Pralinka mengangguk pelan. "Iya sih. Intinya saran dari Kakak, gak usah pacaran sama sohib. Sohib mah ya sohib aja. Masih banyak cowok laen di muka bumi ini. Masa sih yang kamu liat setiap hari dia lagi dia lagi. Bosen kali."
Pradita mengangguk sambil matanya melihat ke sana ke mari. Saat itu dilihatnya poster Dewatno dipajang di dinding. Ia harus meminjam walkman-nya Pralinka.
"Kak, aku mau pinjem walkman-nya boleh?"
"Buat apa?"
"Mau aku pake buat ngulek obat besok," ucap Pradita dengan wajah bosan. "Ya, buat dengerin lagu lah!"
"Oh. Emangnya kamu beli kaset baru? Mana coba liat?" Pralinka mengulurkan tangannya.
Pradita melebarkan mulutnya dengan terkejut. Ia tidak menyangka jika kakaknya akan menagih kaset. Ia tidak rela memberitahu tentang kaset Dewatno pada kakaknya. Bagaimana jika Pralinka ingin mendengarnya terlebih dahulu? Aduh kacau.
"Aku … aku cuman pinjem aja sih. Aku gak ada duit buat beli kaset, Kak."
"Iya, kaset apa?"
"Itu … hmmm … kaset lagu metal."
"Apaan? Muscle Band?" tebak Pralinka.
"Iya! Iya bener! Muscle Band," ucap Pradita bohong sambil menunjuk-nunjuk.
Kakaknya langsung mengernyitkan wajahnya. "Ih band apaan jelek begitu? Kakak gak suka. Ngapain kamu dengerin lagu kayak gitu? Nanti kamu jadi gak pinter loh."
"Ah, iseng aja, Kak. Aku pengen dengerin musiknya kayak gimana. Kalau emangnya jelek banget ya udah. Aku matiin aja."
Pralinka mengambil walkman dari laci meja belajarnya dan menyerahkannya pada Pradita.
"Asyik. Makasih, Kak," ujar Pradita senang.
"Eh, tapi inget jangan kelamaan minjemnya ya."
"Okelah. Aku mau ke kamar dulu ya. Dadah."
"Eh!" Pralinka hendak menarik tangan Pradita, tapi terlambat karena adiknya itu menghindar dengan cepat. "Katanya mau curhat! Belum juga."
Pradita buru-buru masuk ke kamarnya sambil membawa hasil culikannya. Tidak lupa ia juga menyelot pintunya supaya kakaknya itu tidak tiba-tiba masuk ke kamarnya.
Eksekusi dimulai. Pradita mengambil kaset Dewatno milik Bara dan memasangnya di walkman milik kakaknya itu. Sebelumnya ia mengecek dulu apakah walkman itu ada baterainya atau tidak. Dan syukurlah, baterainya lengkap.
Pradita kan harus berhati-hati kalau-kalau kakaknya itu memasang jebakan dengan alasan hal yang ia pinjam hanya walkman-nya saja, tanpa menyebut baterai.
Pradita memasang headset di kupingnya dan mulai mendengarkan. Ia bingung kenapa lagunya beda dengan yang terakhir kali ia dengar di mobil. Ia menekan tombol stop dan mengeluarkan kasetnya.
Ternyata kasetnya terbalik. Ia menyetel side B dan mendengarkan lagu terakhir yang ia dengar di mobil karena itu adalah salah satu lagu kesukaannya.
Pradita menyandarkan kepalanya di bantal sambil memeluk gulingnya. Suara vokalis Dewatno sangat merdu dan lagunya juga enak. Ia pernah melihat wajahnya di televisi saat acara gosip selebriti.
Wajahnya sih tidak cakep-cakep amat. Usianya mungkin sekitar awal dua puluhan. Namun, di balik itu semua bukan hanya wajah yang membuat Pradita menyukainya. Itu semua murni karena karyanya.
Suaranya itu sangat menyejukkan hati dan kata-kata di dalam lagunya berhasil menyengat hati Pradita hingga membuatnya terenyuh seketika.
Pradita bersenandung riang sambil memejamkan matanya. Ia tidak berani menyanyi terlalu keras karena takut kakaknya ikut mendengarkan.
Mendengar lagu Dewatno malah membuatnya jadi mengingat Danu. Sampai saat ini Danu tidak pernah menghubunginya lagi. Sama halnya dengan Pradita yang tidak juga menghubungi duluan.
Besok Pradita akan resmi menjadi kekasihnya Bara. Ia mempunyai perasaan jika Danu akan semakin memusuhinya. Lantas, apa yang harus ia lakukan? Jika ia mengakui hal yang sebenarnya pada Danu, ia pasti marah sekali padanya.
Namun, hidup yang ia jalani ini murni keputusannya sendiri. Ia tidak perlu meminta pendapat siapa-siapa bukan. Saat Danu berkencan dengan Arini saja, Pradita tidak peduli.
