tengah hutan seperti ini?"
"Aku bukan tuan putri! Aku anaknya papa!" Balasnya ketus, namun tak lagi merasa terlalu waspada meski masih melayangkan tatapan curiga.
"Ohh, baiklah, mohon maaf. Dengan apa aku harus memanggilmu?" Tanyaku lembut sembari tersenyum hangat.
"Umm, tuan putri saja. Kau masih belum berhak mengetahui namaku dan papa takkan mau aku memberitahu namaku pada orang asing" Jawabnya cepat.
Senyumku melebar dan layaknya seorang ksatria, aku menundukkan kepala padanya "Baik tuan putri, ksatria anda siap melindungi dan membawa anda pulang kembali ke pada Yang Mulia Papa!" Balasku tegas namun menyisakan kelembutan untuk memberitahu bahwa diriku setengah bercanda yang di mana, diterima olehnya.
Gadis itu tersenyum lebar, terkikik pelan sebelum memberiku sebuah perintah "Aku memerintahkanmu untuk segera memberiku tumpangan karena kakiku sedang sakit. Aku adalah tuan putri yang kuat kau tahu? Tapi, untuk sekarang, aku ingin bersantai"
"Oh tentu saja tuan putri! Silahkan naik ke atas pundakku dan kita akan berangkat!" Aku membantunya naik ke atas pundak secara perlahan, kemudian bangkit berdiri sembari berusaha menahan tawa melihatnya kegirangan karena seorang ksatria harus serius bukan? "Ke manakah arah yang harus kita tuju tuan putri?" Tanyaku lagi sembari memerhatikan wajah manisnya yang sedikit kotor.
"Aku tak ingin pulang sebelum menemukan Mr. Ted!" Tukasnya.
"Bolehkah aku tahu siapa Mr. Ted itu?"
"Dia adalah ksatria nomor satu milikku. Ksatria paling pemberani yang selalu menemani tidurku, mengusir tiap mimpi buruk agar aku dapat tidur tenang!" Jawabnya penuh bangga dengan senyum lebar terpampang di wajah.
Sebuah boneka ya? Baiklah, tak masalah. Seharusnya mengambil sebuah boneka tak berbahaya sama sekali, mungkin hanya perlu menghadapi beberapa binatang liar atau satu-dua goblin. Bukan masalah besar. Namun, agar dirinya aman, aku harus membawa dia ke kota sesegera mungkin.
"Tenang saja, percayakan padaku! Aku pasti menyelamatkan Mr. Ted! Tapi, izinkan aku membawamu pulang terlebih dahulu, Yang Mulia papa pasti khawatir"
"Aku harus memastikan Mr. Ted benar-benar dapat kembali! Itu satu-satunya peninggalan ibu.. " Ucapnya sembari berusaha menyembunyikan kesedihan meskipun gagal total.
Aku merogoh sesuatu dari dalam kantung celana panjang kargo hitam, menggenggamnya, lalu memberikan benda tersebut pada Sang tuan putri yang melihatnya penuh tanda tanya, tapi tetap menerima benda itu "Tolong jaga ini untukku, tuan putri. Ini juga adalah benda berharga milikku sama seperti Mr. Ted, benda terakhir berisi kenangan masa lalu yang ku miliki. Aku akan mengambilnya kembali begitu aku menemukan Mr. Ted, jadi kau tak perlu khawatir tuan putri. Aku pasti membawanya kembali padamu" Tukasku mantap.
Ia memerhatikan benda asing di tangannya itu sekali lagi, lalu bertanya "Apa kau yakin? Benda ini berharga bagimu"
"Tentu saja. Aku percaya padamu tuan putri, jadi bolehkah tuan putri percaya padaku?" Tanyaku lembut.
Gadis kecil tersebut kembali memerhatikannya, melihat ke arahku kemudian mengangguk penuh percaya diri "Baiklah, aku akan menjaganya untukmu tapi berjanjilah kau akan kembali bersama Mr. Ted" Pintanya.
"Aku berjanji tuan putri"
Dia terkikik bahagia, menunjuk ke sebelah kanan, menyahut "Ayo kita balik ke kota! Aku yakin papa- Yang Mulia telah menunggu kita di sana!" Kemudian terkikik lagi.
Perjalanan menuju kota memakan waktu jauh lebih cepat dibanding yang kukira berkat tuan putri. Tanpa dirinya, mungkin aku akan memakan waktu lebih lama, menebak-nebak ke arah mana diriku harus berjalan.
Aku memang telah membawa sebuah kompas, namun rasa paranoid terus membuatku berpikir dua kali sebelum memutuskan akan bergerak ke arah mana dan berakhir membuatku memakan waktu lebih lama meskipun jauh di dalam hati, aku tahu diriku sudah benar.
