Kediaman Stevenson, Jakarta - Indonesia, 4:00 pm
"Huft... aku benar-benar tak ingin melakukan ini," gerutu Ferisha sepanjang jalan sembari menyeret kopernya dengan susah payah, namun tetap saja wanita itu terkesan elegan dengan high heels yang ia kenakan serta mini dress berwarna peach.
Hanya untuk menginap dua hari saja, Ferisha harus membawa koper dengan ukuran besar seperti ini.
Alodie yang merupakan sahabatnya hanya mampu terkekeh geli, "Lagipula besok adalah acara ulangtahun ku, kau harus menginap untuk menjadi sahabat terba--
"Kita baru saja berteman satu bulan, mengapa kau sudah berlebihan seperti ini," tukasnya kesal.
Ya, mereka baru saja berteman selama satu bulan, itu pun hanya karena ketidaksengajaan yang menyenangkan.
Bertemu di Paris kala mereka tengah melakukan aktivitas sendiri. Awalnya hanya teman satu hari, namun ternyata mereka dipertemukan kembali di Indonesia, negara asal mereka, membuat mereka menjalin pertemanan yang sangat dekat.
"Karena aku tak memiliki teman selain dirimu! Lagipula menurut kamus zodiak yang ku baca, zodiak mu dan zodiak ku cocok untuk menjalin pertemanan," sahut Alodie bersamaan dengan itu keduanya berhenti di depan sebuah pintu hitam yang menjulang tinggi.
"Orang aneh," balas Ferisha menanggapi.
Kali pertama mereka bertemu, Alodie menanyakan sesuatu hal yang membuat Ferisha kebingungan. Perihal apa zodiak yang Ferisha miliki, bukankah itu sangat aneh?
Ya lupakan saja.
Salah satu pelayan mengambil alih koper yang sedari tadi Ferisha bawa, tentunya setelah membukakan pintu untuk mereka.
"Mengapa tidak sedari tadi," kata Ferisha sembari menarik kedua sudut bibirnya, menyembunyikan rasa sebalnya di hadapan pelayan itu.
Ya, Ferisha memang memiliki etika yang baik, gaya anggunnya dan pakaian yang ia gunakan, selalu menambah kesan cantik yang tak pernah ada habisnya.
"Kakak ku akan pulang malam ini, tak heran jika semua bodyguard dan pelayan sangat sibuk melakukan persiapan, beruntung ada yang mau membukakan pintu," kata Alodie menghembuskan nafasnya kasar, mereka memasuki lift dan menekan tombol empat untuk menuju ke kamar Alodie.
"Pesta mu?"
Lagi dan lagi Alody membuang nafasnya kasar, "Para pelayan dan designer tengah mempersiapkannya di rooftop mansion, sangat sebal karena Mom dan Dad tak ikut serta menyiapkan acara ku."
Tak ada jawaban dari Ferisha, ia tampak tak banyak bicara di situasi tertentu. Begitupun dengan Alodie, mungkin hal ini yang membuat pertemanan mereka terbawa ke Indonesia.
Ting!
Pintu lift terbuka, keduanya berjalan, melewati lorong dengan banyak lukisan yang terpajang disana.
"Aku sempat melihat lukisan ini, di acara pelelangan bersama ayah ku," kata Ferisha tiba-tiba.
Alodie ikut mengalihkan arah pandangnya pada sebuah lukisan yang sudah tak asing lagi di matanya, "Ya... Kakak ku yang mendapatkan lukisan itu, di acara pelelangan dua tahun lalu, dia mendapatkannya dengan harga tertinggi."
Keduanya kembali berjalan, dan mulai memasuki kamar milik Alodie, pintu bercat putih. Ya, hanya pintu itu yang memiliki warna berbeda, karena memang mansion ini dominan dengan warna hitam.
Jujur saja, ini kali pertama Ferisha mengunjungi mansion Stevenson.
"Ku pikir kau juga berasal dari keluarga berada," kata Alodie meletakan tasnya.
Belum sempat Ferisha menjawab, salah seorang pelayan mengetuk pintu kamar, ya - pelayan yang mengantarkan koper milik Ferisha.
"Terimakasih," kata Ferisha kemudian kembali menutup pintunya.
Ferisha menghembuskan nafasnya perlahan, "Bagaimana jika aku bukan dari keluarga berada? Apa kau ingin memutus pertemanan kita, huh?" guraunya.