Daripada mengingat Danu, lebih baik ia memikirkan lagu Dewatno saja supaya hatinya gembira. Tak terasa waktu berlalu, Dewatno seolah membisikkan lagu tidur yang membuatnya semakin mengantuk.
Pradita menguap lebar-lebar dan kemudian tertidur setelah ia mematikan walkman dan melepaskan headphone-nya.
***
Pagi harinya Pradita terbangun setelah bunyi alarm dari jam mejanya yang berbentuk kodok. Itu adalah hadiah ulang tahun dari Danu waktu ia berusia tiga belas tahun.
Ia bergegas mandi dan kemudian sarapan. Ibunya masih mengenakan daster dan ada antena yang mencuat di puncak kepalanya. Maksudnya, antena itu bukan misai kecoa ya. Itu adalah rol rambut favorit ibunya.
Setiap malam sebelum tidur, ibunya pasti akan mengenakan benda itu di kepalanya supaya saat pagi sebelum berangkat kerja, rambutnya nanti sudah bagus. Ibunya bekerja sebagai staff keuangan di pabrik barang elektronik. Sedangkan ayahnya bekerja sebagai sales makanan ringan.
Gaji ibunya jelas lebih besar dari ayahnya. Selama ini ibunya lebih banyak bekerja keras daripada ayahnya, menurut ibunya. Ya, hal itu tidak salah-salah amat, melihat sampai jam segini ayahnya masih belum juga bangun.
Ibunya bekerja hampir setiap hari. Hanya hari Sabtu satu-satunya hari di mana ibunya pulang kerja lebih awal. Hari Minggu pun ibunya masih bekerja lembur. Entah apa yang sebenarnya ibunya kerjakan.
Ayahnya lebih banyak berleha-leha. Berangkat ke kantor siang, pulang sore. Menurut ayahnya, jam kerjanya fleksibel. Ia bisa mengorder ke toko makanan kapan saja ia mau dan baru setor muka ke kantor siang-siang.
Tidak heran jika gaji ibunya jauh lebih besar. Berkali-kali ibunya menjelaskan pada kedua anaknya agar tidak mencontoh ayahnya. Pralinka dan Pradita harus sekolah yang pintar dan mendapatkan nilai terbaik sehingga bisa bekerja di mana saja dengan mudah dan mendapatkan gaji yang besar.
Pradita masih lebih sering malas-malasan seperti ayahnya, daripada Pralinka. Kakaknya itu mendapatkan beasiswa dan termasuk mahasiswi favorit di kampusnya.
Pradita tidak mengejar itu. Sekarang, ia bisa sarapan dan berangkat ke sekolah tanpa terlambat saja sudah bagus. Bisa menyiapkan alat praktek sendiri dan buku-buku sendiri saja sudah prestasi. Dan, kalau nilai ulangannya paaasss dengan nilai KKM, itu sudah luuaarrr biasa.
Pradita bukan Pralinka ataupun Danu yang selalu mendapatkan nilai sempurna hampir dalam semua mata pelajaran. Ia tetap akan menjadi dirinya sendiri.
Oleh karena itu, selesai sarapan Pradita bergegas ke sekolah setelah ayahnya terbangun dan hanya minum teh manis beberapa teguk dan sekeping biskuit kesukannya. Ayahnya mengantar Pradita ke sekolah dengan motor jadul yang selalu dipakainya bekerja untuk mengorder dari toko ke toko.
Meski ayahnya Pradita bukan seorang pria tampan, pintar, dan berduit seperti idaman semua pria di muka bumi ini, Pradita tetap sayang padanya.
Ia memeluk perut ayahnya yang buncit dengan erat. Hal itu membuat ayahnya mengusap-usap tangannya dengan tangan kirinya.
"Dit, kamu sudah belajar belum?" tanya ayahnya.
"Belajar apa?"
"Ya, gak tau. Kamu di sekolah ada ulangan gak?"
"Hmmm, Dita lupa," kata Pradita jujur sambil terkekeh. "Kayaknya sih gak ada." Pradita memejamkan matanya dan menikmati angin dingin di pagi hari.
Akhirnya ia tiba di sekolah dan ayahnya menghentikan motornya di depan gerbang sekolah. Pradita tersenyum pada ayahnya. "Dah, Papa."
"Eh, Dit. Sekolah yang pinter ya, supaya kamu jadi orang sukses," nasehat ayahnya.
"Iya, Pa. Dadah."
Pradita pun berlari masuk ke dalam pekarangan sekolahnya yang amat sangat luas dan jauh sekali menuju ke dalam kelasnya. Tangannya menenteng tas kecil berisi alat-alat prakteknya. Saat tiba di depan ruang praktek, Pradita baru ingat kalau ia tidak membawa lab jasnya.