"Dasar bodoh! Dasar ngga berguna!" Rama memaki anak buahnya, "mencari satu wanita saja tidak becus," sambungnya lalu memukul kepala anak buahnya itu.
"Maaf bos, kami sudah mencari kesegala penjuru tapi istri tuan tidak di temukan," ucap salah satu anak buahnya tanpa menatap Rama, Rama menatap nyalang kearah anak buahnya yang menjawab tadi.
"Jika kalian tidak menemukan istriku, aku pastikan kepala dan nyawa kalian yang jadi taruhannya," desis Rama sambil mencengkeram kerah baju salah satu anak buahnya lalu mendorongnya kasar.
"Ba-baik bos, kami akan mencari istri anda secepatnya," sahut anak buahnya yang bernama Rio tersebut.
Tanpa menjawab, Rama berjalan kearah sofa lalu menjatuhkan tubuhnya ke sofa dan memejamkan kedua matanya, "kamu kemana, Sayang. Pulanglah, aku merindukanmu," gumam Rama lirih.
Anak buah Rama keluar setelah berpamitan, tak berselang ada seseorang yang membuka pintu. Namun Rama masih tidak perduli, pikiran nya dan keinginannya hanya satu istrinya kembali.
"Mereka belum menemukan istri kamu yang mandul itu?" tanya seorang wanita yang tiba-tiba sudah duduk di pangkuan Rama, tangan wanita itu mengelus rahang Rama dan mencoba membangkitkan gairah pria tersebut.
Namun Rama tidak bergeming tidak pula menjawab, matanya pun masih terpejam dan pikirannya masih tertuju pada wanita yang sudah dia nikahi selama tiga tahun.
"Rama, aku juga istrimu! Kamu jangan egois yang hanya memikirkan kepergian istri mandulmu itu!" suara wanita itu naik satu oktaf, "kamu tahu, sudah beberapa hari ini kamu tidak pulang dan tidak menyentuhku," sambungnya dengan nada kesal.
Rama membuka matanya lalu menatap sinis wanita yang berstatus istrinya, "ini semua salah kamu Raya, ngerti!" desis Rama di telinga Raya istri keduanya.
"Kalau kamu ngga bersikeras tinggal di rumah yang Dea tempati, dia tidak akan meninggalkan aku ngerti!" sentak Rama kemudian, Raya yang ketakutan pun berdiri dari pangkuan Rama.
"Tapi aku juga istrimu, jadi aku juga berhak atas rumah itu," suara Raya pun meninggi, dirinya tidak terima jika di salahkan walaupun memang salah.
"Aku sudah membelikanmu rumah yang lebih bagus dari milik Dea, tapi kau selalu memaksaku untuk mengajakmu tinggal di sana. Apa kau ingin menguasai diriku sendiri, hmm?" desis Rama, tangannya mencengkeram rahang Raya dan membuat istri keduanya itu meringis kesakitan.
Rama tahu Raya bukanlah dari keluarga biasa, pernikahan mereka pun karena perjanjian. Jika Rama bisa memberikan keturunan pada Raya, maka Tuan Yohan, ayah Raya akan memberikan sepertiga hartanya. Karena Raya masih memiliki adik lelaki yang kelak akan meneruskan usaha tuan Yohan. Jadi tidak mungkin jika Raya mengincar harta Rama.
"Mas, sakit," lirih Raya dengan memelas dan mengeluarkan airmata buayanya.
"Pulanglah! Mungkin beberapa hari aku tidak akan pulang kerumahmu," ucap Rama yang kemudian melepaskan cengkeraman tersebut, "tapi aku rindu, sudah tiga hari kamu tidak menyentuhku," Raya mengiba memohon agar suaminya menyentuhnya lagi, karena semenjak tiga hari kepergian kakak madunya si Dea, Rama sudah tidak mau tidur dengannya.
"Pulanglah," titah Rama pelan namun tegas, "tapi, Mas...." belum selesai Raya berkata, dia sudah menciut saat menatap mata Rama yang tajam.
"Baik aku pulang, tapi ingat aku selalu menunggumu," kata Raya lalu mengecup pipi Rama dan gegas berlalu dari sana.
"Ini semua gara-gara wanita sialan itu, sudah mandul menyusahkan lagi. Tapi aku harus bersabar, karena sebentar lagi pasti aku hamil dan wanita mandul itu akan mas Rama depak dari kehidupannya," gumamnya yang kemudian membuat bibirnya tersenyum.