Alodie melempar sebuah bantal ke arah Ferisha, "Bagaimana bisa, sialan!"
Keduanya tertawa, ya terkadang mereka melakukan hal seperti ini.
"Aku hanya penasaran saja, mengapa nama mu terukir tanpa marga," sambung Alodie berkata jujur.
Ferisha yang mendengar itu pun ikut mengagguk setuju, "Kau benar! Aku pun berpikir seperti itu, mengapa nama ku terukir tanpa marga, bukankah akan sangat indah jika nama ku disertai marga."
***
Di tempat lain, tampak seorang pria tengah bersandar disebuah sofa yang di sediakan di dalam ruangan mewah sembari sebelah tungkai kakinya ia tumpangan pada kaki lainnya, jangan lupakan pula sebelah tangannya memegang gelas wine dengan begitu berwibawa dan satu tangannya lagi ia gunakan untuk mengapit batang nikotin diantara telunjuk dan jari tengahnya.
"Apa dia sudah sampai di mansion?" tanya pria itu dengan suara berat khasnya.
Ya, dia adalah Gavin, pria itu tengah bertanya pada Noel yang merupakan tangan kanannya.
Gavino Stevenson adalah ahli waris keluarga Stevenson. Keluarga yang terkenal dengan segala kekayaan serta kemahirannya di bidang fashion, menguasai bisnis dan mahir dalam berbagai bidang lainnya. Apalagi, brand yang mereka luncurkan sudah terdengar di seluruh penjuru dunia.
Tak heran jika mereka menjadi sesukses sekarang ini.
"Ya, Tuan. Dia sampai dengan selamat bersama Nona Alodie," balas Noel sembari kembali mengisi gelas wine milik Gavin.
Noel menjadi tangan kanan Gavin selama delapan tahun lamanya, usia mereka bahkan sama. Hampir menginjak tiga puluh tahun, namun hal itu tak membuat keduanya mau melepaskan masa lajang mereka.
Gavin yang masih saja menunggu wanita incarannya sejak dua tahun lalu, sedangkan Noel lebih memilih fokus pada tugasnya saja, setia dan tetap menjalani perintah yang Gavin berikan.
Menurut orang-orang disekitar Gavin, keinginan Gavin untuk mendapatkan wanita yang Gavin temui dua tahun lalu hanyalah obsesi semata, namun menurut Gavin, itu benar-benar cinta.
Gavin mampu merasakan debaran yang tak pernah dirinya rasakan, tatapan teduh yang sukses menghipnotisnya serta keanggunannya yang tak pernah luput dalam ingatan Gavin.
"Lakukan yang terbaik, aku ingin rencana kali ini berjalan dengan lancar," ucapnya sembari meletakan gelas winenya di atas meja dan mematikan batang nikotinnya begitu saja, setelah itu Gavin bangkit dari duduknya.
Melihat itu, Noel ikut bangkit, mengikuti langkah Gavin, "Tentu, Tuan. Kau sudah menantikan ini sejak dua tahun lalu, aku akan melakukan yang terbaik."
Noel tentu tau betul, segala rencana yang Gavin susun, karena Noel lah yang menjalankan itu.
Tiba-tiba saja Gavin menghentikan langkahnya, membalikan tubuhnya hingga berhadapan langsung dengan Noel sembari menatap tangan kanan sekaligus orang kepercayaannya itu dengan tatapan datar, "Dan satu hal lagi, jangan biarkan Alodie tau mengenai rencana ini, buatlah seolah-olah aku tak mengenal teman barunya itu."
Noel mengaggukan kepalanya, "Baik tuan."
Ya, Noel tak memiliki alasan untuk menolak, dirinya memang sering memberi masukan dan saran, namun hal itu Noel lakukan jika jalan yang Gavin ambil akan menyebabkan resiko besar serta kerugian bagi perusahaan.
Namun, kali ini Noel tak bisa menolak atau hanya sekedar memberi masukan.
Kisah cinta Tuannya akan di mulai disini, ya meskipun awalnya mulanya ada di dua tahun yang lalu.
"Akan tetapi, Tuan..." kata Noel tiba-tiba.
Noel menatap ragu ke arah Gavin, "Apa yang akan kau lakukan nanti?"
Cukup lama Gavin terdiam, hingga tiba-tiba saja pria itu menarik sebelah sudut bibirnya ke atas, menampilkan senyum yang begitu misterius, "Mendesaknya agar mau bercinta dengan ku."