webnovel

GADIS 100 MILIAR

Zizi tidak pernah menyangka papanya yang sangat menyayanginya telah menjualnya pada seorang pengusaha kenalannya. Hidupnya berubah dalam semalam. Dimulai dari pesta palsu yang berakhir tragis hingga hampir saja dia kehilangan keperawanannya, lalu dikurung di sebuah mansion. Pengusaha yang membelinya memiliki kepribadian ganda. Suatu waktu dia sejahat monster, di waktu yang lain dia menjadi sebaik malaikat. Pria itu selalu berhasil mengaduk-aduk perasaannya. Dia melukainya, namun dia juga yang menyembuhkannya. Pria bermata hijau juga berhasil memenangkan hatinya, membuatnya jatuh cinta dan mencintai dengan sepenuh hati untuk pertama kalinya dalam hidupnya. * Novel ini awalanya bercerita tentang Zizi, seorang gadis berumur 27 tahun, yang dijual ayahnya seharga 100 miliar rupiah pada kolega bisnisnya yang bernama Andres, seorang pria blasteran Indonesia-Spanyol berumur 31 tahun. Benih-benih cinta muncul sejak pertemuan pertama mereka di malam pertama Zizi diantarkan papanya ke rumah Andres. Zizi yang memimpikan pria bermata hijau dan Andres yang mencari perempuan bermata hitam menyuburkan benih-benih cinta yang tumbuh. Kisah cinta mereka diselingi kisah-kisah cinta dari orang-orang terdekat: sahabat Andres bernama Dika, adik Zizi bernama Betrand, sepupu perempuan Andres bernama Ariel dan banyak tokoh lainnya yang akan muncul secara bertahap.

Giralda_Blanca · perkotaan
Peringkat tidak cukup
170 Chs

MENCARI ANDRES

Nadia menyentuh dadanya. Sakit. Rasanya sakit di dalam sana. Dia ingin menangis tapi tidak ada air mata yang keluar. Seandainya dia bisa menangis seperti bajingan itu, dia tidak akan tersiksa seperti sekarang. Tapi dia tidak bisa menangis. Dia tidak bisa menangis lagi.

Nadia menoleh pada ibunya yang terisak sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya di atas sofa. Dia hanya bisa memandanginya dari tempatnya berbaring. Dia ingin sekali turun dari tempat tidur dan pergi memeluk ibunya sebelum dia ingat itu hanya sebuah keinginan yang tidak akan pernah bisa dia lakukan sendiri. Nadia menelan ludah.

"Ma, aku mau salat." Katanya kemudian.

Nadia melihat wanita itu menghapus air matanya. Wanita itu bangkit dan berjalan menuju kursi roda. Dia datang padanya dengan mendorongnya. Nadia menyibak selimutnya. Dia menatap sekilas perban di kedua ujung pahanya sambil menelan ludah. Bayangan kedua kakinya menghilang bahkan sebelum terlihat nyata. Ibunya sudah tidak kesulitan memindahkan tubuhnya ke atas kursi roda. Dia lalu didorong menuju kamar mandi. Nadia mulai berwudu setelah tinggi kursinya sejajar dengan wastafel. Dia membasuh wajah, kedua tangan, kepala bagian depan, dan kedua telinga. Setelah itu, dia membasahi tangannya lalu mengusap ujung paha kanannya yang dibalut perban dan melakukan hal yang sama pada ujung pahanya yang sebelah kiri.

Seandainya dia tidak percaya adanya siksa kubur dan neraka dan memikirkan kesedihan dan kesepian ibunya setelah dia meninggal, dia telah lama mengakhiri hidupnya. Tidak ada lagi alasan untuknya bertahan hidup. Dia tidak bisa melanjutkan meraih mimpinya sebagai atlet lari. Jangankan berlari, berjalan saja dia tidak bisa. Dia tidak bisa melihat apa-apa di masa depan. Ini semua karena bajingan itu. Nadia menghela napas panjang. Dia tidak boleh sekalipun memikirkannya. Hari ini dia telah berkali-kali lepas kendali. Mengapa hatinya lama-lama melunak? Tidak. Dia tidak boleh membiarkan itu terjadi. Bajingan itu berbuat baik hanya untuk mendapatkan permintaan maafnya. Dia tidak boleh sekalipun mendapatkannya, bahkan meskipun dia menawarkan hidupnya sebagai gantinya.

***

Zizi memandangi pintu kamarnya yang tidak bergeming. Ini sudah jam 7 malam. Andres belum kembali. Zizi resah. Dia juga bingung mau berbuat apa. Hanya satu yang bisa dia lakukan, yaitu menunggu. Dia sudah melakukan itu berjam-jam. Zizi berusaha keras agar tidak berpikiran buruk tentang kondisi pria itu sekarang. Dia selalu khawatir berlebihan. Tapi, siapa yang tidak khawatir jika pria yang dicintainya yang sedang demam berendam di air dingin selama hampir tiga jam? Bagaimana kalau dia mengalami hipotermia? Zizi melihat tubuh pria itu membujur beku dengan warna kulit pucat di dalam pikirannya. Zizi menggeleng-gelengkan kepala untuk mengenyahkan pikiran buruknya.

Zizi merasa mendapatkan satu nyawa tambahan ketika mendengar ketukan pintu. Kakinya langsung berlari tanpa menunggu anggota tubuh yang lainnya. Alhasil, lututnya membentur meja dan dia terjatuh ke atas sofa. Suara ketukan pintu terdengar lagi. Dia berteriak keras agar orang itu mau menunggunya sebentar. Dia tidak yakin itu Andres. Zizi berjalan dengan satu kaki pincang.