Selama perjalanan, tuan putri bercerita mengenai berbagai macam hal, mulai dari dirinya yang bercita-cita menjadi seorang Mage ternama hingga makanan favorit dia yang semuanya terasa manis.
Aku rasa dia juga akan sangat menyukai cokelat sepertiku karena aku juga jauh lebih memilih makanan manis ketimbang asin yang menjadi salah satu alasan aku membawa cukup banyak snack cokelat di dalam tas.
Aku tahu, aku tahu, bukan sebuah pilihan yang baik mengingat aku harus menjelajah di tempat-tempat berbahaya dan lebih membutuhkan peralatan demi meningkatkan kesempatan bertahan hidup. Tapi! aku juga butuh sesuatu yang membuatku merasa nyaman! Itu juga salah satu hal penting demi menjaga pikiran tak menjadi gila oke!
Ah! Benar juga, kenapa aku tak memberikan cokelat padanya? Aku yakin ini pasti dapat membuat tuan putri merasa nyaman sama sepertiku. Baiklah, akan kuberikan ketika kami telah sampai.
Tak lama kemudian, ketika langit sudah mulai berubah oranye, kami keluar dari hutan, tiba di hamparan lumput luas dengan jalan setapak yang cukup lebar, muat untuk dua kereta kuda. Mengapa aku tahu? Karena kami telah berpaspasan dengan beberapa.
Kereta-kereta kuda yang kami lihat kurang-lebih sama seperti kereta kuda yang biasa diriku saksikan dalam film, game maupun komik. Terbuat dari kayu dan menggunakan terpal putih sebagai atap. Hanya satu yang sedikit menarik perhatian oleh ukiran indah serta hiasan emas pada permukaan dengan kereta yang sepenuhnya berwarna putih. Kuda yang dipakai juga tampak jauh lebih sehat dan perkasa dibanding kereta-kereta sebelumnya serta menggunakan empat ekor kuda, tak hanya dua. Kemungkinan besar milik seorang bangsawan yang datang berkunjung atau mungkin justru merupakan keluarga dari walikota? Aku tak tahu. Aku bahkan belum tau bagaimana cara kerja politik dalam dunia ini.
Namun, siapa sangka kalau kereta kuda indah tersebut berhenti di tengah jalan dengan dua baris ksatria berkuda beranggotakan empat orang, menghalangi jalan kami, lebih tepatnya jalanku dilihat dari empat buah tombak baja mengarah tepat pada tubuh.
Sang tuan putri membentak mereka, mengatakan kami sama sekali bukan orang jahat dan hanya ingin balik kembali ke dalam kota.
Mereka menarik kembali tombak, tetapi bukan karena dirinya, melainkan oleh seorang laki-laki berbadan kekar dalam balutan jas militer biru penuh akan emblem tanda jasa di kiri maupun kanan. Wajahnya tampak seperti seseorang yang berasal dari Eropa dengan sepasang mata biru terang dan rambut pirang rapi tersisir ke belakang. Di rahang yang tampak kuat itu, tumbuh janggut dalam warna sama, juga rapi oleh alat cukur.
Ia memancarkan aura yang kuat, aura yang hanya dimiliki oleh orang-orang berposisi tinggi dan koneksi luas. Tiap langkah kakinya memberiku rasa khawatir sekaligus ketenangan, tenang karena tahu diriku aman di sekitarnya, khawatir karena sadar nyawaku bisa berada dalam bahaya jika telah melakukan sebuah kesalahan.
Ia berhenti di depan, menatapku tanpa sedetikpun mengalihkan pandangan, bahkan ketika tuan putri memanggilnya papa-
Tunggu! Papa!?
"Papa! Papa! Aku kembali!" Sahutnya bahagia sembari melebarkan kedua tangan, tak sadar akan suasana mencekam yang sampai membuat beberapa prajurit kota bergegas ke sini menggunakan kuda, dipimpin oleh seorang ksatria berumur berzirah silver yang penuh akan bekas pertarungan.
"Jelaskan padaku mengapa Luna, putri kecilku bisa ada bersama Outlander sepertimu?" Tanyanya dengan nada biasa, nada yang entah mengapa berhasil membuat seluruh bulu kuduk berdiri tegak, seakan memberi tanda bahwa akulah mangsanya.
"Dia adalah ksatriaku yang baru!" Jawab Luna dengan penuh bangga sambil melipat lengan.
Sang papa menatapku lebih tajam dan kini aura biru mulai merembes keluar dari dalam tubuhnya.