"Kamu di mana, Sayang? Kenapa kau meninggalkan aku," gumam Rama lirih yang kemudian menghempaskan tubuhnya kembali ke sofa kerjanya, dan menutup wajah tampannya dengan kedua telapak tangannya.
****
Sedang di sebuah apartemen, "bercerailah dengan suamimu, Dea. Aku akan menikahimu dan membuat dirimu bahagia," ucap Abraham yang kemudian mengecup bahu polos Dea.
Mereka adalah Abraham dan Dea, dua insan yang telah memadu kasih. Dan ini bukan yang pertama kalinya.
"Tidak semudah itu, Abra," sahut Dea yang langsung menghadap pria yang telah menyembunyikan dirinya dari sang suami.
"Katakan, apa keinginanmu agar aku bisa memilikimu seutuhnya?" tanya Abraham yang terdengar frustasi, Dea dengan lembut mengusap rahang tegas pria di hadapannya.
"Keluargaku. Keluargaku terlalu tergantung pada uang yang mas Rama berikan," sahut Dea pelan, matanya terpejam saat bibir Abraham menyentuh keningnya cukup lama.
"Aku yang akan menafkahi keluargamu, juga dirimu, jadi segeralah bercerai dari dirinya," pinta Abraham yang kemudian menarik Dea kedalam pelukannya.
Dea menghirup keringat pria itu yang beberapa hari ini telah menjadi candu untuknya, Dea mengendus-endus dada bidang Abraham yang sedang memeluk tubuh polosnya.
"Akan aku pikirkan, tapi biarkan aku mencium aroma tubuhmu, entah kenapa aku sangat menyukainya," sahut Dea dengan enteng, Abraham pun semakin menenggelamkan Dea kedalam pelukannya.
Ingatan Abraham kembali saat pertemuannya dengan Dea, saat itu Abraham tengah beberes karena baru pindahan di karenakan perusahaan Abraham membuka cabang di kota ini.
"Baru pindah?" tanya seorang wanita pada Abraham, sejenak Abraham menatap wanita yang memakai drees terusan di atas lutut, rambut panjangnya di biarkan terurai.
"Iya," jawab Abraham yang kemudian kembali sibuk mengangkat barang-barang pribadi miliknya, "perlu bantuan?" tawar wanita itu, namun Abraham hanya menggeleng sebagai tanda penolakan.
Wanita itu mengangguk lalu tersenyum, memperlihatkan lesung pipit di kedua pipinya, menambah kesan manis pada wanita itu.
"Namaku Dea, aku tinggal di sebelah rumahmu," kata Dea yang kemudian menunjuk rumahnya dengan dagunya yang lancip, Abraham menghentikan langkahnya dan memutar tubuhnya.
"Aku Abraham, Abraham Xavier, terima kasih atas tawarannya," sahut Abraham ramah, kemudian dia melanjutkan masuk dan kembali keluar guna mengangkat barang-barangnya yang lain, ekor matanya menangkap wanita tadi sedang berbincang dengan ibu-ibu komplek.
"Dasar tukang rumpi," gumamnya pelan, tidak sengaja Abraham mendengar wanita yang bernama Dea itu berkata "sabar saja bu, toh pernikahan kami baru dua tahun, masih enak-enaknya pacaran," ucapnya sambil terkekeh.
"Dia sudah menikah, tapi kenapa seperti orang ganjen gitu," umpat Abraham kesal saat teringat Dea datang dan menawari bantuan, kemudian Abraham menggeleng-gelengkan pelan kepalanya.
"Eh ganteng, baru pindah?" tanya seseibu yang memakai daster dan sudah berdiri di depan pagar rumah barunya, Abraham maju menghampiri ibu-ibu itu.
"Iya, Bu. Kalau ada apa-apa boleh dong minta bantuan," candanya pada ibu-ibu itu, ekor mata Abraham menangkap sosok wanita yang bernama Dea sedang berdiri menatap jalan, sesekali melihat benda yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Boleh... Boleh... Boleh banget malah. Iyakan ibu ibu!" seru ibu itu dan di tanggapi senyum oleh Abraham, sedang ibu-ibu itu serempak menjawab "iya!".
Lalu mereka mengenalkan diri mereka masing-masing, " hati-hati ganteng, suami mbak Dea posesif," bisik ibu-ibu yang tadi mengenalkan diri bernama ibu Astuti, Abraham mengangkat kedua alisnya tanda tidak mengerti.