"Makan malam anda telah siap di meja makan." Ajudan memberitahu.

Zizi mengangguk.

"Bagaimana keadaannya?" Tanya Zizi.

Ada jeda empat hingga enam detik sebelum Zizi melihat ajudan tersenyum dan menjawab, "dia baik-baik saja. Tidak perlu khawatir."

Lagi-lagi Zizi tidak bisa mempercayai apa yang didengarnya. Tapi, dia tetap berusaha mempercayai itu. Dia teringat janjinya pada Andres untuk berhenti mengkhawatirkannya. Itu janji yang berat. Dia menyesal menyanggupinya.

"Ada yang bisa saya bantu?" Ajudan menawarinya bantuan sebelum pergi.

Zizi menggeleng lalu segera meralat, "tolong sampaikan padanya lekas sembuh."

"Baik."

"Terima kasih." Ucap Zizi.

Zizi memandangi punggung Ajudan hingga tubuhnya menghilang di belokan. Dia lalu menutup pintu kamar dan ikut melangkahkan kaki. Mungkin setelah makan malam, pikirannya membaik.

Zizi tidak tahu ini makanan apa. Kacang-kacangan dengan kuah tomat. Ada beberapa potong daging dan sayuran. Dia memakannya bersama roti yang ditemukan di dalam bungkusnya. Tidak ada surat untuknya. Zizi mendesah dan segera menghabiskan makan malamnya.

Zizi memandangi gambar denah rumah yang diberikan Andres kemarin. Tatapannya terkunci pada tulisan 'master bedroom'. Zizi yakin itu kamarnya. Dia hanya belum yakin apakah akan pergi ke sana atau meneruskan usahanya yang lain, menunggu dia datang. Zizi tidak yakin Andres akan datang ke kamarnya lagi malam ini.

Tangan Zizi telah berada beberapa centi dari depan pintu besar itu. Dia masih bingung antara mau mengetuk pintu, langsung membukanya, atau berbalik pergi. Suara ketukan terdengar di telinganya. Zizi menunggu. Tidak ada jawaban. Dia mengetuk pintu lagi. Masih tidak ada jawaban. Dia memberanikan diri membukanya. Tidak dikunci.

Zizi mendengar suara dengusan. Dia terus melangkahkan kakinya dengan mantap. Bunyi itu menjadi suara bersin. Dia mendengarnya lagi dan lagi.

"Kak?" Suara sengau dan berat itu hampir tidak dikenalinya.

Zizi menghentikan langkahnya sebentar ketika berhasil melihatnya lalu melanjutkannya lagi. Lehernya dibalut syal berwarna merah. Tubuhnya tenggelam dalam selimut tebal. Hanya satu tangannya yang menjulur keluar, mengusap-usap hidungnya dengan tisu. Zizi mendengar suara bersin lagi.

"Bella,"

Andres menatap horror padanya.

"Jangan mendekat!" Teriaknya lalu bersin lagi.

Bahkan ketika kondisinya seburuk ini, pria itu masih bisa memarahinya, "jangan coba-coba mendekat! Berhenti di situ! Kamu bisa ketularan!" lalu bersin lagi.

Zizi tidak peduli.

"Balik ke kamarmu sekarang!"

Zizi tidak mendengarnya. Dia merangkak naik ke atas tempat tidurnya.

"Aku tidak mau kamu tertular. Aku mohon." Pintanya sambil bersin.

Tubuhnya merapat ke tumpukan bantal. Zizi menggeleng. Dia baru menyadari ada banyak tumpukan tisu berserakan di atas selimut dan kasurnya. Tangannya baru saja menyentuh sesuatu yang basah. Zizi mengambilnya dan memindahkannya ke gumpalan tisu lain di dekatnya.

Andres bersin lagi lalu bersuara lagi untuk menyuruhnya, "cuci tanganmu dan pergi dari sini."

Zizi memungut semua tisu dan mengumpulkannya menjadi satu. Dia berhasil menciptakan gunungan tisu di atas selimut dalam hitungan menit.

"Tempat sampahnya di sana." Jarinya menunjuk pada tabung besar berwarna hijau mint yang menempel ke tembok.

Zizi membawa semua tisu kotor itu dan membuangnya ke dalam tempat sampah.

"Berbalik ke kiri, lewati pintu, jalan terus sampai di depan pintu kaca shower. Wastafelnya di samping kanan, di samping bathtub."

Zizi langsung lupa apa yang baru saja didengarnya. Pria itu menyuruhnya berbalik kiri dan sekarang dia tidak tahu kiri itu sebelah mana.

"Di belakangmu. Jalan saja." Andres merangkum arahannya. Ini lebih bisa dipahami.

Zizi berbalik dan berjalan menuju pintu. Dia mendorongnya dan melangkah masuk.

"Jalan terus," suara Andres terdengar jauh di belakang.

Zizi mengikutinya dan sekarang dia melihat pintu kaca di depannya. Itu showernya, dia memberitahu dirinya sendiri. Di samping kanannya ada sofa dan meja. Di belakangnya dia melihat bathtub. Dia menarik ke kiri sedikit kepalanya dan melihat kaca besar di dinding yang di depannya ada kran wastafel berkilat-kilat. Ini lebih besar dari ruang tamu di rumahnya. Kamar mandinya sudah seperti apartemen sendiri. Zizi menaruh tangannya di bawah kran dan airnya langsung mengalir. Dia menggunakan sabun cair yang dia kira untuk mencuci tangan. Dia suka baunya. Dia lalu mengelap tangannya dengan handuk putih yang terlipat di atas konter di sampingnya. Zizi memandang sebentar kamar mandi ini sebelum meninggalkannya. Dia tidak menemukan toilet.